Pengepungan Konstantinopel (717–718)
Pengepungan Kedua Konstantinopel oleh Arab | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Bizantium-Arab | |||||||
Peta Konstantinopel dan daerah sekitarnya pada masa Bizantium | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kekhalifahan Umayyah |
Kekaisaran Bizantium Kekhanan Bulgar | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Maslamah bin Abdul Malik Sulaiman bin Mu'adz Umar bin Hubairah Bakhtari bin Hasan |
Leo III Tervel | ||||||
Kekuatan | |||||||
120000 orang[1] 2560 kapal[2] | tidak diketahui |
Pengepungan Kedua Konstantinopel oleh Arab pada tahun 717–718 adalah upaya gabungan darat dan laut oleh pasukan Arab dari Kekhalifahan Umayyah terhadap ibu kota Kekaisaran Bizantium, Konstantinopel. Upaya ini menandai puncak dari dua puluh tahun serangan, gangguan, dan pendudukan Arab yang bertahap terhadap perbatasan Bizantium, sementara kekuatan Bizantium sedang melemah akibat kekacauan dalam negeri yang berkepanjangan. Pada tahun 716, setelah persiapan selama bertahun-tahun, pasukan Arab, dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik, menginvasi Asia Kecil milik Bizantium. Meskipun pada awalnya mereka ingin memanfaatkan perang saudara Bizantium dan membuat kesepakatan dengan jenderal Leo orang Isauria, yang bangkit menentang Kaisar Theodosius III, akan tetapi Leo justru memperdayai pihak Arab dan merebut tahta Bizantium untuk dirinya sendiri.
Setelah melewati musim dingin di pesisir barat Asia Kecil, pasukan Arab menyeberang ke Trakia pada awal musim panas 717 dan membangun garis pengepungan untuk memblokade kota, yang dilindungi oleh Tembok Theodosius yang besar. Armada kapal Arab, yang mengiringi pasukan darat dan dimasudkan untuk melengkapi blokade kota lewat laut, dihalau beberapa saat setelah kedatangannya oleh serangan api Yunani dari angkatan laut Bizantium, sehingga memungkinkan Konstantinopel untuk memperoleh pasokan makanan melalui laut, sementara pasukan Arab menderita wabah kelaparan dan penyakit pada musim dingin berikutnya yang keras. Pada musim semi 718, dua armada Arab yang dikirim sebagai bala bantuan dihancurkan oleh Bizantium setelah ada kru Kristennya yang membelot, dan satu pasukan tambahan yang dikirim lewat darat melalui Asia Kecil disergap dan dikalahkan. Dengan tambahan serangan pasukan Bulgar dari arah belakang, pasukan Arab akhirnya terpaksa menghentikan pengepungan pada 15 Agustus 718. Dalam perjalanan pulangnya, armada Arab nyaris diluluhlantakkan oleh bencana alam.
Kegagalan pengepungan ini mengakibatkan dampak yang luas. Penyelamatan Konstantinopel menjamin kerberlangsungan Bizantium, sementara pandangan strategi Kekhalifahan diubah: meskipun serangan rutin terhadap wilayah Bizantium terus berlanjut, tujuan penaklukan langsung mulai ditinggalkan. Para sejarawan menyebut pengepungan ini sebagai peristiwa yang menghentikan gerak maju Islam ke Eropa, dan menganggapnya sebagai salah satu pertempuran paling menentukan dalam sejarah.
Latar belakang
Setelah Pengepungan Pertama Konstantinopel oleh Arab (674–678), baik Arab maupun Bizantium melewati masa damai. Setelah tahun 680, Kekhalifahan Umayyah mengalami Perang Saudara Islam Kedua disusul dengan kebangkitan Bizantium yang terjadi di Timur yang memungkinkan Bizantium untuk menarik upeti berjumlah besar dari pemerintah Umayyah di Damaskus.[3] Pada tahun 692, setelah Umayyah berhasil menghentikan Perang Saudara Muslim, Kaisar Justinianus II (berkuasa 685–695 dan 705–711) kembali memicu permusuhan dengan Umayyah. Hasilnya adalah serangkaian kemenangan Arab yang berujung pada lepasnya kendali Bizantium atas Armenia dan kepangeranan-kepangeranan Kaukasus, serta gangguan bertahap terhadap wilayah Bizantium. Dari tahun ke tahun, para jenderal Kekhalifahan, biasanya anggota keluarga Umayyah, melancarkan serbuan ke wilayah Bizantium dan merebut benteng dan kota.[4][5][6] Setelah 712, sistem pertahanan Bizantium mulai menampakkan tanda-tanda keruntuhan: semakin lama, serbuan Arab menembus semakin dalam ke Asia Kecil, benteng-benteng di perbatasan berulang kali diserang dan dijarah, dan reaksi Bizantium semakin lama semakin lemah.[7][8] Dalam usaha ini, Arab dibantu oleh adanya periode ketidakstabilan dalam negeri yang berkepanjangan, yang berlangsung menyusul penggulingan pertama Justinianus II pada 695. Selama periode ini, tahta Biznatium tujuh kali berpindah tangan dalam revolusi yang keras.[4][9][10] Meskipun demikian, seperti disebutkan oleh ahli Bizantium Warren Treadgold, "Serangan Arab bagaimanapun juga semakin meningkat setelah berakhirnya perang saudara." Dengan tenaga manusia, lahan, dan kekayaan yang lebih besar daripada Bizantium, Arab mulai memusatkan seluruh kekuatan mereka untuk melawan Bizantium. Kini mereka berniat sepenuhnya meruntuhkan kekaisaran itu dengan menaklukan ibu kotanya."[11]
Sumber
Informasi yang tersedia mengenai pengepungan ini berasal dari sumber-sumber yang ditulis pada masa-masa selanjutnya, yang sering kali saling bertentangan. Sumber Bizantium utama adalah catatan yang panjang dan rinci berupa Kronik Theophanes Sang Pengaku (760–817) dan yang terpenting kedua adalah catatan yang lebih singkat dalam Breviarium buatan Patriark Nikephoros I dari Konstantinopel (meninggal 828), yang menampilkan perbedaan-perbedaan kecil, khususnya yang bersifat kronologis, dari versi Theophanes.[12] Untuk peristiwa-peristiwa dalam pengepungan, kedua penulis tampaknya mengandalkan naskah primer yang ditulis pada masa pemerintahan Leo III orang Isauria (berkuasa 717–741) yang dengan demikian berisi penggambaran yang lebih disukai pada catatan yang kedua, sedangkan Theophanes tampaknya mengandalkan biografi tak diketahui mengenai Leo (diabaikan oleh Nikephoros) untuk peristiwa-peristiwa pada tahun 716.[13] Sumber-sumber Arab, terutama Kitabul 'Uyun dari abad ke-11 dan catatan yang lebih singkat dalam Sejarah Para Nabi dan Raja karya at-Tabari (838–923), didasarkan pada naskah-naskah primer buatan para penulis Arab awal abad ke-9, namun isinya lebih membingungkan dan mengandung sejumlah unsur legenda. Naskah-naskah berbahasa Suryani didasarkan pada Agapius dari Hierapolis (meninggal 942), yang sangat mungkin menulis berdasarkan sumber-sumber primer yang sama seperti Theophanes, namun jauh lebih singkat.[14][15]
Tahap awal kampanye
Keberhasilan Arab membuka jalan untuk serangan kedua ke Konstantinopel, suatu usaha yang sudah dimulai semenjak Khalifah al-Walid I (b. 705–715). Setelah kematiannya, saudara dan penerusnya Sulaiman (b. 715–717) mengambil proyek tersebut dengan semangat yang meningkat, diduga karena adanya sabda Nabi bahwa Khalifah yang memiliki nama Nabi akan menaklukkan Konstantinopel; Sulaiman adalah satu-satunya anggota Wangsa Umayyah yang membawa nama Nabi, yaitu nabi Sulaiman. Menurut sumber-sumber berbahasa Suryani, Khalifah baru itu bersumpah "untuk tidak akan berhenti berjuang melawan Konstantinopel sebelum mencapai titik darah penghabisan bangsa Arab atau sebelum merebut kota itu."[16][17][18][19][20] Pasukan Umayyah mulai berkumpul di dataran Dabiq sebelah utara Aleppo, di bawah pengawasan langsung Khalifah. Karena Sulaiman sedang sakit, komando dipercayakan kepada saudaranya Maslamah bin Abdul-Malik.[21] Operasi terhadap Konstantinopel terjadi pada saat negara Umayyah sedang mengalami periode ekspansi berkelanjutan ke timur dan barat. Pasukan Muslim bergerak maju ke Transoxiana, India dan Kerajaan Visigoth di Hispania.[22]
Persiapan Arab, khususnya pembanguan armada besar, sebenarnya telah diketahui oleh Bizantium yang merasa cemas. Kaisar Anastasios II (berkuasa 713–715) mengirim utusan ke Damaskus di bawah patrician dan prefek urban, Daniel dari Sinope, berpura-pura meminta perdamaian, namun pada kenyataanya memata-matai pasukan Arab. Anastasios kemudian memulai persiapan untuk pengepungan yang tak terhindarkan: perbentengan Konstantinopel diperbaiki dan dilengkapi dengan banyak artileri, sedangkan persediaan makanan dimasukkan ke dalam kota dan penduduk yang tidak mampu menimbun bahan makanan untuk cadangan selama tiga tahun dievakuasi.[23][24][25] Anastasios memperkuat angkatan lautnya dan pada awal 715 mengerahkannya melawan armada Arab yang mendatangi pesisir Lykia di Phoinix—ada kemungkinan bahwa ada kebingungan antara tempat yang dimaksud dengan Phoinix di seberang Rhodes,[26] dan bahkan mungkin dengan Fenisia (Lebanon modern), yang terkenal akan hutan cedarnya[27]—untuk mengumpulkan kayu untuk membuat kapal. Akan tetapi, di Rhodes, armada Bizantium, didorong oleh para tentara dari Thema Opsikion, memberontak, membunuh komandan mereka Yohanes Diakon dan berlayar ke utara menuju Adramyttion. Di sana mereka mengangkat seorang bekas pemungut pajak yang agak enggan, Theodosios III, sebagai kaisar.[7][20][28][29] Anastasios menyeberang ke Bithynia di Thema Opsikion untuk menghadapi pemberontakan, namun armada pemberontak berlayar ke Khrysopolis. Dari sana, mereka melancarkan serangan terhadap Konstantinopel, hingga, pada akhir musim panas, para simpatisan di dalam kota membuka gerbang untuk mereka. Anastasios bertahan di Nikaia selama beberapa bulan, sebelum akhirnya bersedia untuk menyerah dan hidup sebagai biarawan.[30][31][32] Naiknya Theodosios, dari sumber yang ada disebut sebagai orang yang enggan dan tidak cakap, sebagai kaisar boneka orang Opsikion, memicu reaksi keras dari thema-thema lainnya, terutama Anatolikon dan Armeniakon di bawah strategosnya (jenderal) masing-masing, yaitu Leo orang Isauria dan Artabasdos.[11][33]
Dalam kondisi yang mendekati perang saudara, Arab dengan hati-hati mulai mempersiapkan gerak maju mereka. Pada September 715, barisan terdepan yang dipimpin Jenderal Sulaiman bin Mu'adz, berjalan melewati Kilikia menuju Asia Minor, merebut benteng Loulon yang strategis dalam perjalanannya. Mereka bermusim dingin di Afik, sebuah lokasi yang tidak diketahui dekat pintu keluar Gerbang Kilikia. Pada awal 716, pasukan Sulaiman melanjutkan perjalanan ke Asia Kecil bagian tengah. Armada kapal Umayyah di bawah Umar bin Hubaira berlayar di sepanjang pantai Kilikia, sementara Maslamah bin Abdul-Malik menunggu perkembangan dengan pasukan utama di Suriah.[34][35][36]
Pihak Arab berharap perpecahan di pihak Bizantium akan menjadi keuntungan bagi mereka. Maslamah telah menjalin hubungan dengan Leo orang Isauria. Sejarawan Prancis Rodolphe Guilland berpendapat bahwa Leo menawarkan untuk menjadi vasal Kekhalifahan, meskipun Jenderal Bizantium itu berniat untuk memanfaatkan pasukan Arab demi keuntungannya sendiri. Pada gilirannya, Maslamah mendukung Leo dengan harapan memperbesar kekacauan dan melemahkan Kekaisaran, untuk meringankan tugasnya dalam merebut Konstantinopel.[37][38]
Tujuan pertama Sulaiman adalah benteng penting yang strategis di Amorion, yang hendak digunakan oleh Arab sebagai basis pada musim dingin berikutnya. Amorion ditinggalkan dengan tidak berdaya dalam kekacauan perang saudara dan mudah untuk ditaklukan, namun pihak Arab lebih memilih untuk mendukung posisi Leo sebagai penyeimbang Theodosios. Mereka menawarkan kesepakatan damai kepada kota itu jika penduduknya bersedia mengakui Leo sebagai kaisar. Benteng itu menyerah namun tetap tidak mau membuka gerbangnya bagi pasukan Arab. Leo datang mendekati kota itu bersama sejumlah tentara dan melakukan serangkaian tipuan dan negosiasi untuk menempatkan 800 tentara di dalam kota. Pasukan Arab, gagal mencapai tujuannya dan dengan perbekalan yang semakin menipis, akhirnya mundur. Leo melarikan diri ke Pisidia dan, pada musim panas, dengan didukung oleh Artabasdos, diangkat menjadi kaisar.[11][39][40][41]
Kesuksesan Leo merupakan keuntungan bagi Bizantium, karena sementara itu, Maslamah dengan pasukan utama Arab melewati Pegunungan Taurus dan berjalan langsung ke Amorion. Selain itu, oleh karena Jenderal Arab itu belum menerima berita tentang kesepakatan ganda Leo, dia tidak menghancurkan wilayah yang ia lewati—thema Anatolikon dan Armeniakon, yang gubernurnya masih ia yakini menjadi sekutunya.[42][43][44] Pada pertemuan dengan pasukan Sulaiman yang mundur dan mempelajari apa yang telah terjadi, Maslamah mengubah rencana: dia menyerang Akroinon dan dari sana ia berjalan menuju pesisir barat untuk bermusim dingin. Dalam perjalanannya, dia menjarah Sardis dan Pergamon. Armada kapal Arab bermusim dingin di Kilikia.[11][45][46][47] Sementara itu, Leo memulai perjalanannya menuju Konstantinopel. Dia menaklukkan Nikomedia, di sana dia menemukan dan menangkap, di antara pejabat lainnya, putra Theodosios, dan kemudian berarak menuju Khrysopolis. Pada musim semi 717, setelah negosiasi yang pendek, Leo berhasil membuat Theodosios mundur dan mengakuinya sebagai kaisar. Leo memasuki ibu kota pada 25 Maret. Theodosios dan putranya diperbolehkan hidup di biara sebagai biarawan, sedangkan Artabasdos naik pangkat menjadi kouropalates dan dijodohkan dengan anak perempuan Leo, Anna.[11][48][49][50]
Pasukan
Sejak awal, Arab telah menyiapkan serangan besar ke Konstantinopel. Kronik Zuqnin berbahasa Suryani dari akhir abad ke-8 melaporkan bahwa pasukan Arab berjumlah "amat sangat banyak," sedangkan penulis kronik berbahasa Suryani abad ke-12, Mikhael orang Suriah menyebutkan bahwa pasukan Arab terdiri atas 200.000 tentara dan 5.000 kapal, suatu jumlah yang dibesar-besarkan. Penulis Arab abad ke-10 Al-Mas'udi menyebutkan 120.000 tentara, dan catatan abad ke-9 oleh Theophanes Sang Pengaku menyebutkan 1,800 kapal. Perbekalan untuk beberapa tahun dipersiapkan, dan mesin kepung serta bahan pembakar (nafta) dikumpulkan. Kereta barangnya disebutkan berjumlah 12.000 orang, 6.000 unta dan 6.000 keledai, sedangkan menurut sejarawan abad ke—13 Bar Hebraeus, pasukan Arab meliputi 30.000 sukarelawan (mutawa) untuk Perang Suci (jihad).[18][51][52] Berapapun jumlah pastinya, pihak penyerang berjumlah jauh lebih banyak daripada pihak bertahan; menurut Treadgold, pasukan Arab kemungkinan berjumlah lebih banyak daripada keseluruhan angkatan perang Bizantium.[1] Sedikit yang diketahui mengenai susunan rinci pasukan Arab adalah bahwa sebagian besarnya terdiri atas dan dipimpin oleh orang Suriah dan orang Jazirah dari kelompok elite ahlul Syam ("Orang Suriah"), pilar utama dalam rezim Umayyah dan veteran perang melawan Bizantium.[18][53] Di samping Maslamah, Umar bin Hubairah, Sulaiman bin Mu'adz, dan Bakhtari bin Hasan disebutkan sebagai letnannya oleh Theophanes dan sejarawan abad ke-10 Agapius dari Hierapolis, sementara itu sebuah kitab anonim dari abad ke-11 Kitabul 'Uyun menyebutkan Abdullah al-Battal alih-alih Bakhtari.[54][55]
Meskipun pengepungan itu menghabiskan banyak sumber daya Kekhalifahan,[b] namun Umayyah masih mampu melancarkan serbuan-serbuah terhadap perbatasan Bizantium di Asia Kecil bagian timur selama pengepungan berlangsung: pada 717, putra Khalifah Sulaiman, yaitu Dawud, merebut sebuah benteng di dekat Malatya dan pada 718 Amru bin Qais menyerbu perbatasan.[56] Di pihak Bizantium, jumlah tentaranya tak diketahui. Selain dari persiapan Anastasios II (yang mungkin telah diabaikan menyusul penggulingannya).[38] Bizantium dibantu oleh Bulgar, yang bersama Leo telah menyepakati perjanjian yang kemungkinan meliputi persekutuan melawan Arab.[57]
Pengepungan
Pada awal musim panas, Maslamah memerintahkan armadanya untuk bergabung dengan pasukannya menyeberangi Hellespontos di Abydos menuju Trakia. Pasukan Arab mulai berarak menuju Konstantinopel, sepenuhnya merusak pedesaan, mengumpulkan perbekalan, dan menjarah kota-kota yang mereka lalui.[57][58][59][60] Pada pertengahan Juli atau Agustus,[a] Pasukan Arab tiba di Konstaninopel dan mengepungnya melalui darat dengan membangun tembok kepung ganda dari batu, yang satu menghadap kota dan yang satunya menghadap pedesaan Trakia, dengan perkemahan mereka ditempatkan di antara keduanya. Menurut sumber-sumber Arab, pada titik ini Leo menawarkan untuk memberikan tebusan demi kota itu dengan membayar sekeping koin emas untuk satu orang penduduk Konstantinopel, namun Maslamah menjawab bahwa tak mungkin ada kesepakatan dengan orang yang sudah takluk, dan bahwa garnisun Arab di Konstantinoepl telah ditentukan.[57][59][61][62]
Armada Arab di bawah Sulaiman (sering disalahartikan sebagai Khalifah sendiri dalam sumber-sumber Abad Pertengahan) tiba pada 1 September, melempar sauh pertama kalinya di Hebdomon. Dua hari kemudian, Sulaiman memimpin armadanya ke Bosporus dan beragam skuadron mulai berlabuh di pinggiran perkotaan di Eropa dan Asia: sebagian berlayar ke sebelah selatan Khalsedon ke pelabuhan di Eutropios, dan Anthemios untuk mengawasi jalur masuk selatan Bosporus, sedangkan sisa armada berlayar melalui selat tersebut, melewati Konstantinopel dan mulai berlabuh di pesisir antara Galatia dan Kleidion, memotong hubungan antara ibu kota Bizantium dengan Laut Hitam. Namun ketika barisan belakang armada Arab, terdiri atas dua puluh kapal berat dengan 2.000 marinir, melintasi Konstantinopel, tiba-tiba angin selatan berhenti dan bertiup berbalik arah, mengarahkan armada Arab ke arah tembok kota, di mana satu skuadron Bizantium menyerang mereka dengan api Yunani. Theophanes menuturkan bahwa beberapa kapal tenggelam, sedangan yang lainnya, dalam keadaan terbakar, berlayar ke Kepulauan Pangeran di Oxeia and Plateia. Kemenangan ini membuat orang Bizantium bersemangat dan melemahkan moral pasukan Arab, yang, menurut Theophanes, pada awalnya berniat untuk berlayar ke tembok laut pada malam harinya dan berusaha memanjatnya menggunakan dayung kemudi kapal. Pada malam yang sama, Leo memasang rantai antara kota dan Galatia, menutup jalur masuk ke Tanduk Emas. Armada Arab menjadi enggan untuk berhadapan dengan armada Bizantium, dan akhirnya memutuskan untuk mundur ke pelabuhan yang aman di Sosthenion lebih jauh lagi ke selatan di pesisir Bosporus bagian Eropa.[57][60][63][64]
Pasukan Arab tersuplai dengan baik, dengan sumber-sumber Arab melaporkan banyaknya persediaan makanan di perkemahan mereka, dan mereka bahkan membawa gandum untuk ditanam dan kemudian dipanen setahun kemudian. Akan tetapi, kegagalan angkatan laut Arab untuk memblokade kota membuat Bizantium juga dapat memperoleh pasokan makanan. Selain itu, pasukan Arab telah merusak pedesaan Trakia dalam perjalanannya ke Konstantinopel sehingga tak dapat lagi mencari bahan pangan di sana. Armada Arab serta pasukan Arab kedua, yang bertugas di pinggiran Asia Konstantinopel, dapat membawa suplai terbatas bagi pasukan Maslamah.[57][65] Ketika pengepungan mendekati musim dingin, negosiasi terbuka antara dua pihak banyak dilaporkan oleh sumber-sumber Arab tetapi diabaikan oleh sejarawan Bizantium. Menurut catatan Arab, Leo melanjutkan siasatnya terhadap pihak Arab. Satu versi mengklaim dia menipu Maslamah untuk menyerahkan sebagian besar suplai gandumnya, sementara yang lain mengklaim bahwa jenderal Arab itu dibujuk untuk membakar itu semua, untuk menunjukkan kepada penduduk kota bahwa mereka akan segeran menghadapi serangan dan mendorong mereka untuk menyerah.[66][67] Musim dingin 718 sangatlah keras; salju menutupi daratan selama lebih dari tiga bulan. Karena suplai di kamp Arab sudah habis, terjadilah kelaparan yang mengerikan: para prajurit memakan kuda, unta, dan hewan ternak lainnya, dan juga kulit pohon, daun dan akar pepohonan. Mereka menyapu salju dari ladang yang sudah mereka tanami untuk dapat memakan tunas-tunas tanaman, dan dilaporkan terpaksa menjadi kanibalisme serta memakan kotoran mereka sendiri. Pasukan Arab dilanda wabah; sejarawan Lombard Paulus Diakonus menyebutkan jumlah mereka yang mati karena kelaparan dan penyakit mencapai 300000 orang.[57][68][69][70][71]
Keadaan mulai tampak membaik ketika Khalifah yang baru, Umar II (berkuasa 717–720), mengirim dua armada untuk menolong pasukan pengepung: 400 kapal didatangkan dari Mesir di bawah komando Sufyan dan 360 dari Afrika di bawah Izid, semuanya dipenuhi suplai dan persenjataan. Pada saat yang sama, pasukan yang masih segar dikirim melalui Asia Kecil untuk membantu pengepungan. Ketika armada baru itu tiba di Laut Marmara mereka menjaga jarak dari armada Bizantium dan berlabuh di pesisir Asia. Armada Mesir berposisi di Teluk Nikomedia dekat Tuzla modern sedangkan armada Afrika di sebelah selatan Khalsedon (di Satyros, Bryas dan Kartalimen). Akan tetapi, sebagian besar kru dalam armada Arab merupakan orang Mesir Kristen, dan mereka mulai membelot kepada Bizantium setelah tiba di kota. Setelah diberitahu mengenai kedatangan dan penempatan pasukan bantuan Arab, Leo melancarkan serangan terhadap armada baru Arab. Mengalami kelumpuhan akibat pembelotan kru mereka, dan tak berdaya melawan api Yunani, kapal-kapal Arab dihancurkan atau direbut bersama dengan persenjataan dan suplai yang mereka angkut. Konstantinopel kini aman dari serangan laut.[72][73][74][75] Di daratan juga Bizantium memperoleh kemenangan: pasukan mereka berhasil menyergap pasukan Arab yang sedang bergerak maju di bawah komando Mardasan dan menghancurkannya di perbukitan di sekitar Sophon, sebelah selatan Nikomedia.[70][76][77][78]
Konstantinopel kini dapat dengan mudah disuplai dari laut dan para nelayan kota kembali mencari ikan di laut, karena armada Arab tak lagi berlayar. Sementara itu, pasukan Arab masih menderita akibat kelaparan dan wabah penyakit, ditambah lagi dengan kekalahan dalam pertempuran besar melawan pasukan Bulgar, yang menewaskan, menurut Theophanes, 22000 orang. Akan tetapi, tak jelas apakah Bulgar menyerang perkemahan Arab karena perjanjian mereka dengan Leo ataukah karena pasukan Arab memasuki wilayah Bulgar dalam usaha mencari suplai, seperti dilaporkan oleh Kronik 846 berbahasa Suryani. Mikhael orang Suriah menyebutkan bahwa Bulgar ikut serta dalam pengepungan sejak awal, dengan melakukan serangan terhadap pasukan Arab ketika mereka berarak melalui Trakia dan setelah itu di perkemahan mereka, namun keterangan ini tidak muncul dalam sumber-sumber lainnya.[70][79][80][81] Pengepungan ini jelas sudah gagal, dan Khalifah Umar mengirim perintah kepada Maslamah untuk mundur. Setelah 13 bulan pengepungan, pada 15 Agustus 718, pasukan Arab meninggalkan Konstantinopel. Tanggal tersebut bertepatan dengan perayaan Tidurnya Theotokos (Naiknya Maria), sehingga rakyat Bizantium menganggap bahwa Bizantium dapat menang karena bantuan Maria. Pasukan Arab yang mundur tidak mengalami hambatan atau serangan dalam perjalanan pulang mereka, tetapi armada mereka kehilangan banyak kapal akibat dihantam badai di Marmara sedangkan kapal-kapal lainnya terbakar oleh abu dari gunung berapi Santorini, dan beberapa kapal yang selamat direbut oleh Bizantium, sehingga Theophanes mengklaim bahwa hanya lima kapal yang berhasil kembali ke Suriah.[82][83] Sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa 150.000 orang Muslim tewas dalam kampanye tersebut, suatu angka yang, menurut sejarawah Bizantium John Haldon, "meskipun jelas dilebih-lebihkan, [jumlah] itu jelas menunjukkan besarnya bencana tersebut dalam sudut pandang Abad Pertengahan."[84]
Akibat
Kegagalan ekspedisi ini melemahkan negara Umayyah. Seperti dikomentari oleh sejarawan Bernard Lewis, "Kegagalan itu membawa momen suram bagi kekuasaan Umayyah. Tekanan keuangan akibat mempersenjatai dan melaksanakan ekspedi itu menyebabkan bertambah buruknya fiskal dan penindasan keuangan yang sebelumnya telah menimbulkan pertentangan yang berbahaya. Hancurnya armada dan pasukan Suriah di tembok laut Konstantinopel membuat rezim yang berkuasa kehilangan penyokong utama kekuasaannya."[85] Dampaknya terhadap kekuasaan Kekhalifahan amat buruk, dan meskipun pasukan darat tidak menderita kerugian sebesar armada, Umar tercatat mempertimbangkan untuk menarik pasukan dari wilayah-wilayah yang baru ditaklukan, seperti Hispania dan Transoxiana, serta melakukan evakuasi penuh dari Kilikia dan wilayah Bizantium lainnya yang direbut oleh Arab pada tahun-tahun sebelumnya. Meskipun para penasehatnya berusaha mencegahnya agar tidak melakukan tindakan drastis semacam itu, pada akhirnya sebagian besar garnisun Arab ditarik dari distrik-distrik di perbatasan Bizantium yang telah mereka duduki sebelumnya. Di Kilikia, hanya Mopsuestia yang tetap dikuasai oleh Arab sebagai pertahanan untuk melindungi Antiokia.[83][86][87] Bizantium bahkan mampu merebut kembali beberapa wilayah di Armenia barat untuk sementara waktu. Pada 719, armada Bizantium menyerbu pesisir Suriah dan membakar habis pelabuhan Laodikea dan, pada 720 atau 721, Bizantium menggempur dan menjarah Tinnis di Mesir.[83][88][89] Leo juga kembali memperoleh kendali atas Sisilia, di mana kabar mengenai pengepungan Konstantinopel oleh Arab dan dugaan bahwa kota itu akan takluk telah membuat para gubernur lokal mengangkat kaisar mereka sendiri, yaitu Basil Onomagoulos. Akan tetapi pada masa ini pula Bizantium kehilangan kendali efektif atas Sardinia dan Korsika.[90] Selain itu, Bizantium gagal memanfaatkan keberhasilan mereka untuk melancarkan serangan terhadap Arab. Pada tahun 720, setelah jeda selama dua tahun, Arab kembali melakukan serbuan ke wilayah Bizantium, meskipun kini mereka tak lagi melakukan penaklukan langsung, melainkan mencari harta rampasan. Serangan Arab semakin meningkat selama dua dekade berikutnya hingga Bizantium memperoleh kemenangan besar dalam Pertempuran Akroinon pada 740. Setelah menderita kekalahan militer dan kericuhan dalam negeri yang memuncak pada Revolusi Abbasiyah, berakhirlah zaman penaklukan Muslim.[91][92][93][94]
Kajian sejarah dan pengaruh
Pengepungan Konstantinopel yang kedua lebih berbahaya bagi Bizantium daripada yang pertama, karena serangan tersebut langsung dan terencana terhadap ibu kota. Pada 717–718, pihak Arab memutus hubungan kota sepenuhnya, alih-alih membatasi diri untuk blokade longgar seperti pada pengepungan 674–678.[56] Pengepungan tersebut melambangkan upaya Kekhalifahan untuk "memotong kepala" Kekaisaran Bizantium, setelah itu provinsi-provinsi yang tersisa, terutama di Asia Kecil, akan mudah ditaklukan.[95] Kegagalan Arab disebabkan terutama oleh permasalahan logistik, karena mereka bertugas terlalu jauh dari basis mereka di Suriah. Keunggulan angkatan laut Bizantium dan pengunaan api Yunani, kuatnya perbentengan Konstantinopel, dan kemampuan Leo III dalam tipu daya dan negosiasi juga memainkan peranan yang penting.[83][96][97][98]
Dalam jangka panjang, kegagalan pengepungan Arab mengakibatkan perubahan yang besar terhadap sifat peperangan antara Bizantium dan Kekhalifahan. Tujuan Muslim untuk menaklukan Konstantinopel secara efektif diabaikan dan perbatasan antara kedua negara itu distabilkan di sepanjang jalur Pegunungan Taurus dan Antitaurus, dimana kedua pihak berulang melancarkan serbuan dan serangan balasan secara rutin melalui daerah tersebut. Dalam peperangan perbatasan yang tiada henti ini, kota dan benteng di perbatasan berulang kali berpindah tangan, tetapi secara umum, perbatasan tetap tak berubah selama lebih dari dua abad, hingga penaklukan Bizantium pada abad ke-10.[99][100][101][102] Di pihak Muslim, serbuan-serbuan itu sendiri pada akhirnya menjadi ciri ritual, dan dianggap mulia, terutama untuk menunjukkan jihad yang terus-menerus dan sebagai perlambang peran Khalifah sebagai pemimpin masyarakat Muslim.[101][103]
Hasil dari pengepungan tersebut juga amat penting dalam hal makrosejarah. Kelangsungan ibu kota Bizantium mempertahankan Kekaisaran sebagai benteng melawan ekspansi Islam ke Eropa hingga abad ke-15, ketika kota ini takluk oleh Kesultanan Utsmaniyah. Pertahanan Konstantinopel yang sukses dikaitkan dengan Pertempuran Tours pada 732 sebagai peristiwa yang menghentikan ekspansi Muslim ke Eropa. Sejarawan militer Paul K. Davis menulis, "Dengan menghalau invasi Muslim, Eropa tetap berada di tangan Kristen, dan tidak ada ancaman Muslim terhadap Eropa hingga abad ke-15. Kemenangan ini, bertepatan dengan kemenangan Bangsa Frank di Tours (732), membatasi ekspansi barat Islam ke dunia Mediterania selatan."[104] Dengan demikian sejarawan John B. Bury menyebut peristiwa 718 sebagai "tanggal yang ekumenis", sementara itu sejarawan Yunani Spyridon Lambros menyamakan pengepungan ini dengan Pertempuran Marathon dan Leo III dengan Miltiades.[105] Akibatnya, sejarawan militer sering memasukkan pengepungan ini dalam daftar "pertempuran yang paling menentukan" dalam sejarah dunia.[106][107][108][109][110]
Dampak budaya
Di pihak Arab, pengepungan 717–718 menjadi ekspedisi mereka yang paling terkenal melawan Bizantium. Beberapa catatan masih bertahan, namun sebagian besarnya dibuat pada masa selanjutnya dan semifiktif serta saling bertentangan. Dalam legenda, kekalahan tersebut diubah menjadi kemenangan: Maslamah pulang setelah secara simbolis memasuki ibu kota Bizantium dengan menunggangi kudanya dan ditemani oleh tiga puluh penunggang kuda. Ia disambut dengan amat hormat oleh Leo, yang memandu Maslamah menuju Hagia Sophia. Setelah Leo memberikan penghormatan kepada Maslamah dan berjanji untuk memberikan upeti, Maslamah dan pasukannya—30,000 dari pasukan awal sejumlah 80,000 yang pergi ke Konstantinople—kembali ke Suriah.[111][112][113] Kisah pengepungan ini mempengaruhi cerita serupa dalam sastra epik Arab. Pengepungan Konstantinopel muncul dalam kisah Umar bin al-Nu'uman dan putra-putranya dalam Seribu Satu Malam, sedangkan Maslamah dan Khalifah Sulaiman muncul dalam kisah Seratus Satu Malam dari Maghreb. Komandan pasukan pengawal Maslamah, Abdullah al-Battal, menjadi tokoh terkenal dalam sajak Arab dan Turki sebagai "Battal Gazi" atas tindakannya dalam serbuan-serbuan Arab pada dekade-dekade berikutnya. Demikian pula, epik abad ke-19, Delhemma, terkait dengan siklus mengenai Battal, menampilkan versi fiktif dari pengepungan 717–718.[114][115]
Tradisi Muslim dan Bizantium kemudian menganggap bahwa masjid pertama di Konstantinopel, dekat praetorium kota, dibangun oleh Maslamah. Pada kenyataannya, masjid tersebut kemungkinan didirikan pada 860, sebagai hasil dari kedutaan Arab pada tahun itu.[116][117][118][119] Tradisi Utsmaniyah juga menyebutkan bahwa bangunan Masjid Arap (berlokasi di luar Konstantinopel, tepatnya di Galata) dibangun oleh Maslamah, meskipun penanggalan keliru ini sekitar 686, mungkin merancukan serangan Maslamah dengan pengepungan Arab yang pertama pada 670-an.[120][121]
Pada akhirnya, menyusul kegagalan berulang mereka di depan Konstantinopel, dan ketahanan berkelanjutan negara Bizantium, Muslim mulai memproyeksikan kejatuhan Konstantinopel pada masa depan. Oleh sebab itu kejatuhan kota ini dianggap salah satu pertanda kedatangan akhir zaman dalam Eskatologi Islam.[22][122][123]
Referensi
Catatan kaki
^ a: Theophanes sang Pengaku memberikan tanggal 15 Agustus, namun ini mungkin mencerminkan tanggal keberangkatan pasukan Arab pada tahun berikutnya. Patriark Nikephoros I mencatat bahwa pengepungan berlangsung selama 13 bulan, menandakan bahwa pengepungan dimulai pada 15 Juli.[124][125]
^ b: Menurut sejarawan Hugh N. Kennedy, berdasarkan angka yang terdapat dalam catatan pasukan kontemporer (diwan), jumlah tenaga manusia keseluruhan yang tersedia di Kekhalifahan Umayyah sekitar tahun 700 berkisar antara 250,000 hingga 300,000 orang, yang tersebar di berbagai provinsi. Tidak jelas, hingga sebanyak apa dari jumlah tersebut yang dapat dikerahkan untuk kampanye tertentu, dan dan tidak termasuk tenaga manusia berlebih yang dapat dikerahkan dalam keadaan luar biasa.[126]
Kutipan
- ^ a b Treadgold 1997, hlm. 346.
- ^ Treadgold 1997, hlm. 346–347.
- ^ Lilie 1976, hlm. 81–82, 97–106.
- ^ a b Blankinship 1994, hlm. 31
- ^ Haldon 1990, hlm. 72
- ^ Lilie 1976, hlm. 107–120.
- ^ a b Haldon 1990, hlm. 80
- ^ Lilie 1976, hlm. 120–122, 139–140.
- ^ Lilie 1976, hlm. 140
- ^ Treadgold 1997, hlm. 345–346.
- ^ a b c d e Treadgold 1997, hlm. 345.
- ^ Brooks 1899, hlm. 19–20.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. lxxxviil–xxxviii.
- ^ Brooks 1899, hlm. 19–20
- ^ Guilland 1959, hlm. 115–116
- ^ Brooks 1899, hlm. 20–21
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 65
- ^ a b c Guilland 1959, hlm. 110
- ^ Lilie 1976, hlm. 122
- ^ a b Treadgold 1997, hlm. 344.
- ^ Guilland 1959, hlm. 110–111.
- ^ a b Hawting 2000, hlm. 73.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 534
- ^ Lilie 1976, hlm. 122–123
- ^ Treadgold 1997, hlm. 343–344.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 537 (Catatan #5).
- ^ Lilie 1976, hlm. 123 (Catatan #62).
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 535–536
- ^ Lilie 1976, hlm. 123–124
- ^ Haldon 1990, hlm. 80, 82
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 536
- ^ Treadgold 1997, hlm. 344–345.
- ^ Lilie 1976, hlm. 124
- ^ Guilland 1959, hlm. 111
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 538
- ^ Lilie 1976, hlm. 123–125.
- ^ Guilland 1959, hlm. 118–119
- ^ a b Lilie 1976, hlm. 125.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 538–539
- ^ Lilie 1976, hlm. 125–126
- ^ Untuk penjelasan rinci tentang negosiasi Leo dengan Arab di Amorion dalam sumber-sumber Bizantium dan Arab, lihat Guilland 1959, hlm. 112–113, 124–126.
- ^ Guilland 1959, hlm. 125
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 539–540
- ^ Lilie 1976, hlm. 126–127.
- ^ Guilland 1959, hlm. 113–114
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 540–541
- ^ Lilie 1976, hlm. 127
- ^ Haldon 1990, hlm. 82–83
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 540, 545
- ^ Lilie 1976, hlm. 127–128
- ^ Kaegi 2008, hlm. 384–385
- ^ Treadgold 1997, hlm. 938 (Catatan #1).
- ^ Kennedy 2001, hlm. 47.
- ^ Canard 1926, hlm. 91–92
- ^ Guilland 1959, hlm. 111.
- ^ a b Lilie 1976, hlm. 132.
- ^ a b c d e f Treadgold 1997, hlm. 347.
- ^ Brooks 1899, hlm. 23
- ^ a b Mango & Scott 1997, hlm. 545
- ^ a b Lilie 1976, hlm. 128
- ^ Guilland 1959, hlm. 119
- ^ Lilie 1976, hlm. 128–129
- ^ Guilland 1959, hlm. 119–120
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 545–546
- ^ Lilie 1976, hlm. 129
- ^ Brooks 1899, hlm. 26–28, 30
- ^ Lilie 1976, hlm. 129.
- ^ Brooks 1899, hlm. 28–29
- ^ Guilland 1959, hlm. 122–123
- ^ a b c Mango & Scott 1997, hlm. 546
- ^ Lilie 1976, hlm. 129–130
- ^ Guilland 1959, hlm. 121
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 546, 548
- ^ Lilie 1976, hlm. 130
- ^ Treadgold 1997, hlm. 347–348.
- ^ Guilland 1959, hlm. 122
- ^ Lilie 1976, hlm. 130–131
- ^ Treadgold 1997, hlm. 348.
- ^ Canard 1926, hlm. 90–91
- ^ Guilland 1959, hlm. 122, 123
- ^ Lilie 1976, hlm. 131.
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 550
- ^ a b c d Treadgold 1997, hlm. 349.
- ^ Haldon 1990, hlm. 83.
- ^ Lewis 2002, hlm. 79.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 33–34
- ^ Lilie 1976, hlm. 132–133
- ^ Blankinship 1994, hlm. 287 (Catatan #133)
- ^ Lilie 1976, hlm. 133
- ^ Treadgold 1997, hlm. 347, 348.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 34–35, 117–236
- ^ Haldon 1990, hlm. 84
- ^ Kaegi 2008, hlm. 385–386
- ^ Lilie 1976, hlm. 143–144.
- ^ Lilie 1976, hlm. 140–141.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 105
- ^ Kaegi 2008, hlm. 385
- ^ Lilie 1976, hlm. 141
- ^ Blankinship 1994, hlm. 104–106
- ^ Haldon 1990, hlm. 83–84
- ^ a b El-Cheikh 2004, hlm. 83–84
- ^ Toynbee 1973, hlm. 107–109.
- ^ Kennedy 2001, hlm. 105–106.
- ^ Davis 2001, hlm. 99.
- ^ Guilland 1959, hlm. 129.
- ^ Crompton 1997, hlm. 27–28
- ^ Davis 2001, hlm. 99–102
- ^ Fuller 1987, hlm. 335ff.
- ^ Regan 2002, hlm. 44–45
- ^ Tucker 2010, hlm. 94–97.
- ^ Canard 1926, hlm. 99–102
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 63–64
- ^ Guilland 1959, hlm. 130–131.
- ^ Canard 1926, hlm. 112–121
- ^ Guilland 1959, hlm. 131–132.
- ^ Canard 1926, hlm. 94–99
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 64
- ^ Guilland 1959, hlm. 132–133
- ^ Hasluck 1929, hlm. 720.
- ^ Canard 1926, hlm. 99
- ^ Hasluck 1929, hlm. 718–720.
- ^ Canard 1926, hlm. 104–112
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 65–70
- ^ Mango & Scott 1997, hlm. 548 (Catatan #16)
- ^ Guilland 1959, hlm. 116–118.
- ^ Kennedy 2001, hlm. 19–21
Sumber
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 0-7914-1827-8.
- Brooks, E. W. (1899). "The Campaign of 716–718 from Arabic Sources". The Journal of Hellenic Studies. The Society for the Promotion of Hellenic Studies. XIX: 19–33. Hapus pranala luar di parameter
|journal=
(bantuan) - Canard, Marius (1926). "Les expéditions des Arabes contre Constantinople dans l'histoire et dans la légende". Journal Asiatique (dalam bahasa French) (208): 61–121. ISSN 0021-762X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-17. Diakses tanggal 2012-11-10.
- Crompton, Samuel Willard (1997). 100 Battles That Shaped World History. San Mateo, California: Bluewood Books. ISBN 978-0-912517-27-8.
- Davis, Paul K. (2001). "Constantinople: August 717–15 August 718". 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. hlm. 99–102. ISBN 0-19-514366-3.
- El-Cheikh, Nadia Maria (2004). Byzantium Viewed by the Arabs. Cambridge, Massachusets: Harvard Center for Middle Eastern Studies. ISBN 0-932885-30-6.
- Fuller, J. F. C. (1987). A Military History of the Western World, Volume 1: From the Earliest Times to the Battle of Lepanto. New York City, New York: Da Capo Press. ISBN 978-0-30-680304-8.
- Guilland, Rodolphe (1959). "L'Expedition de Maslama contre Constantinople (717-718)". Études byzantines (dalam bahasa French). Paris: Publications de la Faculté des Lettres et Sciences Humaines de Paris: 109–133. OCLC 603552986.
- Haldon, John F. (1990). Byzantium in the Seventh Century: The Transformation of a Culture. Revised Edition. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-0521319171.
- Hasluck, F. W. (1929). "LVII. The Mosques of the Arabs in Constantinople". Christianity and Islam Under the Sultans, Volume 2. Oxford, United Kingdom: Clarendon Press. hlm. 717–735.
- Hawting, G.R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (edisi ke-2nd). London, United Kingdom and New York City, New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Kaegi, Walter E. (2008). "Confronting Islam: Emperors versus Caliphs (641–c. 850)". Dalam Shepard, Jonathan. The Cambridge History of the Byzantine Empire c. 500–1492. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. hlm. 365–394. ISBN 978-0-52-183231-1.
- Kennedy, Hugh (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London, United Kingdom: Routledge. ISBN 978-0-203-45853-2.
- Lewis, Bernard (2002). The Arabs in History (Sixth Edition). Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-280310-7.
- Lilie, Ralph-Johannes (1976). Die byzantinische Reaktion auf die Ausbreitung der Araber. Studien zur Strukturwandlung des byzantinischen Staates im 7. und 8. Jhd (dalam bahasa German). Munich, Germany: Institut für Byzantinistik und Neugriechische Philologie der Universität München.
- Mango, Cyril; Scott, Roger (1997). The Chronicle of Theophanes Confessor. Byzantine and Near Eastern History, AD 284–813. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-822568-7.
- Regan, Geoffrey (2002). Battles That Changed History: Fifty Decisive Battles Spanning over 2,500 Years of Warfare. London, United Kingdom: Andre Deutsch. ISBN 978-0-233-05051-5.
- Toynbee, Arnold J. (1973). Constantine Porphyrogenitus and His World. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-215253-X.
- Treadgold, Warren (1997). A History of the Byzantine State and Society. Stanford, California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2630-2.
- Tucker, Spencer C. (2010). Battles That Changed History: An Encyclopedia of World Conflict. Santa Barbara, California: ABC-CLIO. ISBN 978-1-59884-429-0.
Bacaan lanjutan
- Radic, Radivoj (18 August 2008). "Two Arabian sieges of Constantinople (674-678; 717/718)". Encyclopedia of the Hellenic World, Constantinople. Athens, Greece: Foundation of the Hellenic World. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-27. Diakses tanggal 14 July 2012.