Perkara Yunani
Perkara Yunani | |||||
---|---|---|---|---|---|
Diajukan 20 dan 27 September 1967, 25 Maret 1968 Diputuskan 5 November 1969 | |||||
Nomor kasus | 3321/67 (Denmark v. Yunani), 3322/67 (Norwegia v. Yunani), 3323/67 (Swedia v. Yunani), 3344/67 (Belanda v. Yunani) | ||||
Jenis kasus | Antarnegara | ||||
Kamar | Komisi Hak Asasi Manusia Eropa | ||||
Keputusan | |||||
Pelanggaran Pasal 3, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 13, dan 14 serta Pasal 3 Protokol 1 | |||||
Komposisi pengadilan | |||||
| |||||
Instrumen rujukan | |||||
Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Protokol 1 |
Pada September 1967, Denmark, Norwegia, Swedia, dan Belanda membawa perkara Yunani (bahasa Inggris: the Greek case) ke Komisi Hak Asasi Manusia Eropa (Komisi HAM Eropa). Mereka menuduh junta Yunani telah melakukan pelanggaran Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (Konvensi HAM Eropa). Junta Yunani sendiri baru mulai berkuasa pada awal tahun 1967. Pada tahun 1969, Komisi HAM Eropa memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia serius di Yunani, termasuk penyiksaan. Junta Yunani menanggapi temuan tersebut dengan keluar dari Majelis Eropa, organisasi internasional yang menaungi Konvensi HAM Eropa. Perkara ini menarik perhatian media dan disebut-sebut sebagai "salah satu perkara paling terkenal dalam sejarah Konvensi [HAM Eropa]".[1]
Pada 21 April 1967, para perwira militer berhaluan kanan melancarkan kudeta yang menumbangkan pemerintah Yunani dan melakukan penangkapan massal dan penyensoran terhadap lawan politik mereka. Tindakan-tindakan ini kemudian menuai kritikan dari Majelis Parlementer Majelis Eropa, tetapi Yunani mengklaim bahwa tindakan-tindakan tersebut diperlukan untuk menanggapi "subversi" komunis dan dibenarkan oleh Pasal 15 Konvensi HAM Eropa. Pada September 1967, Denmark, Norwegia, Swedia, dan Belanda menuntut Yunani karena dianggap telah melanggar sebagian besar pasal Konvensi HAM Eropa. Perkara ini diterima oleh Komisi HAM Eropa pada Januari 1968; perkara kedua yang diajukan oleh Denmark, Norwegia, dan Swedia untuk pelanggaran tambahan, khususnya Pasal 3 Konvensi HAM Eropa yang melarang penyiksaan, juga diterima oleh Komisi pada Mei 1968.
Pada 1968 dan awal 1969, sebuah Subkomisi menggelar sidang tertutup (in camera) sehubungan dengan perkara ini. Dalam sidang tersebut, Subkomisi mengajukan pertanyaan kepada para saksi dan melakukan misi pencari fakta ke Yunani. Namun, misi ini terhenti akibat hambatan dari pemerintah Yunani. Bukti yang ditunjukkan di sidang mencapai 20.000 halaman, tetapi kemudian diringkas menjadi sebuah laporan yang terdiri dari 1.200 halaman yang berupaya membuktikan penyiksaan sistematis yang dilakukan oleh pemerintah Yunani. Subkomisi lalu mengirimkan laporannya kepada Komisi HAM Eropa pada Oktober 1969. Laporan ini lalu bocor ke media dan merusak citra Yunani di mata warga Eropa. Komisi HAM Eropa lalu memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran Pasal 3 dan sebagian besar pasal lainnya. Pada 12 Desember 1969, Komite Menteri Majelis Eropa mempertimbangkan untuk mengeluarkan sebuah resolusi mengenai Yunani. Ketika sudah tampak jelas bahwa Yunani akan kalah suara, Menteri Luar Negeri Yunani Panagiotis Pipinelis menyatakan keluar dari Konvensi HAM Eropa. Hingga kini, Yunani adalah satu-satunya negara yang pernah keluar dari Majelis Eropa; negara ini kembali bergabung setelah berlangsungnya transisi demokrasi Yunani pada 1974.
Walaupun perkara Yunani menunjukkan keterbatasan sistem Konvensi HAM Eropa dalam menghentikan pelanggaran HAM oleh kediktatoran yang tidak mau bekerja sama, perkara ini juga memperkuat legitimasi sistem perlindungan HAM Eropa dengan mengucilkan dan mencelakan negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM sistemis. Laporan Komisi HAM Eropa mengenai perkara ini juga menjadi preseden untuk definisi penyiksaan dan "perlakuan yang tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat" serta aspek-aspek Konvensi lainnya.
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Seusai Perang Dunia II, negara-negara demokrasi di Eropa membentuk sebuah organisasi internasional yang bernama Majelis Eropa. Organisasi ini bertujuan untuk memajukan hak asasi manusia dan mencegah kembalinya totalitarianisme. Statuta Majelis Eropa (1949) mewajibkan negara anggotanya untuk mematuhi standar dasar demokrasi dan hak asasi manusia.[2][3][4] Pada 1950, Majelis Eropa menyetujui rancangan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (Konvensi HAM Eropa),[5] yang kemudian mulai berlaku tiga tahun sesudahnya.[6] Komisi Hak Asasi Manusia Eropa (1954) dan Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (1959) dibentuk untuk mengadili tuduhan pelanggaran Konvensi HAM Eropa oleh negara anggota.[7][8] Sistem Konvensi HAM Eropa didasarkan pada asas subsidiaritas, dan perkara hanya dapat diterima jika pengaju perkara sudah mencoba menggunakan semua mekanisme pemulihan hak yang ada di tingkat nasional.[9]
Yunani adalah salah satu negara pendiri Majelis Eropa, dan pada tahun 1953 Parlemen Yunani secara bulat meratifikasi Konvensi HAM Eropa dan protokol pertamanya.[10] Yunani tidak mengizinkan warganya yang merasa haknya telah dilanggar untuk mengajukan perkara ke Komisi HAM Eropa, sehingga satu-satunya cara yang dapat ditempuh pada saat itu untuk menuntut pelanggaran HAM oleh Yunani adalah jika negara anggota Konvensi HAM lainnya melayangkan tuntutan.[11][12][13] Pada masa itu, Yunani belum bergabung dengan Mahkamah HAM Eropa yang dapat mengeluarkan putusan hukum yang mengikat. Oleh sebab itu, jika Komisi HAM Eropa menemukan adanya pelanggaran oleh Yunani, Komite Menteri-Menteri yang akan menyelesaikan perkaranya.[14][11] Walaupun Majelis Eropa dapat melakukan penyelidikan, organisasi ini terbatas dalam memberikan sanksi;[15] sanksi terberat yang dapat diganjar oleh organisasi ini adalah pengeluaran negara anggota.[16][17][18] Pada 1956, Yunani mengajukan perkara HAM antarnegara pertama di Komisi HAM Eropa, yaitu Yunani v. Britania Raya, yang menuduh bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Siprus yang saat itu dikendalikan Britania.[19]
Kudeta 21 April 1967
[sunting | sunting sumber]Pada 21 April 1967, perwira-perwira angkatan bersenjata yang berhaluan kanan melancarkan kudeta tak lama sebelum pemilihan umum legislatif Yunani 1967 sempat digelar. Mereka mengklaim bahwa kudeta ini diperlukan untuk "menyelamatkan" Yunani dari "ancaman" komunis. Para perwira ini lalu membentuk junta Yunani yang merupakan sebuah kediktatoran militer. Maklumat pertama yang dikeluarkan junta Yunani adalah Maklumat Kerajaan no. 280 yang menyatakan keadaan darurat dan menangguhkan beberapa pasal dalam Konstitusi Yunani 1952. Kemudian, lebih dari 6.000 orang yang dianggap sebagai musuh rezim ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Lawan-lawan junta juga menjadi korban pemecatan dan penyensoran.[19][20][21] Dalam kurun waktu beberapa bulan setelah kudeta, demonstrasi anti-junta di gelar di berbagai tempat di luar Yunani.[22] Usulan untuk menuntut Yunani di Komisi Hak Asasi Manusia Eropa pertama kali disampaikan dalam koran Denmark Politiken sekitar seminggu setelah kudeta.[23]
Junta Yunani dikritik habis-habisan di Majelis Parlemen Majelis Eropa akibat pelanggaran HAM yang telah dilakukannya.[24] Pada 24 April, Majelis Parlemen memperdebatkan masalah Yunani. Para perwakilan dari Yunani tidak hadir dalam pertemuan ini karena junta telah membubarkan parlemen Yunani dan membatalkan surat kepercayaan para perwakilan tersebut.[25][18][26] Pada 26 April, Majelis Parlemen mengeluarkan Direktif 256 yang memerintahkan penyelidikan terkait hilangnya anggota perwakilan Yunani di Majelis Parlemen. Direktif ini juga menyerukan kembalinya demokrasi parlementer dan konstitusional di Yunani serta menentang "segala tindakan yang bertentangan dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia".[25][27][28] Walaupun Majelis Parlemen dan Komite Menteri Majelis Eropa tidak ingin mengucilkan Yunani, mereka tidak dapat mengabaikan kudeta yang telah terjadi karena hal tersebut akan merusak legitimasi Majelis Eropa.[22]
Pada 3 Mei 1967, junta Yunani mengirim sepucuk surat kepada Sekretaris Jenderal Majelis Eropa. Surat ini menyatakan bahwa Yunani telah memasuki keadaan darurat, sehingga pelanggaran HAM yang terjadi dapat dibenarkan oleh Pasal 15 Konvensi HAM Eropa.[19][29][30] Surat ini secara implisit mengakui bahwa junta tidak menghormati HAM, sehingga Belanda, Swedia, Norwegia, dan Denmark lalu menjadikan surat ini sebagai dasar untuk melayangkan keluhan kepada Komisi HAM Eropa.[29] Yunani sendiri tidak memberikan alasan terkait penangguhan hak-hak dalam Konvensi HAM Eropa hingga 19 September. Pada tanggal tersebut, Yunani menegaskan bahwa keadaan darurat didasarkan pada situasi politik sebelum dilancarkannya kudeta. Komisi HAM Eropa merasa bahwa keterlambatan Yunani dalam memberikan alasan telah melewati batas wajar.[31][32]
Pada 22–24 Mei, Komite Hukum Majelis Eropa berkumpul dan mengusulkan pengeluaran resolusi yang mengecam junta.[33][30] Komite Pengarah Majelis Eropa lalu menetapkan Resolusi 346 pada 23 Juni. Resolusi ini menyatakan bahwa Yunani telah melanggar Pasal 3 Statuta Majelis Eropa yang mengatur bahwa "Setiap negara anggota ... wajib menerima asas rule of law dan asas bahwa semua orang di yurisdiksi masing-masing memiliki hak asasi dan kebebasan dasar."[22][34][30] Resolusi ini mengungkapkan "harapan agar pemerintah negara anggota Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia akan membawa perkara Yunani, baik secara terpisah maupun bersama, ke Komisi Hak Asasi Manusia Eropa sesuai dengan Pasal 24 Konvensi".[18][33][35][a] Pada 10 September, Majelis Parlemen memperdebatkan dokumen yang dipersiapkan oleh Komite Hukum. Dokumen ini menyatakan bahwa penangguhan Konvensi HAM Eropa oleh Yunani tidak dapat dijustifikasi secara hukum, meskipun dokumen tersebut juga mengakui bahwa hanya Komisi HAM Eropa yang dapat mengeluarkan temuan yang mengikat secara hukum.[37]
Penerimaan perkara
[sunting | sunting sumber]Permohonan pertama
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan Resolusi 346,[38] pada 20 September 1967, tiga negara anggota Majelis Eropa (Swedia, Norwegia, dan Denmark) masing-masing mengajukan permohonan terhadap Komisi HAM Eropa terkait dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh junta Yunani.[27][39][40] Mereka mengklaim bahwa Yunani telah melanggar hampir semua pasal di Konvensi HAM Eropa yang melindungi hak-hak individu:[34] Pasal 5 (hak atas kebebasan dan keselamatan individu), 6 (hak atas peradilan yang jujur), 8 (hak atas kehidupan pribadi dan keluarga), 9 (kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama), 10 (kebebasan berekspresi), 11 (kebebasan berkumpul dan berserikat), 13 (hak atas pemulihan hukum), dan 14 (pelarangan diskriminasi dalam menjamin hak yang dilindungi oleh Konvensi, termasuk atas dasar keyakinan politik). Ketiga negara ini juga menyatakan bahwa Yunani telah gagal menunjukkan bahwa syarat-syarat Pasal 15 (terkait pengurangan hak-hak dalam Konvensi HAM Eropa dalam keadaan darurat) telah terpenuhi.[41][42][34] Permohonan ini, yang didasarkan pada maklumat junta Yunani yang secara prima facie (sekilas) melanggar Konvensi HAM Eropa,[43] juga mengacu kepada perbincangan di Majelis Parlemen yang mengkritik junta Yunani. Sehari sesudah permohonan diajukan, politikus Belgia Fernand Dehousse mengusulkan agar Komunitas Eropa juga melayangkan tuntutan serupa terhadap Yunani, yang terikat dalam perjanjian asosiasi dengan Komunitas Eropa. Walaupun usulan ini tidak memperoleh dukungan, Komunitas Eropa menghentikan bantuan ekonomi untuk Yunani.[39] Pada 27 September, Belanda ikut mengajukan permohonan;[44][40][15] Komisi HAM Eropa lalu menggabungkan keempat permohonan ini pada 2 Oktober.[22][44]
Negara-negara Skandinavia tidak memiliki ikatan etnis dengan korban pelanggaran HAM di Yunani,[18][44][b] dan mereka juga tidak memiliki kepentingan ekonomi terselubung di balik perkara ini. Negara-negara ini melakukan campur tangan karena mereka merasa ini adalah kewajiban moral mereka dan juga karena opini publik di negara-negara tersebut mengecam tindakan junta Yunani.[18][44] Presiden Konvensi HAM Eropa Max Sørensen menyatakan bahwa perkara ini merupakan "pertama kalinya aparatus Konvensi ... telah digunakan oleh negara-negara tanpa kepentingan nasional dalam mengajukan permohonan dan tampaknya terdorong oleh hasrat untuk melestarikan warisan Eropa akan kebebasan yang tak tercederai".[46] Walaupun perkara ini dianggap tidak biasa karena diajukan tanpa kepentingan terselubung, dukungan terhadap hak asasi manusia di kancah internasional merupakan ciri khas kebijakan luar negeri negara-negara Skandinavia pada saat itu.[22] Namun, setelah muncul seruan di Yunani untuk memboikot barang-barang dari negara-negara yang melayangkan tuntutan,[47][44] para pengekspor menekan pemerintah di negara-negara tersebut untuk mencabut permohonan ini.[47] Akibatnya, Belanda kemudian memutuskan untuk mundur dari perkara Yunani.[48][47]
Belanda, Luksemburg, dan Islandia belakangan mengumumkan bahwa mereka mendukung tindakan pemerintah negara-negara Skandinavia dan Belanda, walaupun deklarasi ini tidak memiliki kekuatan hukum.[47][49] Upaya untuk mendorong Britania Raya agar mengeluarkan deklarasi serupa tidak berhasil, meskipun banyak orang di Britania yang menentang junta Yunani.[47][50] Pemerintahan Harold Wilson berpendapat bahwa upaya untuk mendakwa Yunani di Komisi HAM Eropa tidak akan membantu memperbaiki keadaan.[50]
Yunani mengklaim bahwa permohonan-permohonan ini tidak dapat diterima oleh Komisi HAM Eropa karena junta merupakan sebuah pemerintahan revolusioner[51][52] dan "tujuan asli revolusi tidak dapat ditinjau oleh Komisi".[43] Yunani menyatakan bahwa mereka memiliki margin apresiasi (ruang bagi pemerintah untuk menerapkan Konvensi HAM Eropa sesuai dengan penafsiran mereka) dalam mengambil tindakan-tindakan luar biasa dalam keadaan darurat.[43] Namun, Komisi HAM Eropa menilai bahwa aturan mengenai kedaruratan tidak berlaku untuk junta Yunani karena aturan tersebut dimaksudkan untuk pemerintahan yang sejalan dengan kerangka demokrasi dan konstitusional. Selain itu, junta Yunani dianggap sebagai biang kerok "kedaruratan" itu sendiri. Oleh sebab itu, Komisi HAM Eropa menyatakan pada 24 Januari 1968 bahwa perkara Yunani dapat diterima (admissible), sehingga perkara dapat dilanjutkan ke tahap penyelidikan menyeluruh.[51][22]
Permohonan kedua
[sunting | sunting sumber]Pada 24 November 1967, koresponden The Guardian dan pengacara hak asasi manusia Cedric Thornberry menerbitkan sebuah artikel yang menyelidiki kasus-kasus penyiksaan di Yunani dan menyimpulkan bahwa penyiksaan "tampaknya merupakan praktik yang umum".[53] Pada 27 Januari 1968, Amnesty International menerbitkan sebuah laporan yang disusun oleh dua orang pengacara, Anthony Marreco dan James Becket, yang telah datang langsung ke Yunani dan mengumpulkan kesaksian mengenai pelanggaran HAM, termasuk daftar 32 orang yang menyatakan bahwa mereka telah disiksa.[53][54] Akibat temuan-temuan ini,[54] Swedia, Norwegia, dan Denmark kembali mengajukan permohonan pada 25 Maret 1968 terkait dengan pelanggaran Pasal 3 (pelarangan penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat) dan 7 (larangan hukum ex post facto/yang berlaku surut), serta Pasal 1 (hak atas properti) dan 3 (hak atas pemilihan umum yang bebas) Protokol 1 Konvensi HAM Eropa.[55][51][56] Sebagai tanggapan, pemerintah Yunani mengklaim bahwa terdapat mekanisme pemulihan di tingkat nasional yang dapat digunakan untuk melaporkan tuduhan pelanggaran, sehingga menurut Yunani permohonan ini sepatutnya dinyatakan tidak dapat diterima sesuai dengan Pasal 26 Konvensi HAM Eropa. Di sisi lain, negara-negara pemohon menyatakan bahwa mekanisme pemulihan tersebut "nyatanya tidak memadai dan tidak efektif".[57][58]
Komisi HAM Eropa mengamati bahwa terdapat tiga hal yang dapat menunjukkan bahwa mekanisme pemulihan di Yunani tidak efektif. Pertama, orang-orang yang menjalani penahanan administratif (penahanan tanpa melalui sidang) tidak memiliki akses ke pengadilan. Kedua, Maklumat no. 280 menangguhkan berbagai jaminan konstitusional yang terkait dengan sistem peradilan.[58] Ketiga, pada 30 Mei, junta Yunani memecat 30 hakim dan jaksa, termasuk kepala Pengadilan Perdata dan Pidana Tertinggi Yunani karena mereka terlibat dalam pengeluaran putusan yang tidak disukai junta. Menurut Komisi HAM Eropa, pemecatan ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Yunani pada saat itu tidak independen.[57][59][58] Maka dari itu, Komisi HAM Eropa menegaskan bahwa mekanisme pemulihan yang ada di Yunani pada saat perkara ini berlangsung tidak dapat dianggap efektif ataupun memadai.[57] Permohonan ini pun dinyatakan dapat diterima pada 31 Mei.[51]
Tuduhan penyiksaan semakin membuat perkara ini dikenal khalayak umum di Eropa. Selain itu, junta Yunani juga mengubah strategi pembelaan mereka mengingat Pasal 15 Konvensi HAM Eropa secara terang-terangan melarang penangguhan Pasal 3.[60] Sejak tahun 1968, Komisi HAM Eropa mengutamakan perkara ini;[51][61] mengingat bahwa komisi ini merupakan organisasi paruh waktu, perkara Yunani menyita sebagian besar waktu komisi tersebut.[62] Pada 3 April 1968, dibentuk sebuah Subkomisi untuk memeriksa perkara Yunani, dan awalnya Subkomisi ini hanya bekerja berlandaskan permohonan yang pertama. Subkomisi ini menyelenggarakan sidang pada akhir September, dan kemudian pada pertemuan berikutnya pada bulan November, komisi ini juga memutuskan untuk mendengarkan keterangan saksi.[63][64] Pencarian fakta (terutama di lapangan) jarang dilakukan untuk perkara-perkara Konvensi HAM Eropa bila dibandingkan dengan pengadilan internasional lainnya (seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika).[65]
Penyelidikan
[sunting | sunting sumber]Yunani tampak seolah menunjukkan iktikadnya untuk bekerja sama dengan upaya penyelidikan, tetapi kenyataannya mereka mencoba meminta penundaan di setiap tahapan proses, dan permintaan ini selalu dikabulkan.[66][61] Menteri Luar Negeri Yunani Panagiotis Pipinelis mencoba memberikan kesan kepada Komite Menteri-Menteri (yang memiliki wewenang pengambilan keputusan di Majelis Eropa) bahwa Yunani mau berubah. Ia telah memperkirakan bahwa negara-negara Barat dapat diyakinkan untuk mengabaikan pelanggaran HAM yang dilakukan Yunani, dan ia juga merasa bahwa keluar dari Majelis Eropa hanya akan semakin memperkuat tekanan internasional terhadap junta. Pipinelis yang merupakan seorang pendukung monarki berhaluan konservatif mencoba memanfaatkan perkara ini sebagai cara untuk menekan golongan garis keras di kalangan junta agar mereka mau mendukung solusi politik yang ia inginkan, yaitu kembalinya Raja Konstantinos dan penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 1971.[61] Pemerintah Yunani sendiri mencoba mencari pengacara internasional yang mau membela Yunani, tetapi mereka semua menolak tawaran tersebut. Banyak pengacara Yunani yang juga menolak, walaupun Basil Vitsaksis bersedia dan akhirnya ia menerima imbalan berupa jabatan Duta Besar untuk Amerika Serikat pada tahun 1969.[67]
Komisi HAM Eropa mendengar keterangan para saksi pada minggu terakhir November 1968. Walaupun proses ini dilakukan secara in camera (tertutup), keterangan mengenai proses tersebut sering kali bocor ke media.[68][69] Pemerintah Yunani sendiri tidak mengizinkan kepergian saksi yang dapat memberikan keterangan buruk, sehingga negara-negara Skandinavia harus mencari saksi yang sudah ada di pengasingan. Pada saat keterangan para saksi didengar, dua saksi Yunani yang dibawa oleh junta melarikan diri ke delegasi Norwegia dan meminta suaka. Mereka mengakui bahwa mereka telah disiksa dan keluarga mereka di Yunani terancam. Meskipun Yunani mencoret mereka dari daftar nama saksi, mereka tetap diizinkan untuk memberikan keterangan mereka di hadapan Komisi HAM Eropa.[68][51] Salah satu dari mereka kemudian memberikan keterangannya, sementara yang lain malah mengklaim bahwa ia telah diculik oleh kepala delegasi Norwegia, Jens Evensen, dan kembali ke Athena tanpa memberikan kesaksian.[70]
Subkomisi Perkara Yunani mengumumkan bahwa mereka akan memulai penyelidikan di Yunani pada 6 Februari 1969 (kemudian ditunda menjadi tanggal 9 Maret atas permintaan pemerintah Yunani). Pasal 28 Konvensi HAM Eropa mewajibkan negara anggota untuk memfasilitasi penyelidikan. Subkomisi melakukan wawancara tanpa kehadiran perwakilan dari Yunani ataupun negara-negara pemohon setelah dikeluarkannya poster "dicari" di Yunani yang menuntut penangkapan Evensen dan juga berlandaskan kekhawatiran bahwa kehadiran pejabat Yunani akan membuat takut para saksi.[71][72] Walaupun Subkomisi mengizinkan beberapa saksi untuk memberikan keterangan, pemerintah Yunani berusaha menghalangi penyelidikan dan mencegah upaya Subkomisi untuk menemui saksi yang mengalami luka fisik (yang diklaim sebagai hasil penyiksaan). Akibat penghalangan ini (dan juga karena anggota Subkomisi tidak diperbolehkan mengunjungi Penjara Leros atau Penjara Averoff yang merupakan tempat dijebloskannya tahanan-tahanan politik), Subkomisi tidak lagi melakukan kunjungan ke lapangan.[66]
Setelah upaya kunjungannya dihalangi, Subkomisi menolak semua permintaan penundaan dari Yunani, sementara Yunani membalasnya dengan tidak memberikan berkas-berkas yang diperlukan. Pada saat itu, semakin banyak korban penyiksaan yang telah lolos dari Yunani dan beberapa dari mereka memberikan kesaksiannya pada bulan Juni dan Juli tanpa kehadiran Yunani maupun negara-negara pemohon.[66] Subkomisi menerima keterangan dari 88 saksi dan mengumpulkan banyak berkas (beberapa diperoleh secara diam-diam), dan secara keseluruhan jumlah halaman dari keterangan-keterangan dan berkas-berkas ini mencapai lebih dari 20.000 halaman.[73][74] Beberapa saksi yang memberikan keterangan merupakan wartawan ternama, menteri dari pemerintahan terakhir yang terpilih secara demokratis di Yunani, termasuk mantan Perdana Menteri Panagiotis Kanellopoulos, serta perwira militer seperti Konstantinos Engolfopoulos, mantan Kepala Staf Umum Angkatan Laut Yunani. Saksi yang melaporkan bahwa mereka telah disiksa meliputi Nikos Konstantopoulos (saat itu masih mahasiswa) dan Profesor Sakis Karagiorgas dan Georgios Mangakis .[75] Penyelidik dari Amnesty International Marreco, Becket, dan Dennis Geoghegan juga memaparkan bukti,[76] sementara junta telah memilah saksi yang diperbolehkan memberikan keterangan.[75]
Upaya penyelesaian secara damai
[sunting | sunting sumber]Ketika penyelidikan tengah diselesaikan, Subkomisi meminta pendapat akhir dari kedua belah pihak dan mencoba menyelesaikan perkara ini secara damai seperti yang diharuskan oleh Pasal 28(b);[77][73] pembahasan terkait hal ini dimulai pada Maret 1969. Negara-negara Skandinavia merasa bahwa perkara ini tidak bisa diselesaikan secara damai karena pelarangan penyiksaan tidak bisa diganggu gugat. Sementara itu, pemerintah Yunani mengusulkan untuk memperbolehkan Komite Internasional Palang Merah melakukan kunjungan mendadak. Negara-negara Skandinavia sendiri juga meminta adanya tenggat waktu untuk penyelenggaraan pemilu bebas,[73] tetapi pemerintah Yunani tidak mau menetapkan tanggal pemilihan parlemen.[73][78] Akibat perbedaan ini, sengketa tidak dapat diselesaikan secara damai, dan perkaranya pun dilanjutkan di Komisi HAM Eropa.[77]
Temuan
[sunting | sunting sumber]Pada 4 Oktober, Subkomisi menetapkan laporannya dan menyerahkannya kepada Komisi HAM Eropa, yang kemudian juga menetapkannya pada 5 November.[79] Laporan ini terdiri dari 1.200 halaman dan sebagian besar isinya berkaitan dengan Pasal 3 dan 15. Laporan ini terdiri dari tiga bagian: "Risalah Perkara dan Pokok Permasalahan", "Penetapan Fakta dan Opini Komisi" (sebagian besar isi laporan), serta bagian yang lebih singkat yang menjelaskan kegagalan upaya untuk menyelesaikan perkara secara damai.[80] Laporan ini disanjung akan keobjektifan dan penggunaan standar bukti yang kuat.[81][82] Laporan tersebut menggunakan bukti-bukti langsung, sehingga tidak mengutip temuan pihak ketiga (seperti Palang Merah atau keterangan pelapor untuk badan politik Majelis Eropa_.[83][84] Becket berpendapat bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi sangat menyeluruh.[82][85] Baginya, laporan ini merupakan suatu "pencapaian" karena "ditulis layaknya putusan pengadilan", "objektif dalam menyimpulkan", serta "sistematis dan menyeluruh" dalam menghadapi pokok perkara.[85] Pakar hukum A. H. Robertson mengamati bahwa "Komisi meminta pembuktian atas tuduhan-tuduhan yang dilayangkan, selalu memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk membantah bukti yang diajukan, dan bahkan mempertimbangkan kemungkinan bahwa (seperti yang telah dituduhkan) banyak laporan penyiksaan yang dipalsukan dalam rangka menodai citra pemerintah".[81]
Komisi HAM Eropa memutuskan bahwa Yunani telah melanggar Pasal 3, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 13, dan 14 Konvensi HAM Eropa serta Pasal 3 Protokol 1. Komisi ini juga menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran terhadap Pasal 7 Konvensi HAM Eropa dan Pasal 1 Protokol 1.[51] Di dalam laporannya, Komisi HAM Eropa mengajukan sepuluh usulan untuk memperbaiki situasi HAM di Yunani; delapan usulan pertama terkait dengan kondisi penahanan, kendali atas polisi, dan independensi peradilan, sementara dua usulan lainnya menyarankan agar Yunani memperbolehkan kebebasan pers dan pemilu bebas.[80][86] Menurut Komisioner Sørensen, tujuan dari usulan-usulan ini adalah untuk meyakinkan Yunani supaya mereka mau berjanji mengembalikan demokrasi.[46]
Pasal 3
[sunting | sunting sumber]Lebih dari 300 halaman dalam laporan ini berisi tentang Pasal 3. Komisi HAM Eropa memeriksa 30 kasus penyiksaan dengan menggunakan standar pembuktian yang biasanya diterapkan untuk permohonan individual. Mereka juga mempertimbangkan kesaksian dari 58 orang.[82][c] Di dalam lampiran laporan, tercantum nama 213 orang yang diduga telah disiksa atau mengalami perlakuan kejam, dan lima dari antara mereka dilaporkan telah meninggal akibat luka-luka yang diderita. Dari antara para korban ini, terdapat lebih dari 70 yang melibatkan Polisi Keamanan di markas mereka di Jalan Bouboulinas, Athena.[53][82] Pencarian fakta di lapangan telah berperan penting dalam memperkuat temuan Komisi HAM Eropa terkait Pasal 3.[82] Pakar hukum Isabella Risini mencatat bahwa meskipun laporan ini ditulis dengan nada yang dingin, "Metode penyiksaan dan perlakuan kejam yang mengerikan serta penderitaan individu-individu di tangan penyiksa mereka menjadi terang benderang."[82] Komisioner Philip O'Donoghue kemudian berkomentar bahwa "Nilai dari bukti kesaksian di lapangan sangatlah berharga ... Tidak ada deskripsi tertulis, seberapa bersemangatpun gaya penulisannya, yang bisa seinformatif kunjungan ke Jalan Bouboulinas di Athena."[82]
Dari 30 kasus, 16 diselidiki secara menyeluruh, dan 11 dari antaranya dapat dibuktikan tanpa ada keraguan sedikitpun (beyond a reasonable doubt). Sementara itu, penyelidikan 17 kasus dihalang-halangi oleh pemerintah Yunani, dua menunjukkan "indikasi" penyiksaan, tujuh merupakan kasus "prima facie", dan delapan menunjukkan "indikasi kuat" terjadinya penyiksaan. Bentuk penyiksaan yang paling sering digunakan adalah falanga[85], yaitu pemukulan telapak kaki. Polisi Yunani melakukannya terhadap korban yang berada di atas kursi atau bangku, dengan atau tanpa sepatu.[88] Bentuk penyiksaan lainnya meliputi pemukulan,[85] sengatan listrik, pukulan terhadap kelamin pria, penetesan air di atas kepala, pura-pura melaksanakan hukuman mati, serta ancaman untuk membunuh korban.[89][88] Komisi juga mempertimbangkan penyiksaan psikologis dan kejiwaan serta kondisi tahanan yang buruk. Menurut Komisi, penjara yang terlalu penuh, kotor, tidak memiliki fasilitas tidur yang memadai, dan tidak memiliki kontak dengan dunia luar dapat dianggap sebagai perlakuan yang tidak manusiawi.[90]
Menurut laporan ini, tujuan penyiksaan oleh pemerintah Yunani adalah untuk memperoleh keterangan, termasuk pengakuan atas keterlibatan dalam kegiatan politik atau aktivitas-aktivitas lain yang dianggap subversif.[85] Walaupun banyak kasus penyiksaan yang dilaporkan kepada aparat, mereka sama sekali tidak berupaya untuk menyelidiki, menghentikan penyiksaan, ataupun menghukum para pelakunya.[85][91] Mengingat penyiksaan yang dilakukan oleh pemerintah Yunani memenuhi kriteria "pengulangan" dan "toleransi resmi", Komisi menyimpulkan bahwa pemerintah Yunani telah melakukan penyiksaan secara sistematis.[88][92] Komisi HAM Eropa merupakan lembaga hak asasi manusia internasional pertama yang menemukan bahwa sebuah negara telah menjadikan penyiksaan sebagai kebijakan resmi.[85]
Pasal 5
[sunting | sunting sumber]Subkomisi telah mendokumentasikan terjadinya perampasan kebebasan, seperti deportasi dari Yunani, pengasingan internal ke pulau atau desa terpencil dengan larangan berbicara dengan penduduk setempat dan kewajiban untuk lapor ke polisi dua kali sehari, atau pengawasan oleh polisi.[31][93] Dengan mempertimbangkan Pasal 5 juncto Pasal 15, Komisi HAM Eropa memutuskan bahwa pemerintah Yunani telah melakukan perampasan kebebasan yang tidak dapat dijustifikasi, sehingga melanggar Konvensi HAM Eropa karena bersifat berlebihan dan tidak proporsional dengan kedaruratan yang telah dideklarasikan, dan juga karena perampasan tersebut tidak ditetapkan oleh pengadilan.[31][94] Dalam laporannya, Komisi HAM Eropa tidak mempertimbangkan apakah pengasingan internal, pembatasan terhadap perjalanan, atau penyitaan paspor merupakan tindakan-tindakan yang sejalan dengan Pasal 5, dan komisi ini juga tidak mendefinisikan istilah "perampasan kebebasan".[95][96] Menurut Jeffrey Agrest dalam artikelnya yang diterbitkan di jurnal Social Research, Undang-Undang Dasar Yunani saat itu mungkin tidak sejalan dengan Pasal 5 Konvensi HAM Eropa seperti yang telah ditafsirkan oleh Komisi HAM Eropa karena undang-undang dasar tersebut mengizinkan penahanan tanpa adanya pengadilan, dakwaan, ataupun banding untuk batas waktu yang telah ditentukan, dan setelah itu aparat harus melepas atau mendakwa tersangka. Batas waktu tersebut kemudian dihapuskan oleh Maklumat Kerajaan No. 280.[97] Isu ini tidak dipertimbangkan oleh Komisi HAM Eropa.[98]
Pasal 15
[sunting | sunting sumber]Fakta bahwa pemerintah responden, yang memiliki akses penuh terhadap semua keterangan yang tersedia, baik itu yang sudah diterbitkan, resmi, ataupun rahasia, hanya mampu menghadirkan sedikit sekali bukti seperti yang sudah dibahas, menunjukkan bahwa tidak akan terjadi pengambilalihan kuasa secara paksa oleh kelompok komunis seperti yang telah diantisipasi.
Subkomisi mendengar keterangan dari 30 saksi dan juga memeriksa dokumen-dokumen terkait, seperti manifesto partai-partai berhaluan kiri jauh, untuk memutuskan apakah Pasal 15 Konvensi HAM Eropa berlaku untuk perkara ini. Pemerintah Yunani mengklaim bahwa partai Kiri Demokratik Bersatu (Eniéa Dimokratikí Aristerá, disingkat EDA), yang dituduh condong ke ideologi komunis, membentuk sebuah front rakyat dan menyusup ke organisasi-organisasi pemuda untuk merampas kekuasaan. Di sisi lain, negara-negara pemohon berpendapat bahwa apabila EDA memang berbahaya bagi demokrasi, kegiatan partai tersebut dapat dibatasi secara konstitusional, dan partai tersebut juga sebenarnya sudah kehilangan dukungan dalam pemilu sebelumnya dan menjadi semakin terisolasi secara politik.[100] Setelah menyelidiki bukti-bukti yang ada, Subkomisi menyimpulkan bahwa kelompok komunis sudah tidak lagi mencoba merebut kekuasaan secara paksa dan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan hal tersebut, sementara skenario front rakyat merupakan skenario yang tidak mungkin terjadi.[101] Selain itu, pemberangusan kelompok oposisi secara cepat seusai kudeta dianggap sebagai indikasi bahwa kelompok komunis "tidak mampu mengambil tindakan terorganisasi apa pun dalam suatu krisis".[102]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Bates 2010, hlm. 264.
- ^ Coleman 1972, hlm. 122.
- ^ Bates 2010, hlm. 270.
- ^ Ergec 2015, hlm. 204.
- ^ Bates 2010, hlm. 96.
- ^ Bates 2010, hlm. 101.
- ^ Bates 2010, hlm. 174–175, 180.
- ^ Coleman 1972, hlm. 121.
- ^ Bates 2010, hlm. 234.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 889.
- ^ a b Kiss & Végléris 1971, hlm. 890.
- ^ Becket 1970, hlm. 93–94.
- ^ Fernández Soriano 2017, hlm. 360.
- ^ Buergenthal 1968, hlm. 446.
- ^ a b Kiss & Végléris 1971, hlm. 907.
- ^ Fernández Soriano 2017, hlm. 361.
- ^ Buergenthal 1968, hlm. 447–448.
- ^ a b c d e Janis et al. 2008, hlm. 66.
- ^ a b c Becket 1970, hlm. 93.
- ^ Walldorf 2011, hlm. 148.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 890–891.
- ^ a b c d e f Pedaliu 2020, hlm. 101.
- ^ Maragkou 2020, hlm. 42.
- ^ Fernández Soriano 2017, hlm. 358.
- ^ a b Coleman 1972, hlm. 123.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 891–892.
- ^ a b Becket 1970, hlm. 94.
- ^ Fernández Soriano 2017, hlm. 362.
- ^ a b Fernández Soriano 2017, hlm. 363.
- ^ a b c Kiss & Végléris 1971, hlm. 893.
- ^ a b c Bechlivanou 1991, hlm. 155.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 38, 42.
- ^ a b Coleman 1972, hlm. 124.
- ^ a b c Stelakatos-Loverdos 1999, hlm. 118.
- ^ Buergenthal 1968, hlm. 441.
- ^ Evolution of the Convention
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 894–895.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 908.
- ^ a b Fernández Soriano 2017, hlm. 367.
- ^ a b Bates 2010, hlm. 265, fn 462.
- ^ Becket 1970, hlm. 94–95.
- ^ Bates 2010, hlm. 264–265.
- ^ a b c Becket 1970, hlm. 97.
- ^ a b c d e f Becket 1970, hlm. 95.
- ^ Bates 2010, hlm. 178, 195.
- ^ a b Bates 2010, hlm. 267.
- ^ a b c d e Risini 2018, hlm. 88.
- ^ Becket 1970, hlm. 96.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 894, 909.
- ^ a b Maragkou 2020, hlm. 43.
- ^ a b c d e f g Bates 2010, hlm. 265.
- ^ Stelakatos-Loverdos 1999, hlm. 119.
- ^ a b c Nalbadidacis 2020, hlm. 103.
- ^ a b Clark 2010, hlm. 40.
- ^ Becket 1970, hlm. 97–98.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 6.
- ^ a b c Becket 1970, hlm. 98.
- ^ a b c Kiss & Végléris 1971, hlm. 914.
- ^ Bates 2010, hlm. 265, fn 465.
- ^ Becket 1970, hlm. 98–99.
- ^ a b c Pedaliu 2020, hlm. 102.
- ^ Risini 2018, hlm. 92.
- ^ Becket 1970, hlm. 99.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 915.
- ^ Janis et al. 2008, hlm. 65–66.
- ^ a b c Becket 1970, hlm. 104.
- ^ Becket 1970, hlm. 100.
- ^ a b Becket 1970, hlm. 100–101.
- ^ Agrest 1971, hlm. 317.
- ^ Becket 1970, hlm. 102.
- ^ Becket 1970, hlm. 102–103.
- ^ a b Greek Case 1972, hlm. 189.
- ^ a b c d Becket 1970, hlm. 105.
- ^ Bates 2010, hlm. 265, fn 468.
- ^ a b Pedaliu 2020, hlm. 104–105.
- ^ Clark 2010, hlm. 41.
- ^ a b Stelakatos-Loverdos 1999, hlm. 122.
- ^ Stelakatos-Loverdos 1999, hlm. 123.
- ^ Becket 1970, hlm. 105, 107.
- ^ a b Becket 1970, hlm. 107.
- ^ a b Bates 2010, hlm. 265–266.
- ^ a b c d e f g h Risini 2018, hlm. 91.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 911.
- ^ Risini 2018, hlm. 91–92.
- ^ a b c d e f g Bates 2010, hlm. 266.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 924.
- ^ Sikkink 2011, hlm. 49.
- ^ a b c Bechlivanou 1991, hlm. 156.
- ^ Reidy 2003, hlm. 12.
- ^ Pedaliu 2020, hlm. 106.
- ^ Sikkink 2011, hlm. 39–40.
- ^ Kiss & Végléris 1971, hlm. 923.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 129–134.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 134–135.
- ^ Agrest 1971, hlm. 310.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 134–136.
- ^ Agrest 1971, hlm. 313.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 134.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 74.
- ^ Greek Case 1972, hlm. 48.
- ^ Mertens 1971, hlm. 139–140.
- ^ Nugraha 2018, hlm. 200.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]Buku
[sunting | sunting sumber]- Bates, Ed (2010). The Evolution of the European Convention on Human Rights: From Its Inception to the Creation of a Permanent Court of Human Rights. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-920799-2.
- Bechlivanou, Georgia (1991). "Greece". Dalam Delmas-Marty, Mireille. The European Convention for the Protection of Human Rights: International Protection Versus National Restrictions (dalam bahasa Inggris). Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 151–. ISBN 978-0-7923-1283-3.
- Clark, Ann Marie (2010). Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human Rights Norms (dalam bahasa Inggris). Princeton University Press. ISBN 978-1-4008-2422-9.
- de Morree, Paulien (2016). Rights and Wrongs Under the ECHR: The Prohibition of Abuse of Rights in Article 17 of the European Convention on Human Rights (dalam bahasa Inggris). Intersentia. ISBN 978-1-78068-418-5.
- Dickson, Brice (2010). The European Convention on Human Rights and the Conflict in Northern Ireland (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-957138-3.
- Dothan, Shai (2014). Reputation and Judicial Tactics: A Theory of National and International Courts (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-03113-5.
- Ingelse, Chris (2007). United Nations Committee Against Torture: An Assessment. Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 978-90-411-1650-5.
- Janis, Mark W.; Kay, Richard S.; Bradley, Anthony Wilfred (2008). "Strasbourg's Legal Machinery". European Human Rights Law: Text and Materials (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 24–68. ISBN 978-0-19-927746-9.
- Long, Debra (2002). Guide to Jurisprudence on Torture and Ill-treatment: Article 3 of the European Convention for the Protection of Human Rights (PDF) (dalam bahasa Inggris). Association for the Prevention of Torture. ISBN 978-2-9700214-3-8.
- Madsen, Mikael Rask (2019). "Resistance to the European Court of Human Rights: The Institutional and Sociological Consequences of Principled Resistance". Principled Resistance to ECtHR Judgments—A New Paradigm? (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 35–52. ISBN 978-3-662-58986-1.
- Maragkou, Konstantina (2020). Britain, Greece and The Colonels, 1967–74: A Troubled Relationship (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-1-78738-373-9.
- Nalbadidacis, Janis (2020). "Laboratories of the Conditio Humana: The Role of Communism in Greek and Argentine Torture Centers During Their Last Military Dictatorships". The Palgrave Handbook of Anti-Communist Persecutions (dalam bahasa Inggris). Springer International Publishing. hlm. 97–116. ISBN 978-3-030-54963-3.
- Pedaliu, Effie G. H. (2020). "A clash of cultures? The UN, the Council of Europe and the Greek dictators". Dalam Klapsis, Antonis; Arvanitopoulos, Constantine; Hatzivassiliou, Evanthis; Pedaliu, Effie G. H. The Greek Junta and the International System: A Case Study of Southern European Dictatorships, 1967–74 (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-429-79776-7.
- Reidy, Aisling (2003). The Prohibition of Torture: A Guide to the Implementation of Article 3 of the European Convention on Human Rights. Human rights handbooks. 6. Council of Europe. OCLC 931979772.
- Risini, Isabella (2018). The Inter-State Application under the European Convention on Human Rights: Between Collective Enforcement of Human Rights and International Dispute Settlement (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-35726-6.
- Sikkink, Kathryn (2011). The Justice Cascade: How Human Rights Prosecutions Are Changing World Politics. The Norton Series in World Politics (dalam bahasa Inggris). W. W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-08328-6.
- The European Commission and European Court of Human Rights (1972). The Greek Case, 1969. Yearbook of the European Convention on Human Rights. Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 978-94-015-1226-8.
- Walldorf, C. William (2011). Just Politics: Human Rights and the Foreign Policy of Great Powers (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-5963-4.
- Yourow, Howard Charles (1996). "Greek Colonels Case: Derogation Disallowed". The Margin of Appreciation Doctrine in the Dynamics of European Human Rights Jurisprudence (dalam bahasa Inggris). Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 18–19. ISBN 978-0-7923-3338-8.
Jurnal
[sunting | sunting sumber]- Addo, Michael K.; Grief, Nicholas (1998). "Does Article 3 of The European Convention on Human Rights Enshrine Absolute Rights?". European Journal of International Law. 9 (3): 510–524. doi:10.1093/ejil/9.3.510 .
- Agrest, Jeffrey (1971). "Human Rights and Preventive Detention: the Greek Case". Social Research. 38 (2): 298–319. ISSN 0037-783X. JSTOR 40970063.
- Becket, James (1970). "The Greek Case Before the European Human Rights Commission". Human Rights. 1 (1): 91–117. ISSN 0046-8185. JSTOR 27878926.
- Buergenthal, Thomas (1968). "Proceedings against Greece under The European Convention of Human Rights". American Journal of International Law. 62 (2): 441–450. doi:10.1017/S0002930000102003.
- Coleman, Howard D. (1972). "Greece and the Council of Europe: The international legal protection of human rights by the political process". Israeli Yearbook of Human Rights. Martinus Nijhoff Publishers (2): 121–141. OCLC 1078033270.
- Doswald-Beck, Louise (1978). "What does the Prohibition of "Torture or Inhuman or Degrading Treatment or Punishment" Mean? the Interpretation of the European Commission and Court of Human Rights". Netherlands International Law Review. 25 (01): 24–. doi:10.1017/S0165070X00015060.
- Ergec, Rusen (2015). "À Propos de "Les Organes du Conseil de l'Europe et le Concept de Démocratie dans le Cadre de Deux Affaires Grecques" de Pierre Mertens: Le Conseil de l'Europe et la Démocratie dans les Circonstances Exceptionnelles". Revue belge de Droit international (dalam bahasa Prancis) (1–2): 204–217. ISSN 2566-1906.
- Fernández Soriano, Víctor (2017). "Facing the Greek junta: the European Community, the Council of Europe and the rise of human-rights politics in Europe". European Review of History: Revue européenne d'histoire. 24 (3): 358–376. doi:10.1080/13507486.2017.1282432.
- Heri, Corina (2020). "Loyalty, Subsidiarity, and Article 18 ECHR: How the ECtHR Deals with Mala Fide Limitations of Rights". European Convention on Human Rights Law Review (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 25–61. doi:10.1163/26663236-00101001 . ISSN 2666-3228.
- Kiss, Alexandre Charles; Végléris, Phédon (1971). "L'affaire grecque devant le Conseil de l'Europe et la Commission européenne des Droits de l'homme" [The Greek case before the Council of Europe and the European Commission of Human Rights]. Annuaire Français de Droit International (dalam bahasa Prancis). 17 (1): 889–931. doi:10.3406/afdi.1971.1677 .
- Leckie, Scott (1988). "The Inter-State Complaint Procedure in International Human Rights Law: Hopeful Prospects or Wishful Thinking?". Human Rights Quarterly. 10 (2): 249–303. doi:10.2307/762144. ISSN 0275-0392. JSTOR 762144.
- Mariniello, Triestino (2019). "Prolonged emergency and derogation of human rights: Why the European Court should raise its immunity system". German Law Journal. 20 (1): 46–71. doi:10.1017/glj.2019.3 .
- Mertens, Pierre (1971). "Les organes du Conseil de l'Europe et le concept de démocratie dans le cadre des deux affaires grecques" [The organs of the Council of Europe and the concept of democracy in the context of the two Greek cases] (PDF). Revue belge de Droit international (dalam bahasa Prancis) (1): 118–147. ISSN 2566-1906. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-06-18. Diakses tanggal 2021-01-31.
- Nugraha, Ignatius Yordan (2018). "Human rights derogation during coup situations". The International Journal of Human Rights. 22 (2): 194–206. doi:10.1080/13642987.2017.1359551 .
- Pedaliu, Effie G. H. (2016). "Human Rights and International Security: The International Community and the Greek Dictators". The International History Review. 38 (5): 1014–1039. doi:10.1080/07075332.2016.1141308.
- Stelakatos-Loverdos, Michalis K. (1999). « ελληνική υπόθεση» στο Συμβούλιο της Ευρώπης: Η διεθνής προστασία των ανθρωπίνων δικαιωμάτων στην Ελλάδα μετά την 21 η Απριλίου 1967 ως αντικείμενο διεθνούς διαφοράς [The "Greek case" in the Council of Europe: The international protection of human rights in Greece after 21 April 1967 as an object of international dispute]. Ελληνική Επιθεώρηση Πολιτικής Επιστήμης (dalam bahasa Yunani). 14: 117–139. doi:10.12681/hpsa.15163 . ISSN 2585-3031.
- Turkut, Emre (2018). "Accommodating Security Imperatives v. Protecting Fundamental Rights". Security and Human Rights. 28 (1–4): 62–91. doi:10.1163/18750230-02801002 .
- Tyagi, Yogesh (2009). "The Denunciation of Human Rights Treaties". British Yearbook of International Law. 79 (1): 86–193. doi:10.1093/bybil/79.1.86.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan