Lompat ke isi

Wong Agung Wilis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wong Agung Wilis, terlahir dengan nama Pangeran Putra II (lahir di Blambangan kira-kira pada 1680-an hingga 1720-an – meninggal di Bali tahun 1780) adalah penguasa Blambangan terakhir yang pernah berkuasa pada periode 1763-1764 dan 1767-1768. Ia memimpin pasukan dalam perlawanan melawan VOC di Blambangan pada tahun 1768.

Wong Agung Wilis
Sketsa wajah Wong Agung Wilis
Raja Blambangan
Berkuasa
  • Periode pertama 1763-1764
  • Periode kedua 1767-1768
PenerusDibubarkan
KelahiranPangeran Putra II
1680/1720
Blambangan, (sekarang) Banyuwangi
Kematian1780
Bali

Kehidupan Awal

[sunting | sunting sumber]

Pangeran Putra II adalah anak dari Pangeran Mas Purba (Pangeran Putra I) alias Prabu Danureja, penguasa Blambangan tahun 1697-1736.

Ibunya adalah seorang putri dari Puri Kabakaba salah satu vasal Kerajaan Mengwi, Bali. Ibunda Pangeran Putra II bukanlah permaisuri dari Pangeran Danureja. Pernikahan keduanya terjadi karena motif politik agar kerjasama antara Blambangan dan Bali dapat terjalin kuat untuk mengatasi ancaman dari Perusahaan Hindia Timur Belanda VOC.

Permaisuri Pangeran Danureja sendiri adalah Mas Ayu Gading, putri dari pahlawan Untung Surapati. Pernikahan Pangeran Danureja dengan permaisuri hanya dianugerahi seorang putra bernama Mas Noyang (Pangeran Danuningrat) yang nantinya akan mewarisi tahta Blambangan (1736-1763).[1]

Pada saat dewasa Pangeran Putra II hijrah ke Bali, ikut pamannya yang bernama Ki Gusti Ngurah Ketut Kaba-Kaba.[2][3]

Tidak ada riwayat mengenai dengan siapa ia menikah, tetapi ia memiliki enam orang putra yakni Mas Serutadi, Mas Kencling, Mas Tunjung, Mas Berud, Dalem Puger Mas Surawijaya dan Mas Ayu Prabu.[1]

Kembali Ke Blambangan

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Blambangan adalah sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa. Dalam masa itu, sepeninggal Pangeran Danuraja, kedua putranya (beda ibu) menjadi penerus pemerintahan. Mas Sepuh alias Mas Noyang menjadi raja Blambangan bergelar Pangeran Danuningrat (1736-1763) sedangkan Pangeran Putra II menjadi patih bergelar Pangeran Patih Agung Wilis.

Jabatan patih ini tidak terlalu lama dia emban karena terjadi konflik internal dalam kerajaan. Saat itu salah seorang punggawa istana yang juga sepupu dari Pangeran Danuningrat bernama Mas Bagus Tepasana menyebar isu bahwa Pangeran Agung Wilis akan mengkudeta Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan.[4]

Keluarga kerajaan mempercayai ini sehingga Pangeran Agung Wilis dipecat dari jabatannya dari dan kedudukannya digantikan oleh Mas Anom Sutajiwa yang merupakan putra mahkota Pangeran Danuningrat.[2] Sejak itu Pangeran Agung Wilis dijuluki sebagai Mas Sirna Wibawa.

Pangeran Agung Wilis lalu pergi mengembara hingga mencapai Pantai Lampon, Desa Sanggar, Gunung Dogong dan Gunung Tumpangpitu yang mana daerah-daerah ini pada masa kini berada dalam wilayah Kecamatan Siliragung, Banyuwangi dan Kecamatan Pesanggaran.

Meskipun telah dipecat Pangeran Agung Wilis tetap menghargai kakaknya, Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan. Pangeran Danuningrat pernah meminta kepada Pangeran Agung Wilis kembali untuk menumpas perompak Bugis di daerah bernama Pakem Banyuwangi.[1]

Perlawanan terhadap VOC

[sunting | sunting sumber]

Karena kesuburan dan kekayaan Blambangan telah diketahui oleh VOC sebelum mereka menguasainya, maka sebenarnya VOC telah memiliki rencana untuk menguasai Blambangan namun rencana ini terkendala oleh beberapa faktor seperti Blambangan jauh dari pusat pemerintahan dan ikatan pernikahan politik yang terjadi di antara Blambangan dan Bali membuat hubungan mereka menjadi kuat.[5] Namun akhirnya sikap ascribed status VOC yang meyakini secara sepihak bahwa Blambangan telah dikuasai oleh mereka melatarbelakangi perlawanan terhadap VOC di Blambangan.

Pada tahun 1767, sekembalinya dari Bali. Wong Agung Wilis mendeklarasikan diri sebagai penguasa yang sah atas Balambangan. Sebenarnya klaim ini hanya meneruskan haknya yang tertunda di tahun 1763 setelah kakaknya meninggalkan istana kala itu. Tahta Balambangan kemudian diper-wali-kan kepada pamannya, Gusti Dewa Kabakaba (1764-1767).

Sekembalinya dari Bali, Pangeran Agung Wilis yang merupakan raja sah itu kemudian dikui sebagai penguasa Blambangan oleh VOC.[2][6] Syaratnya dia harus pula mengakui kekuasaan VOC di Bumi Blambangan. Pangeran Agung Wilis membiarkan dirinya diangkat oleh VOC karena telah merencanakan siasat untuk menarik simpati VOC dan jika pasukan telah terhimpun maka akan dilakukan perlawanan. Dia memanfaatkan kedudukannya ini untuk menjalin hubungan dengan para bekel (kepala desa) agar perannya dalam hal ini dirahasiakan dan memerintahkan agar pasukan segera dihimpun, serta memerintahkan agar penyerangan ke loji-loji Belanda dilakukan secara bertahap.[2] Ia juga kerap mendistribusikan sejumlah uang Inggris dan senjata-senjata buatan Inggris kepada para pasukannya.[7]

Pada 30 September 1767 ia mulai menghimpun kekuatan untuk melawan VOC yang mulai menduduki Blambangan. Silsilah keturunan yang dimilikinya mempermudah dalam penghimpunan kekuatan ini.[8] Selain daidukung orang-orang Balambangan sendiri, dia juga mendapat bantuan kekuatan dari orang-orang Inggris (yang memang bersaing dengan VOC dalam hal perdagangan di Jawa), orang Bali, orang Melayu, orang Bugis, orang China, dan orang Madura yang tinggal di Blambangan.[7] Ia juga mendapat dukungan dari Adipati Malayakusuma (menantu Untung Surapati) dari Malang[3] dan dari Kerajaan Mengwi.[4]

Perang Wilis

[sunting | sunting sumber]

Pada Oktober 1767, Wong Agung Wilis mengumpulkan pasukannya di Ulupampang. Disana ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin oleh putranya, Dalem Puger Mas Surawijaya dan sebagian lagi dipimpin oleh Pangeran Agung Wilis sendiri.[4]

Pihak VOC mendengar penghimpunan pasukan ini. Maka dari itu VOC melakukan beberapa langkah untuk meredam perlawanan. Gubernur Pantai Timur Jawa, Johannes Vos mengirim surat pada 20 Oktober 1767 kepada Cakraningrat V (penguasa Madura) yang berisi permintaan bala bantuan pasukan ke Blambangan. Lalu datanglah 1000 orang dari laskar Madura-Bangkalan, 200 orang Madura, 500 orang Probolinggo dan sejumlah tentara Eropa ke Blambangan dengan menempuh jalur darat.[2] Sebelumnya, pada Maret 1767 dilakukan ekspedisi pertama pasukan gabungan VOC ke Blambangan.

Selain menambah pasukan, VOC juga melakukan politik pecah belah (Devide et impera) di Blambangan dengan membagi Blambangan menjadi dua bagian yakni Kabupaten Blambangan Timur yang dipimpin Bupati Mas Anom dan Patih Sutanegara dan Kabupaten Blambangan Barat yang dipimpin Bupati Mas Weka bersama Patih Wasengsari. Tujuan dari pemecahan ini adalah untuk mempermudah VOC untuk menangkap Pangeran Agung Wilis beserta pengikutnya dengan bantuan orang-orang pribumi.[7] Persiapan lain yang dilakukan VOC adalah mengamankan Selat Bali dari pengaruh Inggris dan Bali yang mendukung perlawanan Pangeran Agung Wilis.

Perlawanan ini dimulai saat Pangeran Agung Wilis sebagai penguasa Blambangan mengabaikan perintah untuk menghadap Gubernur Johannes Vos untuk meberikan laporan tentang pendirian benteng di Banyualit dan menentang kehadiran VOC di Blambangan.[9] Maka seketika itu keluarlah perintah penangkapan [angeran Agung Wilis yang dikomandoi oleh seorang komandan VOC bernama Adrianus van Rijke. Pada 2 Maret 1768, saat akan memulai operasi penangkapan Pangeran Agung Wilis, van Rijke bersama pasukannya malah dikepung oleh pasukan Pangeran Agung Wilis di Benteng Banyualit. VOC dibuat pusing kembali dengan membelotnya penguasa boneka kembar Blambangan, Mas Anom dan Mas Weka dari VOC dan bergabung pada pihak Pangeran Agung Wilis.[4]

Pengepungan di Benteng Banyualit (Blimbingsari, Banyuwangi) ini tidak bertahan lama karena kalahnya persenjataan pasukan Pangeran Agung Wilis yang hanya senjata-senjata lama buatan Inggris sedangkan pasukan VOC menggunakan meriam. Sebab lain Gagalnya perebutan Benteng Banyualit disebabkan oleh datangnya bala bantuan pasukan untuk VOC yang dipimpin oleh komandan J.E. Corp Everard A. Groen. Pasukan Pangeran Agung Wilis dapat dipukul mundur ke Ulupampang oleh pasukan VOC pimpinan Groen. Pada 13 Mei 1768 VOC berhasil merebut Ulupampang dan menahan para pedagang China, Melayu dan Bugis yang membantu perlawanan Pangeran Agung Wilis. Pasukan Pangeran Agung Wilis yang kehilangan sumber logistik mundur lagi hingga ke Kutha Lateng.[9] Pertempuran kemudian terjadi di sana pada 18 Mei 1768 dan perlawanan ini secara total dapat dipatahkan oleh VOC. Kutha Lateng dibakar rata dan Pangeran Agung Wilis berhasil mundur ke Blimbingsari.

Akhir Perlawanan dan Kematian

[sunting | sunting sumber]

Setelah perlawanan ini bisa dipatahkan oleh VOC, Mas Weka lalu memberitahukan tempat persembunyian Pangeran Agung Wilis di Blimbingsari. Mas Weka memberitahukan hal ini dengan tujuan agar memperoleh pengampunan dari VOC dan bisa kembali menjadi penguasa Blambangan.

Akibat pengkhianatan Mas Weka ini Pangeran Agung Wilis berhasil ditangkap dan diasingkan. Semula VOC merencanakan untuk mengasingkannya ke Tanjung Harapan Baik, Afrika Selatan. Namun dikarenakan pertimbangan biaya yang mahal akhirnya Pangeran Agung Wilis beserta sekitar 22 pengkutnya termasuk Mas Weka, Mas Anom, dan Bupati Ngantang, Prabujaka (daerah di dekat Gunung Kelud) dikirim ke Pulau Banda, Maluku.[2]

Beberapa tahun kemudian Pangeran Agung Wilis bisa lolos dari Penjara Rosingain (tempatnya diasingkan) dan lari ke Pulau Seram dan kemudian berlayar ke Bali. Sesampainya di Bali, ia meninggal pada 1780 karena usia yang sangat lanjut. Meskipun keturunan-keturunan dan pengikut-pengikutnya (Seperti Pangeran Jagapati yang terkenal pada Perang Puputan Bayu pada tahun 1771-1773) tetap berjuang melawan VOC.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Penerbit Bentara
  2. ^ a b c d e f Samsubur. 2006. Kerajaan Blambangan. Banyuwangi.
  3. ^ a b C. Lekkerker. 1923. Balambangan Indisch Gids II.
  4. ^ a b c d e Basri, Hasan (Ed). 2006. Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
  5. ^ Soetrisno, Is. 1976. Selayang Pandang Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
  6. ^ Ali, Hasan. 2002. Sekilas Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi. Banyuwangi
  7. ^ a b c JKJ. De Jonge. 1883. De Opkomst Van Het Nederlandsch Gesah Over-Java, ML van Deventer
  8. ^ Frederick, William dan Soeri Soeroto. 1982. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum Dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Penerbit LP3ES
  9. ^ a b Sudjana, I Made. 2001. Nagari Tawang Madu Laresan Sejarah. Kuta Bali