Lompat ke isi

Kedatuan Luwu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Akkarungeng ri Luwu

ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨒᨘᨓᨘ
Akkarungeng ri Luwu
1300-sekarang
Bendera Akkarungeng Luwu
Bendera Macangnge
{{{coat_alt}}}
Lambang
Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut I La Galigo
Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut I La Galigo
StatusBagian dari Indonesia
Ibu kotaPalopo
Bahasa yang umum digunakanBahasa Bugis; Bahasa Tae'
Agama
Dari Tolotang berpindah ke Islam
PemerintahanMonarki, Akkarungeng
Datu Mappanjunge' ri Luwu 
• 1300-an
Tumanurung
Sejarah 
• Didirikan
Abad ke-14
• Dibubarkan
sekarang
Mata uangTidak memiliki mata uang, menggunakan sistem Barter
Digantikan oleh
kslKesultanan
Gowa
Republik Indonesia
Sekarang bagian dari Indonesia
(Kabupaten Luwu)
(Kabupaten Luwu Timur)
(Kabupaten Luwu Utara)
(Kota Palopo)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Akkarungeng Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu') adalah salah satu Akkarungeng (terj. har.'kerajaan') Bugis tertua. Pada 1889, Gubernur Hindia Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang suku Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kerajaan Luwu juga disebutkan dalam kitab Kakawin Nagarakretagama, teks pada abad ke-14 sebagai daerah di bawah pengaruh kerajaan Majapahit bersama Lombok Mirah (Lombok), Bantayan (Bantaeng) dan Udamakatraya (Kepulauan Talaud) dan pulau-pulau di sekitarnya pada periode Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M). Tidak ada bukti sejarah penaklukan kerajaan Luwu oleh Majapahit melainkan hanya perkawinan kerajaan.[1]

Sejarah

Di dalam epik La Galigo, terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke China), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di dekat dusun Sarapao di distrik Pamanna. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.[2]

Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah meruntuhkan kronologi ini.[3] Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah Cénrana barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. Teluk Bone bukanlah semata daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam. Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.

Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad ke-14 Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah Dewaraja (memerintah 1495-1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan tetangga, Wajo dan Sidenreng. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad ke-16 oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam Tawarik Bone.

Pada tanggal 4 Februari 1605, Andi Pattiware' Daeng Parabung selaku Datu Luwu XV menjadi raja pertama dari wilayah Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam.[4] Ia kemudian menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'zhir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo. Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi Toraja.

Upacara pemakaman Datu We Kambo Daeng Risompa. Bendera Macangnge bisa dilihat.

Pada abad ke-19, Luwu telah menjadi kerajaan kecil. James Brooke, yang di kemudian hari menjadi Raja Sarawak, menulis pada tahun 1830-an bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."[5]

Pada tahun 1960-an, Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi tambang nikel terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.

Daftar Penguasa Luwu

Ratu Luwu, Wé Kambo Daëng Risompa, dan suami kedua, La Batjo To Vapilé Opoe Patoenroe

Penguasa Luwu menggunakan gelar Datu Mappanjunge' ri Luwu yang artinya "Raja yang berpayung di Luwu" atau "Raja yang menaungi Luwu", biasa disebut menjadi Datu Luwu, Pajung Luwu, atau Pajunge'.

Daftar Datu Luwu

  • Mitos: Simpurusiang, Manurung ri Lompo (Sengkang, Wajo)
  • Mitos: Anakaji, anak Simpurusiang
  • Mitos: Wé Matengngnaémpong, anak Anakaji
  • Legendaris: Tampabalusu, Tomanurung di Tompotikka (Sulteng)
  • Legendaris: Tanrabalusu, anak Tampabalusu
  • Semi-legendaris: To Appanangi
  • Semi-legendaris: Batara Guru (bukan Bataraguru dari Galigo)
  • Akhir abad ke-15: To Sangkawana (= La Pasampoi, Maddanreng ri Talottenreng in Wajo - lihat Lontara Sukkuna Wajo)
  • Akhir abad ke-15: La Busatana (Lontara Sukkuna Wajo)
  • Awal abad ke-16: Déwaraja, Datu Sangaria, Datu Kellali
  • Abad ke-16: Datu ri Saolebbi
  • Abad ke-16: Maningo ri Bajo
  • 1587-1615: Andi Pattiware’ Daéng Parabung atau Pati Arase, bergelar Petta Matinroé ri Malangké (Petta Luwu) "sebagai raja pertama yang menerima ajaran syariat islam yang di bawah olek Datuk Sulaiman"
  • 1615-1637: Pati Pasaung, Sultan Abdullah
  • 1637-1663: La Basso atau La Pakéubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroé ri Gowa (Lokkoé)
  • 1663-1704: Settiaraja, bergelar Petta Matinroé ri Tompoq Tikkaq
  • 1704-1704? Petta Matinroe’ ri Polka, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
  • 1704-1715: La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroé ri Langkanaé
  • 1706-1715: Batari Tungké, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroé ri Pattiro
  • 1715-1748: Batari Toja, bergelar Sultan Zaenab Matinroé ri Tippulué
  • 1748-1778: Wé Tenriléléang, bergelar Petta Matinroé ri Soréang
  • 1760-1765: Tosibengngareng, bergelar La Kaséng Patta Matinroé ri Kaluku Bodoé
  • 1778-1810: La Tenripeppang atau Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Sabbangparu
  • 1810-1825: Wé Tenriawaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroé ri Tengngana Luwu
  • 1825-1854: La Oddang Péro, bergelar Petta Matinroé Kombong Beru
  • 1854-1880: Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroé ri Limpomajang
  • 1880-1883: Wé Addi Luwu, bergelar Petta Matinroé Temmalullu
  • 1883-1901: Iskandar Opu Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Matekko
  • 1901-1935: Andi Kambo atau disebut juga Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daéng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroé ri Bintanna.[6]
  • 1935-1945 & 1950-1965: Andi Djemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung Pahlawan Nasional Republik Indonesia dari Sulawesi Selatan
  • 1945-1950: Andi Jelling, merupakan Pajung, memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
  • 1965-1987 : Andi Bau Alamsyah, bergelar Petta MatinroE ri Tellu Boccona
  • 1987-1994 : Hj. Andi Bau Tenripadang, bergelar Opu Datu
  • 1994-2012 : Wé Andi Addi Luwu, bergelar Opu Daengna Patiware
  • 2012: Andi Maradang Mackulau Opu To Bau diangkat pada tahun 2012 sampai sekarang

Dalam budaya populer

Lihat juga

Sumber

  1. ^ Riana, I Ketut (2009). Nagara Krtagama. Penerbit Buku Kompas. h. 102. ISBN 9797094332.ISBN 978-979-709-433-1 "48. Muwah tangi gurun sanusa mangaran ri lombok mirah, lawan tikang-i saksak-adi nikalun kahajyan kabeh, muwah tanahi bantayan pramuka bantayan len luwuk, tekeng udhamakatrayadi nikanang sanusa pupul"
  2. ^ Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
  3. ^ Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.
  4. ^ Amir, A., dan Utomo, B. B. (2016). Sastrodinomo, K., dan Burhanudin, J., ed. Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku dan Luwu (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 3. 
  5. ^ Brooke, J. 1848. Narrative of events in Borneo and Celebes down to the occupation of Labuan. From the Journals of James Brooke, Esq. Rajah of Sarawak and Governor of Labuan [. . .] by Captain Rodney Mundy. London: John Murray.
  6. ^ Disebut juga Wé Kambo Daéng Risompa (1898-1935)??