Yusuf I dari Granada
Abul Hajjaj Yusuf bin Ismail | |
---|---|
Sultan Granada | |
Berkuasa | 1333 – 1354 M |
Pendahulu | Muhammad IV |
Penerus | Muhammad V |
Kelahiran | Alhambra, Granada | 29 Juni 1318
Kematian | 19 Oktober 1354 Alhambra, Granada | (umur 36)
Pasangan | Butsayna, Maryam/Rim[a] |
Keturunan | Muhammad V, Ismail II, dll. |
Dinasti | Banu Nashri |
Ayah | Ismail I |
Ibu | Bahar |
Agama | Islam |
Abu al-Hajjaj Yusuf bin Ismail (bahasa Arab: أبو الحجاج يوسف بن إسماعيل; 29 Juni 1318 – 19 Oktober 1354), juga dikenal dengan nama kebesaran al-Muayyad billah (المؤيد بالله, "Yang Didukung Allah") adalah penguasa Kesultanan Granada yang terletak di Spanyol saat ini. Ia adalah sultan ketujuh dari Banu Nashri, putra dari Sultan Ismail I, dan berkuasa dari tahun 1333 sampai 1354 menggantikan kakaknya Muhammad IV yang tewas terbunuh.
Saat naik takhta, ia berusia 15 tahun dan awalnya dianggap belum dewasa sehingga pemerintahan banyak dijalankan menteri-menterinya beserta neneknya Fathimah binti al-Ahmar. Pada Februari 1334, para utusan Yusuf menegosiasikan perjanjian damai selama empat tahun dengan negara-negara tetangganya, Kastilia dan Kesultanan Mariniyah; Aragon juga bergabung dengan perjanjian ini pada bulan Mei. Setelah memiliki kendali lebih besar di pemerintahan, pada tahun 1338 atau 1340 ia mengasingkan keluarga Banu Abi al-Ula, yang merupakan dalang pembunuhan kakaknya dan pemimpin al-Ghuzat al-Mujahidin, pasukan Afrika Utara yang membantu militer Granada. Setelah berakhirnya perjanjian damai, ia bersekutu dengan Sultan Mariniyah Abu al-Hasan Ali melawan Raja Kastilia Alfonso XI. Seusai memenangkan pertempuran besar di laut pada April 1340, tentara gabungan Mariniyah dan Granada menderita kekalahan besar dalam Pertempuran Río Salado pada 30 Oktober. Setelah kekalahan ini, Yusuf tak mampu membendung Alfonso yang merebut beberapa benteng dan kota milik Granada, termasuk Alcalá de Benzaide, Locubín, Priego, dan Benamejí. Dari 1342 hingga 1344, Alfonso mengepung Algeciras, sebuah kota pelabuhan penting. Yusuf memimpin pasukannya untuk melakukan serangan balik ke wilayah Kastilia dan kemudian bertempur melawan pasukan pengepung Algeciras, tetapi kota tersebut jatuh pada Maret 1344. Peperangan diakhiri dengan perdamaian selama sepuluh tahun.
Pada 1349, Alfonso melanggar perjanjian damai dan kembali menyerang, kali ini mengepung Gibraltar. Yusuf bertanggung jawab mengirim perbekalan ke kota yang terkepung itu, dan memimpin serangan balik ke Kastilia. Pengepungan Gibraltar berakhir saat Alfonso meninggal akibat wabah Maut Hitam pada Maret 1350. Sebagai tanda hormat, Yusuf memerintahkan para panglimanya untuk tidak menyerang pasukan Kastilia yang tengah mundur membawa pulang jenazah rajanya. Yusuf menandatangani perjanjian damai dengan pengganti Alfonso, Pedro I. Ia bahkan mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan dalam negeri di Kastilia, sesuai kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Sementara itu, hubungannya dengan Kesultanan Mariniyah memburuk saat ia memberi suaka bagi para saudara-saudara Abu Inan Faris (sultan Mariniyah yang baru) yang ingin merebut takhta. Yusuf dibunuh oleh orang gila saat salat Idul Fitri pada 19 Oktober 1354 di Masjid Agung Granada.
Walaupun di bawah pemerintahan Yusuf Granada mengalami kekalahan besar di medan tempur dan kehilangan wilayah strategis, kesultanan ini mengalami kemajuan di bidang sastra, arsitektur, ilmu pengobatan, dan hukum. Banyak bangunan baru didirikan, termasuk Madrasah Yusufiyah di tengah kota Granada, gerbang Bab asy-Syariah di Alhambra, maupun bangunan-bangunan baru di Istana Comares dalam Alhambra. Pemerintahannya melibatkan tokoh-tokoh terkemuka, seperti hajib (semacam mahapatih) Abu Nu'aym Ridwan, penyair Ibnu al-Jayyab yang menjadi wazir (semacam patih), serta Ibnu al-Khatib, pakar berbagai bidang, yang menjadi wazir berikutnya. Para sejarawan modern menganggap masa kekuasaannya bersama dengan masa putranya Muhammad V sebagai masa keemasan dari Kesultanan Granada.
Masa muda
Yusuf bin Ismail lahir pada 29 Juni 1318 (28 Rabiul Akhir 718 AH) di Alhambra, yaitu kompleks benteng istana tempat tinggal dinasti Banu Nashri yang memerintah Kesultanan Granada. Ia adalah putra ketiga dari Sultan Ismail I dari Granada yang sedang berkuasa.[1] Sultan Ismail memiliki empat putra dan dua putri, tetapi Yusuf adalah satu-satunya yang terlahir dari ibunya, seorang umm walad (budak-selir) yang bernama Bahar. Bahar berasal dari negeri Kristen dan disebut sebagai wanita yang "mulia dalam kebaikan, [dalam] memelihara diri, dan [dalam] kesabaran" (thirfun fil-khair wash-shauni war-rajāḥah) oleh Ibnu al-Khatib, sejarawan yang kelak menjadi wazir dalam pemerintahan Yusuf.[1][2] Saat Ismail terbunuh pada tahun 1325, ia digantikan oleh kakak Yusuf yang masih berusia 10 tahun, yaitu Sultan Muhammad IV, hingga ia pun dibunuh pada 25 Agustus 1333. Pembunuhan Muhammad terjadi dalam perjalanan pulang dari perang, setelah pasukan Granada bersama Kesultanan Mariniyah dari Negeri Maghrib berhasil menggagalkan pengepungan terhadap Gibraltar (Jabal Thariq) oleh Kerajaan Kristen Kastilia.[3] Sebelum menjadi sultan, Yusuf tinggal di rumah ibunya.[4] Ibnu al-Khatib menggambarkan Yusuf pada masa mudanya: "berkulit putih, kuat, baik rupanya, dan baik pula budinya," dengan mata yang lebar, rambut hitam lurus dan jenggot yang tebal. Ibnu al-Khatib juga menulis bahwa Yusuf suka berpakaian menawan, tertarik dengan seni dan arsitektur, gemar mengoleksi senjata, dan cukup terampil.[5]
Latar belakang sejarah
Kesultanan Granada (Gharnatah) didirikan oleh Muhammad I dan merupakan kerajaan Muslim terakhir di Semenanjung Iberia, yang disebut Al-Andalus dalam bahasa Arab.[6] Berkat siasat diplomasi dan militernya, kesultanan ini berhasil menjaga kedaulatannya, sekalipun diapit oleh dua kerajaan yang lebih besar: Kastilia yang beragama Kristen di sebelah utaranya, dan Kesultanan Mariniyah yang beragama Islam yang terletak di seberang laut yaitu di Afrika Utara (tepatnya di Maroko sekarang).[7] Kesultanan Granada acap kali bersekutu atau berperang dengan kedua kerajaan ini, atau memicu perang antara keduanya, demi mencegah jatuhnya Granada ke tangan salah satu tetangganya itu. Terkadang para sultan Granada juga menyatakan sumpah setia kepada para raja Kastilia, dan membayar upeti yang merupakan sumber pendapatan penting di Kastilia.[8] Dari sudut pandang Kastilia, Granada tak lain adalah sebuah kerajaan vasalnya, sedangkan sumber-sumber Muslim tidak menganggap hubungan mereka seperti ini. Sebagai contoh, Muhammad I beberapa kali juga menyatakan sumpah setia kepada raja-raja Muslim lainnya.[9]
Sultan sebelum Yusuf, yaitu kakaknya Muhammad IV, meminta bantuan Kesultanan Mariniyah untuk mengatasi ancaman dari Kastilia yang bersekutu dengan salah satu panglima Granada, Utsman bin Abi al-Ula, yang mendukung sultan tandingan dalam sebuah perang saudara di Granada. Sebagai imbalan untuk bantuan Mariniyah, Muhammad harus melepas wilayah Ronda (Rundah), Marbella (Marbilah), dan Algeciras (al-Jazirah al-Khadra) kepada Sultan Mariniyah Abu al-Hasan Ali. Selanjutnya, pasukan Granada–Mariniyah merebut Gibraltar dari tangan Kastilia dan menggagalkan upaya Kastilia untuk merebutnya kembali, sebelum akhirnya Sultan Granada dan Mariniyah menandatangani perjanjian damai dengan Alfonso XI dari Kastilia pada 24 Agustus 1333.[10] Pembunuhan Muhammad IV terjadi sehari setelah perdamaian tersebut, yaitu pada 25 Agustus (13 Zulhijjah 733 H). Ia ditikam seorang budak yang bernama Zayyan, tetapi dalangnya adalah Abu Tsabit bin Utsman dan Ibrahim bin Utsman, yang merupakan panglima sang sultan. Keduanya adalah putra dari Utsman bin Abi al-Ula yang meninggal pada tahun 1330, dan Abu Tsabit adalah penggantinya sebagai panglima tertinggi al-Ghuzat al-Mujahidin, pasukan Afrika Utara yang membantu militer Granada.[10][3][11] Menurut sejarawan Ibnu Khaldun kedua tokoh tersebut menginginkan kematian Muhammad karena kedekatannya dengan Sultan Mariniyah yang merupakan musuh politik mereka, sedangkan menurut tawarikh Kastilia Muhammad dibunuh karena terlalu akrab dengan Alfonso setelah tercapainya perdamaian.[10][12]
Dengan direbutnya Gibraltar, dan karena sebelumnya sebagian wilayah Kesultanan Granada telah diserahkan kepada Abu al-Hasan, Kesultanan Mariniyah menguasai wilayah yang cukup luas dan pasukan yang cukup besar di Al-Andalus. Wilayah ini (biasanya merupakan milik Granada) termasuk dua kota pelabuhan yang menghadap Selat Gibraltar yang memisahkan Eropa dan Afrika, yaitu Gibraltar dan Algeciras, sehingga memudahkan mereka menggerakkan pasukan antara Afrika Utara dan Semenanjung Iberia jika diperlukan. Kendali atas perairan Selat Gibraltar dan pelabuhan-pelabuhannya juga merupakan tujuan penting bagi Alfonso, yang ingin menghentikan bantuan Muslim dari Afrika Utara ke Semenanjung Iberia.[1]
Naik takhta
Banu Nashri tidak memiliki aturan pewarisan kekuasaan yang rinci, dan sumber-sumber sejarah tidak menyebutkan kenapa Yusuf (yang merupakan putra ketiga Ismail) diangkat sebagai sultan alih-alih kakaknya. Faraj, putra kedua Ismail yang setahun lebih tua.[3][1] Terdapat beberapa riwayat mengenai penobatan Yusuf. Menurut sejarawan Brian Catlos, hajib (semacam mahapatih) Abu Nu'aym Ridwan, yang menyaksikan pembunuhan Muhammad IV, memacu kudanya ke ibu kota, tiba pada hari yang sama, bermusyawarah dengan nenek sang sultan Fathimah binti al-Ahmar, dan keduanya lalu mengatur penobatan Yusuf sebagai Sultan.[13] Riwayat ini juga dikutip oleh sejarawan L. P. Harvey dan Francisco Vidal Castro, yang menyebutnya berasal dari tawarikh-tawarikh Kastilia.[14][1] Vidal Castro lebih mendukung riwayat lain yang menyebut bahwa penobatan Yusuf terjadi di kemah tentara Muslim dekat Gibraltar dan bukan di ibu kota, dan yang menobatkannya adalah dalang pembunuhan Muhammad, Abu Tsabit dan Ibrahim. Vidal Castro juga menyebut bahwa upacara penobatan Yusuf terjadi pada tanggal 26 Agustus (14 Zulhijjah 733 H).[1]
Karena baru berusia 15 tahun, awalnya Yusuf dianggap belum dewasa, dan menurut Ibnu al-Khatib kekuasaannya hanya terbatas "memilih makanan yang ia makan di meja".[15] Neneknya Fathimah dan Ridwan yang tetap menjadi hajib bertindak sebagai pengasuhnya dan mengendalikan pemerintahan bersama menteri-menteri lainnya. Saat naik takhta, Yusuf menggelari dirinya dengan lakab (laqab, gelar kebesaran) al-Mu'ayyad Billah ("Yang Didukung Allah"). Pendiri dinasti Banu Nashri, Muhammad I, juga memiliki gelar lakab (Al-Ghalib Billah, "Pemenang Karena Allah"), tetapi sultan-sultan berikutnya tidak melakukan hal yang sama. Setelah Yusuf memulai kembali praktik ini, hampir semua sultan setelahnya juga memiliki lakab.[1] Menurut tawarikh Kastilia, Yusuf langsung meminta Abu al-Hasan, sekutu mendiang kakaknya, untuk melindungi kerajaannya.[16]
Peristiwa politik dan militer
Perdamaian
Karena kematian Muhammad IV, menurut prinsip yang berlaku pada masa itu perjanjian perdamaian yang telah disepakati oleh Muhammad dengan Alfonso dan Abu al-Hasan menjadi batal. Selanjutnya, perwakilan dari Yusuf bertemu dengan perwakilan kedua raja tersebut dan menandatangani perjanjian baru dengan masa berlaku empat tahun di Fes, ibu kota Kesultanan Mariniyah, pada 26 Februari 1334.[1][17] Seperti biasa, perjanjian ini mengatur dibolehkannya perdagangan bebas antara ketiga kerajaan, tetapi perjanjian ini juga meniadakan upeti yang biasanya harus dibayar Granada kepada Kastilia. Selain itu, kapal-kapal Mariniyah diperbolehkan memasuki pelabuhan-pelabuhan Kastilia, dan Abu al-Hasan diharuskan berjanji untuk tidak menambah pasukannya yang berada di Semenanjung Iberia; ia hanya boleh merotasi pasukan yang ada.[18] Klausul ini tidak hanya menguntungkan Kastilia, tetapi juga Granada, yang juga ingin mencegah semakin meluasnya wilayah Mariniyah di Al-Andalus.[1] Selanjutnya, raja Kristen lain di Spanyol yaitu Afonso IV dari Aragon (m. 1327–1336) bergabung dengan perjanjian ini pada Mei 1334, dan menandatangani perjanjian bilateral dengan Yusuf pada 3 Juni 1335. Setelah Afonso IV meninggal pada 1336, putranya Pero IV melanjutkan perjanjian ini selama lima tahun. Dengan demikian, tercapai periode perdamaian antara Granada dengan negara-negara tetangganya.[19]
Dengan tercapainya perdamaian di antara mereka, raja-raja tersebut mengalihkan perhatiannya ke tempat lain: Alfonso XI berusaha menundukkan pembesar-pembesarnya yang memberontak, sementara Abu al-Hasan memerangi Kerajaan Tilimsan yang dikuasai Dinasti Zayyaniyah di Afrika Utara.[19] Sementara itu, Yusuf bertindak terhadap keluarga Banu Abi al-Ula, dalang pembunuhan kakaknya Muhammad IV. Pada September 1340 (atau kemungkinan 1338), Abu Tsabit bin Utsman dicopot dari posisinya sebagai pemimpin tertinggi Al-Ghuzat al-Mujahidin, dan diganti oleh Yahya bin Umar dari keluarga Banu Rahhu. Yusuf mengusir Abu Tsabit beserta ketiga saudaranya dan seluruh keluarga Banu Abi al-Ula ke Tunis, yang merupakan daerah Daulat Hafsiyah.[1][20] Harvey berkomentar bahwa, "menurut standar tindakan pembalasan pada. masa itu ... [tindakan] ini cukup terkendali". Kemungkinan Yusuf tidak bertindak lebih keras lagi karena ia tidak ingin mempertegang hubungan dengan prajurit Al-Ghuzat Al-Mujahidin lainnya.[20]
Perang Granada dan Mariniyah melawan Kastilia
Pada musim semi tahun 1339, setelah berakhirnya perjanjian yang sebelumnya ditandatangani pada tahun 1334, konflik dimulai lagi dengan serangan-serangan Mariniyah terhadap daerah pertanian Kastilia, yang melebar menjadi konfrontasi antara Kastilia yang dibantu Aragon dengan kedua kerajaan Muslim tetangganya. Granada diserbu pasukan Kastilia pimpinan Gonzalo Martinez, Mahaguru Ordo Alcántara, yang menyerang Locubín, Alcalá de Benzaide (Al-Qal'at Banu Said), dan Priego. Sebagai balasan, Yusuf memimpin 8.000 pasukannya untuk mengepung Siles, tetapi mundur setelah datangnya pasukan yang dipimpin Mahaguru Ordo Santiago, Alfonso Méndez de Guzmán.[21][b] Persaingan pribadi antara kedua mahaguru ini tampaknya memicu pembelotan de Guzmán ke pihak Yusuf, tetapi tak lama kemudian ia ditangkap pasukan Kastilia, lalu dihukum gantung dan jenazahnya dibakar. Panglima Mariniyah di Iberia, Abu Malik Abdul Wahid, putra Abu al-Hasan, tewas dalam pertempuran kecil melawan Kastilia pada 20 Oktober 1339, tetapi pasukannya terus memorakporandakan daerah perbatasan Kastilia hingga dikalahkan di Jerez.[23] Sementara itu, pasukan Granada memperoleh beberapa kemenangan, termasuk penaklukan kota Carcabuey.[1]
Pada musim gugur 1339, armada Aragon pimpinan Jofre Gillabert berusaha mendarat di dekat Algeciras tetapi mundur setelah laksamana mereka tewas terkena panah.[24] Pada 8 April 1340, pertempuran besar terjadi di lepas pantai Algeciras antara armada Kastilia yang dipimpin Alfonso Jofré Tenorio melawan armada Granada-Mariniyah yang dipimpin Muhammad al-Azafi, yang berakhir dengan kemenangan pihak Muslim dan kematian Tenorio.[25][26] Armada Muslim merebut 28 kapal galai (dari 44 galai di armada Kastilia yang bertempur) dan 7 kapal kerakah. Abu al-Hasan menganggap kemenangan ini sebagai pertanda awal jatuhnya Kastilia ke tangannya.[25] Ia menyeberangi Selat Gibraltar dengan pasukannya, membawa berbagai mesin kepung, seluruh pembesar istana, dan istri-istrinya. Ia mendarat di Algeciras pada 4 Agustus. Yusuf bergabung dengannya dan mereka memulai pengepungan terhadap Tarifa (Tharifah), pelabuhan Selat Gibraltar yang dikuasai Kastilia, pada 23 September.[27] Alfonso XI bergerak untuk menyelamatkan Tarifa, dan tentaranya diperkuat pasukan sekutunya, Raja Afonso IV dari Portugal (m. 1325–1357).[28] Pada 23 atau 29 Oktober, mereka tiba sekitar 8 km dari Tarifa dan Yusuf bersama Abu al-Hasan bergerak untuk menghadangnya.[29] Pasukan Alfonso XI terdiri dari 8.000 tentara berkuda, 12.000 tentara pejalan kaki, ditambah milisi penduduk kota yang jumlahnya tidak diketahui, sementara Afonso IV memimpin 1.000 tentara.[28] Kekuatan pasukan Muslim jauh lebih besar tetapi jumlah tepatnya tidak diketahui: sumber-sumber Kristen pada masa itu menyebut angka 53.000 tentara berkuda dan 600.000 pejalan kaki, yang jelas terlalu dibesar-besarkan;[30] sejarawan modern Ambrosio Huici Miranda (1956) memperkirakan tentara Granada berjumlah 7.000 dan tentara Mariniyah berjumlah 60.000. Para kesatria dari pihak Kristen memiliki zirah yang jauh lebih baik dibandingkan pasukan berkuda Muslim yang hanya memiliki perlengkapan ringan.[28]
Pertempuran Río Salado
Kedua pasukan bertemu dalam pertempuran Río Salado (disebut juga pertempuran Tarifa) pada 30 Oktober 1340, dari pukul 9 pagi hingga 12 siang, yang berakhir dengan kemenangan mutlak pihak Kristen. Yusuf, yang mengenakan pelindung kepala emas dalam pertempuran ini, meninggalkan pertempuran setelah serangan dari pasukan Portugis. Awalnya, pasukan Granada yang ia pimpin berhasil menahan serangan dan hampir mengalahkan Portugal dalam serangan balik, tetapi bala bantuan datang membantu Afonso dan membuat Yusuf beserta pasukannya mundur terkocar-kacir sementara sekutunya pasukan Mariniyah masih berada di medan pertempuran. Akhirnya, pasukan Mariniyah juga dikalahkan oleh pihak Kastilia.[31] Menurut Harvey, kunci kemenangan pasukan Kristen (walaupun pasukannya jauh lebih kecil) adalah taktik dan zirah tentara berkudanya. Taktik kubu Muslim lebih mengandalkan tentara berkuda yang bergerak lincah dan berperlengkapan ringan, yang cocok untuk medan pertempuran terbuka. Namun, medan Río Salado yang relatif sempit menguntungkan pasukan Kristen yang bertempur dalam formasi barisan rapi yang terdiri dari kesatria-kesatria berzirah tebal.[28]
Setelah pertempuran, pasukan Kristen merangsek ke perkemahan kubu Muslim, dan membantai anak-anak dan wanita yang ditemui, termasuk permaisuri Abu al-Hasan, Fathimah, putri dari Sultan Tunis, Abu Bakar II. Para panglima Kristen menyesali terbunuhnya Fathimah karena ingin agar ia ditawan saja untuk mendapat uang tebusan.[31] Banyak pembesar dan anggota dinasti yang ditawan, termasuk Abu Umar Tasyufin, putra Abu al-Hasan.[32] Bagi Granada, kekalahan ini menyebabkan kerugian besar yaitu tewasnya banyak cendekiawan dan petinggi negara Granada yang ikut bertempur.[1] Yusuf mundur ke ibu kota melalui kota Marbella (Marbalah). Abu al-Hasan mundur ke Gibraltar, mengirim berita kemenangan ke Maghrib agar kekalahan ini tidak memicu pemberontakan di negerinya, dan menyeberangi laut ke Ceuta (Sabtah) pada malam itu juga.[32]
Para penulis Muslim menyalahkan Sultan Mariniyah tersebut atas kekalahan ini: Umar II, Sultan Tilimsan, menyebut bahwa Abu al-Hasan telah "mempermalukan Islam dan menggembirakan kaum musyrikin,"[31] dan sejarawan al-Maqqari menyebut bahwa pasukannya "terserak seperti debu yang ditiup angin".[32] Agaknya, Yusuf tidak disalahkan dan ia sendiri tetap dicintai di Granada.[20] Alfonso XI pulang ke Sevilla dan memaradekan tawanan-tawanan serta harta rampasan dari pertempuran ini.[33] Akibat banyaknya emas dan perak yang dirampas, harga logam mulia hingga sejauh Paris dan Avignon mengalami penurunan hingga seperenam harga.[34]
Setelah Río Salado
Dengan mundurnya sebagian besar pasukan Mariniyah ke Afrika Utara, Alfonso XI menjadi leluasa bertindak melawan Granada.[11] Ia melancarkan invasi pada April 1341, dengan terlebih dahulu berpura-pura hendak menyerang Málaga (Malaqah), kota pelabuhan besar di sebelah barat Granada. Setelah Yusuf mengirimkan bala bantuan ke kota ini (dengan mengambil pasukan dari tempat lain), Alfonso membelokkan pasukannya ke Alcalá de Benzaide, sebuah benteng besar di daerah perbatasan yang terletak 50 km di utara Granada dan garnisunnya telah dikurangi untuk memperkuat Málaga.[35] Pasukan Kastilia mengepung benteng ini dan memorakporandakan wilayah sekelilingnya. Tidak hanya merampas bahan makanan, mereka juga merusak pohon-pohon perkebunan; tindakan tersebut menimbulkan kerugian jangka panjang tanpa ada manfaat langsung bagi para penyerang. Untuk menanggapinya, Yusuf membawa pasukannya menuju sebuah posisi dekat Pinos Puente sekarang, untuk mencegah agar aksi pengrusakan yang dilakukan Kastilia tidak mencapai daerah subur (vega) yang mengitari kota Granada. Alfonso memperluas target serangannya untuk memancing Yusuf meninggalkan posisinya yang memiliki pertahanan bagus, tetapi tentara Granada tidak bergerak sementara pasukan Kastilia menghancurkan wilayah di sekitar Locubín dan Íllora.[36] Pengepungan terhadap Alcalá terus berjalan, dan setelah menerima bala bantuan dari pasukan Mariniyah di Algeciras Yusuf maju sekitar 10 km menuju Moclín (Muklin). Baik Yusuf maupun Alfonso tidak berani melakukan serangan frontal, dan Alfonso mencoba memancing Yusuf ke sebuah jebakan tetapi tidak berhasil.[37] Melihat bahwa bala bantuan tidak akan tiba, penjaga benteng Alcalá meminta untuk menyerah dengan syarat dijamin keselamatannya untuk meninggalkan Alcalá. Syarat ini diterima Alfonso dan serah terima dilakukan pada 20 Agustus 1341. Yusuf kemudian menawarkan gencatan senjata, tetapi Alfonso menyaratkan agar ia memutus persekutuannya dengan Abu al-Hasan. Yusuf menolak syarat ini, sehingga perang terus berjalan.[38][1]
Pada saat yang sama dengan pengepungan Alcalá, pasukan Alfonso juga merebut Locubín. Dalam beberapa minggu berikutnya, pasukan Kastilia merebut Priego, Carcabuey, Matrera, dan Benamejí.[35] Pada Mei 1342, armada gabungan Granada dan Mariniyah yang berlayar di Selat Gibraltar dihadang oleh armada Kastilia dan Genova. Pertempuran laut ini berakhir dengan kemenangan kubu Kristen, hancurnya 12 galai Muslim, dan terpencarnya kapal-kapal Muslim yang tersisa di sepanjang pantai Andalusia.[39]
Pengepungan Algeciras
Alfonso lalu mengalihkan perhatiannya ke Algeciras, kota pelabuhan penting yang sempat gagal direbut ayahnya, Fernando IV, pada 1309–10. Alfonso tiba di dekat Algeciras pada awal Agustus 1342 dan perlahan memulai blokade dari darat dan laut terhadap kota itu.[40] Yusuf dan pasukannya maju ke medan pertempuran, dibantu oleh pasukan Mariniyah dari Ronda, dengan tujuan mengancam Alfonso dengan serangan dari belakang atau mengalihkan perhatiannya. Antara November 1342 dan Februari 1343, pasukan ini menyerang wilayah Kastilia di sekitar Écija, memasuki dan menjarah Palma del Río, merebut kembali Benamejí, dan merebut Estepa.[1][41] Pada bulan Juni, Yusuf mengirim hajibnya Ridwan untuk menemui Alfonso dan menawarkan uang agar Alfonso meninggalkan Algeciras. Alfonso menanggapi dengan meminta lebih banyak uang.[1][42] Yusuf lalu berangkat ke Maghrib untuk berkonsultasi dengan Abu al-Hasan dan meminta uang, tetapi tambahan uang dari Sultan Mariniyah tersebut tidak cukup. Walaupun Alfonso telah memberikan jaminan keselamatan atas perjalanan Yusuf, saat kembali ke Iberia kapalnya diserang oleh sebuah kapal Genova dari kubu Alfonso yang ingin mencuri emas yang dibawanya. Kapal-kapal Yusuf berhasil mematahkan serangan ini; Alfonso meminta maaf tetapi tidak menindak kapten kapal Genova tersebut.[43][44]
Tentara Muslim yang mempertahankan Algeciras menggunakan meriam untuk menghalau para penyerang. Ini merupakan salah satu penggunaan meriam paling awal yang tercatat dalam operasi besar di Eropa, mendahului penggunaan senjata tersebut dalam Pertempuran Crécy (1346) yang jauh lebih dikenal.[45][46][11] Pasukan Alfonso mendapat bantuan rombongan dari berbagai belahan Eropa, termasuk dari Inggris dan Prancis yang sedang saling berperang dalam Perang Seratus Tahun. Di antara pembesar Eropa yang ikut serta adalah Philippe III, Raja Navarra, Gaston II, Comte de Foix, Earl Salisbury, dan Earl Derby.[47]
Pada 12 Desember 1343, Yusuf menyeberangi Sungai Palmones dan bertempur melawan sebagian pasukan Kastilia. Sumber Kastilia melaporkan kemenangan Kastilia dalam peristiwa ini. Pada awal 1344, Alfonso membangun dinding penghalang di laut sekitar Algeciras (yang terbuat dari pohon-pohon yang disatukan dengan rantai) untuk mencegah masuknya makanan dan perbekalan ke Algeciras. Penduduk Algeciras terancam kelaparan dan peluang kemenangan Granada juga semakin menyusut, sehingga Yusuf memulai kembali perundingan.[44][48] Ia mengirim seorang utusan (disebut "Hasan Algarrafa" dalam catatan Kastilia) untuk menawarkan penyerahan Algeciras dengan syarat jaminan keselamatan bagi penduduk Algeciras untuk meninggalkan kota bersama harta bendanya, sekaligus perdamaian selama 15 tahun antara Granada, Kastilia, dan Kesultanan Mariniyah. Walaupun pembesarnya menyarankan agar Alfonso menolak tawaran ini, menyerbu Algeciras, dan membantai penduduknya, sang raja sadar akan sulitnya menjebol pertahanan kota Algeciras dan melakukan serangan paksa, sementara ia terancam oleh pasukan Granada dari belakang. Ia menyetujui tawaran Algarrafa, tetapi meminta agar perdamaian hanya berdurasi 10 tahun. Syarat ini diterima Yusuf. Selain kedua raja ini, perjanjian ini juga mengikutsertakan Abu al-Hasan, Pero IV, dan Doge (Yang Dipertuan) Genova. Yusuf dan Alfonso menandatangani perjanjian tersebut pada 25 Maret 1344 di kemah tentara Kastilia dekat Algeciras.[49][50]
Pengepungan Gibraltar dan peristiwa terkait
Perang pecah lagi pada 1349, saat Alfonso menyatakan bahwa perjanjian damai sebelumnya sudah tidak lagi mengikatnya untuk tidak menyerang wilayah Muslim. Alfonso memberikan alasan bahwa wilayah Mariniyah di Iberia tidak lagi berada di bawah pemerintahan Abu al-Hasan, tetapi putranya Abu Inan Faris, yang memberontak dan merebut ibu kota Fes setahun sebelumnya. Pada Juni atau Juli 1349, pasukan Alfonso memulai pengepungan terhadap Gibraltar, kota pelabuhan yang pernah direbut Fernando IV pada 1309 sebelum berpindah ke tangan Mariniyah pada tahun 1333. Sebelum pengepungan dimulai, Yusuf sempat mengirim pemanah dan pasukan pejalan kaki untuk memperkuat pertahanan kota tersebut. Pada bulan Juli, Alfonso tiba di tengah pasukannya yang mengepung Gibraltar, dan pada bulan yang sama ia memerintahkan Kerajaan Murcia[c] untuk menyerang Kesultanan Granada.[52] Walaupun diprotes Yusuf, Pero IV mengirim armada Aragon untuk ikut serta dalam pengepungan, tetapi ia memerintahkan tentaranya untuk tidak menyakiti warga Granada demi menepati perjanjian damai dengan Yusuf yang ia anggap masih berlaku.[53] Tanpa adanya bantuan Mariniyah, Yusuf bertanggung jawab memimpin perlawanan terhadap Kastilia dan ia memimpin pasukannya melakukan berbagai serangan balik ke wilayah Kastilia. Pada musim panas 1349 ia menyerang pinggir kota Alcaraz dan Quesada, dan mengepung Écija. Pada musim dingin ia mengirim Ridwan untuk mengepung Cañete la Real, yang menyerah setelah dua hari.[1]
Di tengah berjalannya pengepungan, wabah Maut Hitam (disebut mortandad grande/kematian besar), yang telah memasuki beberapa pelabuhan di Iberia pada 1348, mulai menjangkit di kubu penyerang. Alfonso tetap mempertahankan pengepungannya, walaupun didesak untuk mundur oleh para pembesarnya. Ia sendiri tertular penyakit tersebut, dan meninggal pada hari Jumat Agung 1350 (26 Maret), atau mungkin sehari sebelumnya. Alhasil, pasukan Kastilia mundur dari Gibraltar, disaksikan sebagian pasukan kota yang keluar benteng untuk melihatnya.[54] Sebagai tanda hormat, Yusuf memerintahkan tentaranya dan para panglimanya yang menjaga daerah perbatasan untuk tidak menyerang barisan Kastilia yang pulang ke Sevilla membawa jenazah sang raja.[55] Alfonso digantikan anaknya yang berusia 15 tahun, Pedro I. Yusuf, Pedro, dan Abu Inan lalu menyetujui sebuah perjanjian pada 17 Juli 1350, dengan jangka waktu hingga 1 Januari 1357. Di antara isinya adalah dibukanya kembali perdagangan antara Granada dan Kastilia (kecuali kuda, senjata, dan gandum) serta pertukaran tawanan. Sebagai imbalan perdamaian, Yusuf harus membayar upeti dan menyediakan 300 pasukan berkuda ringan untuk Pedro jika diminta, tetapi Yusuf tidak menjadi vasal Pedro secara resmi. Walaupun secara pribadi tidak menyukai Pedro, Yusuf memenuhi kewajibannya: ia sempat mengirim 300 pasukan berkuda (dengan berat hati, menurut sejarawan Joseph O'Callaghan) untuk membantu Pedro menumpas pemberontakan Alfonso Fernández Coronel di Aguilar, dan menolak permintaan bantuan dari Enrique, saudara seayah Pedro yang berusaha melancarkan pemberontakan dari Algeciras.[56]
Yusuf dan para pangeran Mariniyah
Abu al-Hasan berusaha merebut kembali takhta Mariniyah, tanpa hasil hingga ia meninggal pada 1351. Dua saudara Abu Inan yang juga ingin merebut takhta, Abu al-Fadhl serta Abu Salim, melarikan diri ke Granada. Yusuf menolak tekanan dari Sultan Abu Inan untuk menyerahkan mereka.[57] Seperti banyak Sultan Granada yang lain, Yusuf merasa bahwa keberadaan pesaing takhta Mariniyah di istananya dapat sewaktu-waktu dimanfaatkan jika ia terlibat konflik dengan Sultan Mariniyah.[5] Yusuf kemudian menyarankan agar Abu al-Fadhl berangkat ke Kastilia untuk mencari bantuan Pedro. Pedro, yang ingin agar negeri Maghrib kembali dilanda perang saudara, menyediakan kapal agar Abu al-Fadhl dapat mendarat di Sus untuk menyerang Abu Inan.[57][58] Sultan Mariniyah ini amat murka dengan tindakan Yusuf tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena tahu bahwa Kastilia akan mendukung Granada.[59] Abu al-Fadhl kelak akan ditawan Abu Inan dan dibunuh pada tahun 1354 atau 1355,[57][60] sedangkan Abu Salim kelak menjadi Sultan pada tahun 1359–1361, jauh setelah kematian Yusuf.[61]
Pembangunan
Yusuf mendirikan Bab asy-Syariah (kini disebut Torre de la Justicia) di Alhambra pada 1348, sebagai bagian gerbang masuk yang megah di kompleks Alhambra. Ia juga mendirikan menara yang kini disebut Torre Quebrada (Menara Patah) di benteng utama Alhambra, serta Torre de la Cautiva (Menara Tawanan) di tembok terluar kompleks tersebut. Selain itu, ia melakukan pembangunan di Istana Comares, termasuk renovasi hamam (pemandian) istana tersebut, serta pembangunan aulanya yang disebut Salón de Embajadores (Aula Para Duta), bangunan terbesar dari masa Banu Nashri di kompleks ini. Yusuf membangun banyak tembok dan menara untuk mendukung perluasan yang ia lakukan di Comares, dan menghias banyak interior bangunan di Alhambra, sebagaimana ditunjukkan oleh namanya yang sering terukir di dinding berbagai bangunan.[62] Masih di dalam kompleks Alhambra, ia membangun ruang salat (kini disebut oratorio) di Istana Partal dan gerbang yang disebut Torre de los Siete Suelos (Gerbang Tujuh Lantai).[1] Pada tahun 1349, ia mendirikan Madrasah Yusufiyah di dekat Masjid Agung Granada (kini Katedral Granada), sarana pendidikan yang sejajar dengan universitas abad pertengahan yang ketika itu ada di Bologna, Paris, dan Oxford. Hanya ruang salat dari madrasah tersebut yang masih lestari hingga kini.[1][62] Yusuf juga membangun al-Funduq al-Jadidah ("funduq baru"), yang kini menjadi Corral del Carbón di kota Granada dan merupakan satu-satunya funduq (penginapan untuk pedagang jarak jauh) dari zaman Banu Nashri yang masih lestari.[63] Di luar kota Granada, ia memperluas qasbah atau Alcazaba di kota Málaga (dulu kediaman dari kakeknya Abu Said Faraj yang menjabat sebagai wali negeri Málaga) serta pembangunan sektor kota baru di Málaga yaitu Gibralfaro.[62]
Yusuf juga memerintahkan pembangunan sarana pertahanan di seluruh negerinya, termasuk menara pantau, gerbang, dan posko pertahanan, terutama setelah menderita kekalahan di Río Salado. Selain itu, ia memperkuat benteng-benteng dan tembok-tembok pertahanan yang ada, serta sarana pertahanan pantai. Hajibnya, Ridwan, membangun 40 menara pantau (thali'ah) di sepanjang pantai Kesultanan Granada dari timur ke barat.[64] Lebih lagi, Yusuf memperkuat tembok kota Granada, serta Bab Ilbira (kini Gerbang Elvira) dan Bab al-Ramlah (kini Gerbang Telinga) di kota tersebut.[62][1]
Pemerintahan
Pemerintahan Yusuf didukung oleh para menteri, termasuk tokoh-tokoh yang disebut Fernández-Puertas sebagai "sebuah konstelasi tokoh budaya terkemuka". Di antaranya adalah Ridwan yang menjabat sebagai hajib, sebuah jabatan yang lebih tinggi dari wazir dan menteri-menteri lainnya. Seorang hajib juga dapat memegang komando atas pasukan tentara jika Sultan sedang tidak hadir. Jabatan ini diciptakan pada 1329 (masa Sultan Muhammad IV) berdasarkan jabatan serupa yang pernah ada pada masa Kekhalifahan Umayyah di Kordoba, dengan Ridwan sebagai pemegang pertamanya. Ridwan diberhentikan dan dipenjarakan setelah kekalahan Granada di Río Salado. Ia dibebaskan satu tahun kemudian tetapi menolak tawaran Yusuf untuk mengangkatnya kembali.[65][65] Pengganti Ridwan, Abu al-Hasan bin al-Mawl, berasal dari keluarga terkemuka tetapi ternyata tidak cakap dalam urusan politik.[66][67] Ia diberhentikan setelah beberapa bulan dan mengungsi ke Afrika Utara untuk menghindari intrik lawan-lawan politiknya. Jabatan hajib menjadi kosong hingga Ridwan diangkat lagi dalam periode pertama (1354–1359) pemerintahan Muhammad V. Saat Ridwan dibunuh dalam kudeta tahun 1359, posisi ini lowong lagi hingga diangkatnya Abu al-Surrur Mufarrij oleh Yusuf III (m. 1408–1417).[68][65]
Penyair termasyhur Ibnu al-Jayyab diangkat menjadi wazir pada tahun 1341, dan menjadi pejabat menteri tertinggi dan merupakan perancang kebijakan Yusuf yang hati-hati setelah pertempuran Río Salado.[55] Ia juga merupakan katib (juru tulis) istana, sehingga dia dikenal dengan julukan dzul-wizaratayn ("penyandang dua wizarah/jabatan wazir").[55][69] Wabah Maut Hitam tiba di Kesultanan Granada pada 1348 dan menjangkiti sekurangnya tiga kota terbesarnya: Granada, Málaga, dan Almería (Al-Mariyyah). Banyak cendekiawan dan petinggi negara menjadi korban, termasuk Ibnu al-Jayyab yang meninggal pada 1349.[1][70] Sesuai permintannya, ia digantikan dalam posisi wazir maupun katib istana oleh muridnya, Ibnu al-Khatib.[66][67] Ibnu al-Khatib telah bertugas di diwan al-insya (dewan tulis-menulis, atau sekretariat negara) sejak 1340, menggantikan ayahnya yang meninggal di Río Salado, sebagai bawahan Ibnu al-Jayyab. Setelah menjadi wazir, ia juga merangkap jabatan-jabatan lain, termasuk pengawas keuangan.[66][67] Ia disebut Catlos sebagai "penulis dan cendekiawan utama Al-Andalus abad ke-14",[71] dan sepanjang hidupnya (termasuk pada masa Muhammad V saat ia tetap menjadi wazir) meninggalkan karya tulis di berbagai bidang termasuk sejarah, syair, pengobatan, adab, sufi, dan filsafat.[72] Dengan akses leluasa ke dokumen-dokumen dan arsip negara, ia adalah salah satu sejarawan utama tentang Kesultanan Granada.[55][73]
Yusuf menggelar pertemuan umum dua kali seminggu, yaitu hari Senin dan Kamis, untuk mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya, dengan dibantu menteri-menterinya dan anggota keluarga kerajaan lainnya. Menurut sejarawan Syihabuddin al-Umari, dalam pertemuan ini dibacakan tiga juz al-Qur'an dan sebagian hadis. Dalam acara resmi, ia memimpin kegiatan istana dari sebuah kursi kayu lipat yang ditandai lambang dinasti Banu Nashri di belakangnya, yang kini masih disimpan di Museum Alhambra.[74] Antara bulan April dan Mei 1347, ia melakukan kunjungan kenegaraan ke kawasan timur kesultanannya, dengan tujuan utama memeriksa bangunan-bangunan pertahanan negara di sana. Ia mengunjungi 20 tempat dalam 22 hari bersama para pembesar istana, termasuk ke kota pelabuhan Almería, tempat ia dielu-elukan penduduk.[1] Ibnu al-Khatib menulis kisah-kisah lain yang mengilustrasikan kepopuleran Yusuf, termasuk jamuan oleh seorang hakim yang dihormati di Purchena, sambutan oleh masyarakat (termasuk kaum wanita) di Guadix/Wadi 'Ash pada 1354, dan sambutan oleh saudagar-saudagar Kristen pada tahun yang sama.[75][d] Menurut Vidal Castro, dinar yang dicetak pada zaman Yusuf memiliki rancangan yang indah, dan peninggalannya masih banyak tersisa sekarang.[1]
Dalam diplomasi, praktik baru yang dilakukan Yusuf (pertama kalinya dalam sejarah Banu Nashri) adalah mengirim utusan kepada Kesultanan Mamluk di Kairo. Sepucuk surat yang masih tersimpan dari Sultan Mamluk Ash-Shalih Shalih menunjukkan bahwa Yusuf telah meminta bantuan militer untuk menghadapi kaum Kristen; Ash-Shalih menjawab dengan doa untuk kemenangan Yusuf tetapi menolak mengirim pasukan karena ia membutuhkannya untuk konflik-konflik di wilayah perbatasannya sendiri.[77] Banyak peninggalan surat menyurat Yusuf dengan penguasa Muslim di Afrika (terutama dengan para Sultan Mariniyah) disimpan dalam kitab Rayhanat al-Kuttab yang disusun Ibnu al-Khatib).[78]
Di bidang kehakiman, awalnya posisi kadi (hakim) kepala (qadi al-jama'ah) tetap dipegang oleh Abu Abdullah Muhammad al-Asy'ari al-Malaqi yang ditunjuk pada masa Muhammad IV, hingga hakim ini meninggal di Río Salado.[79] Ia dikenal dengan pendiriannya yang keras. Dalam satu kesempatan ia mengirim syair untuk Yusuf untuk memperingatkannya akan para petinggi negara yang memboroskan pendapatan negara; dalam kesempatan lain ia mengingatkan sang sultan akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin kaum muslimin.[80] Saat al-Malaqi meninggal, Yusuf mengangkat, berturut-turut, Muhammad bin Ayyasy, Ibnu Burtal, dan Abu al-Qasim Muhammad al-Sabti.[79] Al-Sabti mengundurkan diri pada 1347 dan Yusuf kemudian mengangkat Abu al-Barakat ibn al-Hajj al-Balafiqi, yang sebelumnya menjabat sebagai kadi daerah di berbagai wilayah dan dikenal dengan kecintaannya akan membaca.[81] Yusuf memperkuat posisi mufti, profesi ahli hukum yang bertugas mengeluarkan fatwa (pendapat hukum), umumnya untuk membantu para hakim menjawab persoalan-persoalan sulit dalam penafsiran hukum Islam.[82] Madrasah Yusufiyah yang Yusuf dirikan juga sebagian dimaksudkan untuk meningkatkan pengaruh para mufti, dan fikih mazhab Maliki merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan.[82][83] Fokus Yusuf dalam penegakan hukum dan pengangkatan hakim-hakim terkemuka meningkatkan wibawanya di mata rakyat maupun raja-raja Muslim yang lain.[75] Di sisi lain, Yusuf juga dikenal memiliki kecenderungan sufi yang tidak disukai oleh para fakih (ahli fikih) di sekelilingnya, termasuk kecintaannya terhadap filsuf terkemuka Al-Ghazali (1058–1111) yang memiliki doktrin sufi yang tidak disukai ulama berpendirian ortodoks (kaku).[1]
Keluarga
Menurut Ibnu al-Khatib, Yusuf mulai "bermain dengan ide memiliki selir" setelah menjadi sultan.[4] Ia memiliki dua selir, bernama Butsayna dan Maryam atau Rim,[a] yang keduanya berasal dari negeri Kristen. Perseliran Butsayna kemungkinan diresmikan pada 737 H (ca 1337 M), sesuai dengan tanggal puisi yang ditulis Ibnu al-Jayyab untuk memperingati pesta pernikahannya. Disebut bahwa pesta tersebut terjadi pada hari hujan, dan diadakan balapan kuda untuk merayakannya.[84] Butsayna melahirkan putra pertama Yusuf, Muhammad (kelak Sultan Muhammad V), pada tahun 1339 dan seorang putri bernama Aisyah. Maryam/Rim melahirkan tujuh anak: dua laki-laki yaitu Ismail (Ismail II, m. 1359–1360, lahir sembilan bulan setelah Muhammad), dan Qays, serta lima perempuan yaitu Fathimah, Mu'minah, Khadijah, Syams, dan Zaynab. Putri tertuanya menikahi seorang kerabat, yang kelak menjadi Sultan Muhammad VI (m. 1360–1362). Catatan sejarah menerangkan bahwa Maryam/Rim memiliki pengaruh lebih besar terhadap Yusuf dibanding Butsayna, dan Yusuf menyayangi Ismail putra Maryam/Rim melebihi anak-anak lainnya.[64] Yusuf juga memiliki seorang putra lain, yaitu Ahmad, tetapi kini tidak diketahui siapa ibunya.[85] Selain itu, Yusuf memiliki seorang istri yang ia nikahi pada 738 H (ca 1338 M) dan merupakan putri dari seorang kerabatnya dari Banu Nashri juga. Catatan sejarah tidak menyebutkan keterangan lain selain tanggal pernikahannya, sehingga Bárbara Boloix Gallardo berspekulasi bahwa permaisuri ini mungkin meninggal tak lama setelah pernikahan.[86] Awalnya, Yusuf menetapkan Ismail sebagai putra mahkota, tetapi beberapa hari sebelum meninggal, ia memutuskan menggantinya dengan Muhammad yang dianggap lebih bijak. Baik Muhammad maupun Ismail berusia relatif belia (sekitar 15 tahun) saat Yusuf meninggal.[87][88]
Pendidikan anak-anaknya dipercayakan kepada Abu Nu'aym Ridwan.[64] Hajib ini juga berasal dari negeri Kristen dan sempat mengajari Ismail sedikit bahasa Yunani.[89] Nenek Yusuf, Fathimah, yang telah berpengaruh besar di istana Banu Nashri selama beberapa generasi sultan, meninggal pada tahun 1349 dengan umur 90 (dalam kalender Hijriyah), dan menerima syair penghormatan dari Ibnu al-Khatib.[90] Ibunda Yusuf, Bahar, juga tercatat memiliki peran di istana: saat pengembara Ibnu Batutah tiba di Granada pada 1350 dan hendak bertemu Yusuf, sang sultan sedang sakit dan sebagai gantinya Bahar memberi pengembara tersebut uang untuk keperluannya.[91] Tidak diketahui apakah Bahar sempat bertemu Ibnu Batutah, atau apakah Ibnu Batutah sempat disambut di istana Alhambra.[92] Selir Maryam/Rim memiliki peran politik setelah Yusuf meninggal: pada 1359, ia mendanai sebuah kudeta yang melibatkan 100 orang, melengserkan Muhammad V (anak tirinya) dan mengangkat Ismail (anak kandungnya) sebagai sultan.[93]
Selain Muhammad IV, Yusuf memiliki seorang abang seayah lainnya, yang bernama Faraj dan pindah ke luar negeri saat Yusuf naik takhta. Kelak ia kembali ke Kesultanan Granada, dan kemudian dipenjarakan dan dibunuh atas perintah Yusuf di Almería pada 751 H (1350 atau 1351), kemungkinan dengan alasan politik. Yusuf juga memenjarakan adik seayahnya, Ismail, yang kelak dibebaskan Muhammad V dan pindah ke Afrika Utara. Selain itu, Yusuf memiliki dua saudari seayah, Fathimah dan Maryam, yang ia nikahkan. Salah satunya menikah dengan seorang kerabat dari Banu Nashri yang bernama Abu al-Hasan Ali.[93]
Kematian
Yusuf dibunuh saat sedang salat Idul Fitri berjemaah di Masjid Agung Granada pada 13 Oktober 1354 (1 Syawal 755 AH). Seorang pria menikamnya dengan pisau belati saat sujud terakhir dalam ibadah salat tersebut. Ibnu al-Khatib hadir dalam kejadian ini (sebagai petinggi negara, kemungkinan ia salat tak jauh dari sultan) dan ia menuliskan riwayat rinci dari peristiwa tersebut.[94] Si pembunuh keluar dari barisan jemaah salat dan berjalan menuju sultan. Gerakannya tidak disadari atau tidak dihiraukan orang-orang yang sedang salat. Saat sampai di dekat sultan, ia segera menikamnya. Ibadah salat berjemaah langsung terhenti, dan Yusuf diangkut ke kediamannya di Alhambra, tetapi ia meninggal di sana. Si pembunuh ditangkap dan diinterogasi, tetapi jawabannya tidak dapat dimengerti.[95] Massa yang mengamuk kemudian menghabisinya, dan mayatnya dibakar (menurut Ibnu al-Khatib, tetapi pernyataan ini juga bisa bermaksud bahwa si pembunuh akan terbakar di neraka) atau "dicincang menjadi seribu potong" (menurut Ibnu Khaldun).[64][96]
Riwayat Ibnu al-Khatib mengesankan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang gila (mamrur) tanpa motif apapun,[97] dan ini juga merupakan versi utama yang disajikan Fernández-Puertas dan Harvey, sekalipun Harvey menambahkan bahwa ketiadaan motif yang dilaporkan ini "memicu kecurigaan [kita]".[64][96] Ibnu Khaldun beserta Ibnu Hajar al-Asqalani seorang sejarawan Arab lainnya dari masa yang berdekatan, juga menyebut bahwa si pembunuh adalah orang gila yang bodoh dan dari golongan rendah. Ibnu Khaldun menambahkan bahwa si pembunuh adalah seorang budak di kandang kuda istana yang dicurigai orang adalah anak luar nikah dari Muhammad IV dengan seorang wanita kulit hitam. Berdasarkan riwayat ini, Vidal Castro berspekulasi bahwa ada kemungkinan alternatif bahwa pembunuhan ini bermotif politik dan didalangi oleh pihak ketiga.[98] Vidal Castro menganggap bahwa kecil kemungkinan si pembunuh merencanakan sendiri konspirasi bermotif politik, dan kecil pula kemungkinan bahwa pihak ketiga tersebut merencanakan agar seorang anak luar nikah yang tidak waras menjadi sultan. Alhasil, Vidal Castro berspekulasi bahwa dalang pembunuhan itu ingin menghabisi Yusuf untuk mengakhiri masa pemerintahannya entah karena alasan apa, dan si pembunuh hanyalah dimanfaatkan karena kondisinya yang unik. Jika benar ia adalah keponakan Yusuf, ia seharusnya dapat dengan mudah mendekati sultan, dan karena kondisi mentalnya ia dapat dengan mudah dimanipulasi untuk melakukan misi berbahaya ini tanpa tahu tujuan sesungguhnya. Selain itu, para dalang berharap bahwa pembunuhan itu akan dianggap sebagai perbuatan orang gila saja dan motifnya diabaikan.[99] Menurut Vidal Castro, dalang sesungguhnya bisa saja suatu kelompok di istana yang tidak diketahui identitasnya maupun motif spesifiknya, atau bisa juga pesuruh dari Sultan Mariniyah Abu Inan, yang hubungannya dengan Yusuf memburuk akhir-akhir itu.[100]
Peninggalan sejarah
Yusuf digantikan putra sulungnya, Muhammad V.[62] Yusuf dikuburkan di rawdhah atau pemakaman keluarga kerajaan di Alhambra, bersama kakek buyutnya, Muhammad II, dan ayahnya, Ismail I. Kelak, setelah jatuhnya Granada pada 1492, sultan terakhir Muhammad XII menggali jenazah di pemakaman ini dan memindahkannya ke tanah miliknya di Mondújar, daerah Pegunungan Alpujarras.[101] Fernández-Puertas menyebut masa pemerintahan Yusuf dan putranya Muhammad V sebagai "klimaks" atau puncak dari periode Banu Nashri, yang dapat dilihat dari peninggalan budaya dan bangunan-bangunannya, serta berjayanya ilmu pengobatan.[e][102] Senada dengan ini sejarawan Brian A. Catlos menulis bahwa periode kedua sultan ini adalah "era kejayaan terbesar" dari Kesultanan Granada,[90] dan Rachel Arié menyebut periode tersebut sebagai "apogeo" atau titik tertinggi.[103] Harvey menulis bahwa semasa pemerintahan Yusuf, seni digalakkan, istana dipenuhi "di antara para penulis terbaik pada masanya",[104] dan kota Granada mengalami pembangunan pesat. Arié juga menulis bahwa pada masa Yusuf dan Muhammad V, sastra Granada "bersinar dengan kilau yang paling cemerlang"; banyak penyair aktif berkarya di zaman Yusuf, termasuk sang wazir Ibnu al-Jayyab dan Ibnu al-Khatib, maupun sang hakim Abu al-Barakat.[105] Harvey menyebut pencapaian Yusuf yang besar dan "solid" di bidang budaya sebagai dimulainya "masa keemasan" dinasti Banu Nashri. Selain itu, Yusuf berhasil melanggengkan Kesultanan Granada di tengah "serangan Alfonso XI yang bertubi-tubi", dan pada akhir masa pemerintahannya juga berhasil mengurangi ketergantungan Granada kepada Kesultanan Mariniyah. Namun, Harvey juga menilai kekalahan di Río Salado sebagai "kemunduran paling besar yang diderita kubu Muslim" selama periode Banu Nashri selain kejatuhan Granada sendiri, dan menulis bahwa di bawah kekuasaan Yusuf dua kota strategis, yaitu Algeciras dan Alcalá de Benzaide, jatuh ke tangan Kastilia.[106]
Catatan penjelas
- ^ a b Selir kedua Yusuf disebut dengan nama "Maryam" oleh Fernández-Puertas 1997, hlm. 13 dan (Vidal Castro: Yusuf I), sedangkan Boloix Gallardo 2013, hlm. 74 menyebutnya "Rim". Boloix Gallardo berpendapat bahwa Maryam berasal dari kesalahan membaca sumber: dalam huruf Arab, bi-Rim (بريم, "oleh/dengan Rim") sangat mirip dengan "Maryam" (مريم)
- ^ Ordo Alcántara dan Ordo Santiago (beserta Ordo Calatrava yang tidak disebut di artikel ini) adalah ordo militer Kristen yang didirikan pada abad ke-12 untuk memerangi Muslim di Semenanjung Iberia. Masing-masing ordo dipimpin oleh seorang "mahaguru" dan menguasai benteng-benteng di kawasan perbatasan. Ordo-ordo ini merupakan komponen penting dari militer Kastilia pada masa itu.[22]
- ^ Kerajaan Alfonso secara resmi adalah gabungan dari berbagai kerajaan, salah satunya adalah Kerajaan Murcia yang merupakan bekas kerajaan Muslim Mursiyya.[51]
- ^ Ibnu al-Khatib tidak menyebutkan asal para saudagar Kristen yang disebutkan di sini, tetapi yang jelas para saudagar Katalan telah mendirikan posko perdagangan di kota-kota besar Granada paling tidak sejak tahun 1320-an.[76]
- ^ Contoh pakar pengobatan terkemuka dari periode Yusuf adalah al-Hasan bin Muhammad al-Qaysi, seorang pakar racun dan penangkalnya, yang disebut "orang pintar ajaib terakhir di Al-Andalus" oleh Ibnu al-Khatib; tabib keluarga istana Muhammad asy-Syaquri; serta Yahya bin Hudzayl al-Tujibi, guru dari asy-Syaquri dan Ibnu al-Khatib.[102]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Vidal Castro: Yusuf I.
- ^ Boloix Gallardo 2013, hlm. 72.
- ^ a b c Fernández-Puertas 1997, hlm. 7.
- ^ a b Boloix Gallardo 2013, hlm. 73.
- ^ a b Fernández-Puertas 1997, hlm. 8.
- ^ Harvey 1992, hlm. 9, 40.
- ^ Harvey 1992, hlm. 160, 165.
- ^ O'Callaghan 2013, hlm. 456.
- ^ Harvey 1992, hlm. 26–28.
- ^ a b c Vidal Castro: Muhammad IV.
- ^ a b c Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1023.
- ^ Harvey 1992, hlm. 188.
- ^ Catlos 2018, hlm. 345–346.
- ^ Harvey 1992, hlm. 188–189.
- ^ Fernández-Puertas 1997, hlm. 8–9.
- ^ Harvey 1992, hlm. 191.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 165.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 165–166.
- ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 166.
- ^ a b c Harvey 1992, hlm. 190.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 169.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 222.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 169–170.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 171–172.
- ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 171.
- ^ Arié 1973, hlm. 267.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 174–175.
- ^ a b c d Harvey 1992, hlm. 193.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 175.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 177.
- ^ a b c O'Callaghan 2011, hlm. 182.
- ^ a b c O'Callaghan 2011, hlm. 183.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 184.
- ^ Harvey 1992, hlm. 194.
- ^ a b O'Callaghan 2011, hlm. 190.
- ^ Harvey 1992, hlm. 195.
- ^ Harvey 1992, hlm. 197–178.
- ^ Harvey 1992, hlm. 198.
- ^ Arié 1973, hlm. 268.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 193.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 197.
- ^ Harvey 1992, hlm. 202–203.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 204.
- ^ a b Harvey 1992, hlm. 203.
- ^ Harvey 1992, hlm. 199.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 195.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 198–199.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 205–206.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 206–207.
- ^ Harvey 1992, hlm. 203–204.
- ^ O'Callaghan 2013, hlm. 428–429.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 213–214.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 214.
- ^ O'Callaghan 2011, hlm. 216.
- ^ a b c d Fernández-Puertas 1997, hlm. 10.
- ^ O'Callaghan 2014, hlm. 13–14.
- ^ a b c O'Callaghan 2014, hlm. 14.
- ^ Arié 1973, hlm. 104.
- ^ Arié 1973, hlm. 103–104.
- ^ Arié 1973, hlm. 105.
- ^ Harvey 1992, hlm. 209.
- ^ a b c d e Fernández-Puertas 1997, hlm. 14.
- ^ Latham & Fernández-Puertas 1993, hlm. 1028.
- ^ a b c d e Fernández-Puertas 1997, hlm. 13.
- ^ a b c Fernández-Puertas 1997, hlm. 9.
- ^ a b c Fernández-Puertas 1997, hlm. 9–10.
- ^ a b c Arié 1973, hlm. 206.
- ^ Arié 1973, hlm. 200.
- ^ Arié 1973, hlm. 210.
- ^ Arié 1973, hlm. 439.
- ^ Catlos 2018, hlm. 350.
- ^ Bosch-Vilá 1971, hlm. 836.
- ^ Arié 1973, hlm. 179.
- ^ Fernández-Puertas 1997, hlm. 12.
- ^ a b Fernández-Puertas 1997, hlm. 11.
- ^ Arié 1973, hlm. 318–319.
- ^ Arié 1973, hlm. 105, 109.
- ^ Arié 1973, hlm. 180, juga catatan 3.
- ^ a b Arié 1973, hlm. 279.
- ^ Arié 1973, hlm. 283.
- ^ Arié 1973, hlm. 280–281.
- ^ a b Arié 1973, hlm. 291.
- ^ Fernández-Puertas 1997, hlm. 10–11.
- ^ Boloix Gallardo 2013, hlm. 74.
- ^ Boloix Gallardo 2013, hlm. 76.
- ^ Boloix Gallardo 2013, hlm. 76–77.
- ^ Vidal Castro: Ismail II.
- ^ Arié 1973, hlm. 197.
- ^ Arié 1973, hlm. 424.
- ^ a b Catlos 2018, hlm. 346.
- ^ Arié 1973, hlm. 196, juga catatan 4.
- ^ Dunn 2005, hlm. 285–286.
- ^ a b Fernández-Puertas 1997, hlm. 16.
- ^ Vidal Castro 2004, hlm. 367.
- ^ Vidal Castro 2004, hlm. 366–367.
- ^ a b Harvey 1992, hlm. 204–205.
- ^ Vidal Castro 2004, hlm. 368.
- ^ Vidal Castro 2004, hlm. 368–369.
- ^ Vidal Castro 2004, hlm. 369.
- ^ Vidal Castro 2004, hlm. 369–370.
- ^ Arié 1973, hlm. 198.
- ^ a b Fernández-Puertas 1997, hlm. 11–12.
- ^ Arié 1973, hlm. 101.
- ^ Harvey 1992, hlm. 205.
- ^ Arié 1973, hlm. 452–454.
- ^ Harvey 1992, hlm. 190, 205.
Daftar pustaka
- Arié, Rachel (1973). L'Espagne musulmane au temps des Nasrides (1232–1492) (dalam bahasa Prancis). Paris: E. de Boccard. OCLC 3207329.
- Boloix Gallardo, Bárbara (2013). Las sultanas de la Alhambra: las grandes desconocidas del reino nazarí de Granada (siglos XIII-XV) (dalam bahasa Spanyol). Granada: Patronato de la Alhambra y del Generalife. ISBN 978-84-9045-045-1.
- Bosch-Vilá, Jacinto (1971). "Ibn al- K̲h̲aṭīb". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 835–837. OCLC 495469525.
- Catlos, Brian A. (2018). Kingdoms of Faith: A New History of Islamic Spain. London: C. Hurst & Co. ISBN 978-17-8738-003-5.
- Dunn, Ross E. (2005). The Adventures of Ibn Battuta: A Muslim Traveler of the Fourteenth Century. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. ISBN 978-0-520-24385-9.
- Fernández-Puertas, Antonio (April 1997). "The Three Great Sultans of al-Dawla al-Ismā'īliyya al-Naṣriyya Who Built the Fourteenth-Century Alhambra: Ismā'īl I, Yūsuf I, Muḥammad V (713–793/1314–1391)". Journal of the Royal Asiatic Society. Third Series. London: Cambridge University Press on behalf of Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. 7 (1): 1–25. doi:10.1017/S1356186300008294. JSTOR 25183293.
- Harvey, L. P. (1992). Islamic Spain, 1250 to 1500. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-31962-9.
- Latham, J.D.; Fernández-Puertas, A. (1993). "Naṣrids". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VII: Mif–Naz (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1020–1029. ISBN 978-90-04-09419-2.
- O'Callaghan, Joseph F. (2011). The Gibraltar Crusade: Castile and the Battle for the Strait. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ISBN 978-0-8122-0463-6.
- O'Callaghan, Joseph F. (2013). A History of Medieval Spain. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-6872-8.
- O'Callaghan, Joseph F. (2014). The Last Crusade in the West: Castile and the Conquest of Granada. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ISBN 978-0-8122-0935-8.
- Vidal Castro, Francisco. "Ismail II". Diccionario Biográfico electrónico (dalam bahasa Spanyol). Real Academia de la Historia.
- Vidal Castro, Francisco. "Muhammad IV". Dalam Real Academia de la Historia. Diccionario Biográfico electrónico (dalam bahasa Spanyol).
- Vidal Castro, Francisco. "Yusuf I". Diccionario Biográfico electrónico (dalam bahasa Spanyol). Real Academia de la Historia.
- Vidal Castro, Francisco (2004). "El asesinato político en al-Andalus: la muerte violenta del emir en la dinastía nazarí". Dalam María Isabel Fierro. De muerte violenta: política, religión y violencia en Al-Andalus (dalam bahasa Spanyol). Editorial CSIC – CSIC Press. hlm. 349–398. ISBN 978-84-00-08268-0.
Yusuf I dari Granada Cabang kadet Banu Khazraj Lahir: 1318 Meninggal: 1354
| ||
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Muhammad IV |
Sultan Granada 1333–1354 |
Diteruskan oleh: Muhammad V |