Kekristenan di Myanmar
Kekristenan di Myanmar adalah merunut sejarah agama Kristen di Myanmar. Agama Kristen di Myanmar pertama kali dibawa oleh para tentara, pedagang, dan beberapa penjelajah pada abad ke-16.[1] Pada tahun 1511, di bawah pimpinan Albuquerque, Portugis berhasil menduduki Malaka dan mengirimkan beberapa utusan untuk melakukan investigasi ke Moktama dan Pegu.[1] Pada tahun 1519, seorang pedagang Portugis bernama Antonio Correa menandatangani perjanjian dagang dengan pemimpin Moktama.[1] Akibat dari perjanjian dagang tersebut adalah sebanyak 700 pedagang dan tentara Portugis terus berdatangan ke Myanmar (yang pada saat itu masih bernama Burma) sejak tahun 1540 dan banyak di antara mereka yang beragama Katolik.[1]
Pekabaran Injil oleh para Misionaris
[sunting | sunting sumber]Pekabaran Injil oleh misionaris pertama kali dilakukan pada tahun 1554.[1] Pekabaran Injil pada saat itu dilakukan oleh seorang pastor Fransiskan dari Prancis dan dua orang rahib Dominikan yang tiba di Burma untuk melayani para pedagang dan tentara yang berada di sana.[2] Kegiatan misi yang dilakukan oleh pastor dan dua orang rahib tersebut tidak diterima dengan baik oleh orang-orang Portugis.[2] Pada akhirnya, pastor dan rahib tersebut meninggalkan Burma setelah tiga tahun melakukan pelayanan di sana.[1]
Pada tahun 1602, Raja Minyazagyi dari Bago mengizinkan Filipe de Brito e Nicote, seorang penjelajah dan pemimpin pasukan Portugis, untuk mendirikan benteng di Siriam.[1] Sekalipun kekuasaan de Brito semakin bertumbuh, pada tahun 1613 ia dijatuhi hukuman mati oleh Raja Annaukpetlun dari Ava karena telah menghancurkan pagoda dan memaksa para penganut agama Budha untuk menganut agama Kristen.[1] Raja Annaukpetlun kemudian membawa 400 tentara Portugis yang menjadi tawanan tersebut untuk membangun istana.[2] Mereka semua tinggal di desa-desa di antara Chindwin dan sungai Mu serta menikahi perempuan-perempuan pribumi sehingga dihasilkanlah ras campuran Portugis-Burma yang disebut Bayingyi atau Feringyi.[3] Raja Annaukpetlun memberikan lahan-lahan pertanian untuk diolah dan mengizinkan dua orang pastor Yesuit untuk melayani di komunitas Bayingyi tersebut (Hackett 1975, 123).[1]
Pada tahun 1630, Sebastian Manrique, seorang rahib dari ordo Agustinian datang ke Mrohang (ibu kota Rakhaing) dan menghabiskan waktu lima tahun di sana.[1] Selama lima tahun tersebut tidak ada hasil dari karya pelayanannya di sana.[1] Pada tahun 1687, dua orang imam dari Society de Mission Etrengeres di Paris datang ke Bago (Pegu) tetapi pada tahun 1693 mereka ditangkap dan dilemparkan ke sungai Hlaing.[3]
Pada tahun 1721 dikirimlah Romo Sigismond de Calchi dan Romo Vittoni ke Syriam.[2] Raja Taninganwe dari Ava memberikan mereka izin untuk memberitakan Injil secara bebas dan mendirikan kapel di ibu kota Ava.[2] Selain kapel, sebuah gereja juga didirikan di Pegu dan misionaris yang berdatangan pun semakin banyak jumlahnya.[2] Pada tahun 1741, Paus Benediktus XIV mengangkat Romo Gallizia menjadi uskup pertama di Yangon, Burma.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Chin Khua Khai. 2003. The Cross Among Pagodas: A History of the Assemblies of God in Myanmar. Philippines: APTS Press. Hlm. 36.
- ^ a b c d e f (Inggris)William D. Hackett. Burma dalam Donald E. Hoke. 1975. The Church in Asia. Chicago: Moody Press. hlm. 123.
- ^ a b (Indonesia)Anne Ruck. 1997. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 197-200.