Lompat ke isi

Sensus Penduduk Indonesia 1961

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sensus Penduduk 1961
Prangko peringatan sensus
Informasi umum
NegaraIndonesia
Tanggal diambil31 Oktober 1961 (1961-10-31)
Total populasi97.018.829
Perubahan persenKenaikan 59.8%
Provinsi paling padatJawa Timur (21.823.020)
Provinsi paling kurang padatKalimantan Tengah (496.522)

Sensus Penduduk Indonesia 1961 merupakan sensus pertama Indonesia sebagai negara berdaulat. Dengan jumlah penduduk sebesar 97.018.829 jiwa, Indonesia merupakan negara terpadat kelima di dunia saat itu. Sensus ini mencakup seluruh wilayah di Indonesia, tetapi tidak dilakukan penghitungan di wilayah Papua Barat karena saat itu masih berada di bawah pendudukan Belanda. Sebagai gantinya, perkiraan jumlah penduduk wilayah tersebut dimasukkan dalam angka sensus akhir. Menurut sensus tahun 1961, kepadatan penduduk Indonesia saat itu adalah 50,9 jiwa/km2.

Sebagai sensus pertama Indonesia sejak era kolonial Belanda (tahun 1930), data hasil sensus ini digunakan untuk merencanakan pembangunan masa depan bangsa.[1] Sepertiga penduduk Indonesia saat itu berusia di bawah sepuluh tahun, dan 65 persen dari populasi tinggal di pulau Jawa, yang dianggap kelebihan populasi sejak tahun 1930-an. Para ahli demografi menekankan bahwa sebagian besar kaum muda menyebabkan tantangan demografi. Mengingat sekitar seperlima pemuda pedesaan masih menganggur, muncul pertanyaan apakah Indonesia akan mampu menyerap gelombang pekerja baru di masa mendatang. Pertanian merupakan industri dominan yang mempekerjakan 72 persen pekerja. Sensus juga mengumpukan data terkait tingkat kehadiran sekolah masyarakat untuk memfasilitasi perencanaan pendidikan. Hampir setengah dari penduduk berusia sepuluh tahun ke atas dapat membaca dan menulis dalam aksara Latin maupun aksara non-Latin.

Sekitar 350.000 petugas pendataan terdaftar di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Pelaksanaan sensus dimulai pada bulan Februari 1961, dengan penghitungan dan verifikasi akhir dilakukan pada bulan Oktober. Tabulasi dilakukan di biro statistik tingkat provinsi, tetapi hanya data dari tiga provinsi yang diproses secara lengkap. Data untuk wilayah Indonesia lainnya diambil dari survei 1 tabulasi sampel persen dari pengembalian sensus, dan banyak hasil sensus asli telah hilang.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Sensus penduduk 1961 merupakan sensus pertama di Indonesia setelah merdeka dari Belanda.[2] Sensus Hindia Belanda tahun 1930 adalah sensus sebelumnya yang telah diselesaikan dengan hasil perhitungan jumlah penduduk sebanyak 60.727.233 jiwa.[1][3] Setelah sensus 1930, ada rencana untuk melakukan sensus pada tahun 1940, tetapi dibatalkan karena Perang Dunia II.[4] Berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan konstan dari sensus tahun 1930, estimasi resmi untuk jumlah populasi tahun 1940 adalah sebanyak 70,4 juta penduduk.[5] Perkiraan selanjutnya pada tahun 1950—kali ini dihimpun dari catatan pendaftaran sipil yang dimiliki oleh kepala desa setempat—menunjukkan jumlah penduduk sebesar 77,2 juta jiwa. Namun, catatan populasi di beberapa wilayah Jawa dan wilayah lain di Indonesia pada saat itu seringkali kurang lengkap, dan metode pengumpulan data tidak konsisten; oleh karena itu, keandalan estimasi ini dipertanyakan.[6]

Pada tahun 1953, Komisi Statistik dan Komisi Populasi PBB mulai mendorong negara-negara anggota PBB untuk melakukan dan menyelesaikan sensus nasional mereka pada tahun 1960 dengan menggunakan metode statistik baru.[7] Sebagai tanggapan menganai hal itu, Kabinet Djuanda membentuk Biro Pusat Statistik (disingkat BPS) melalui Keppres pada bulan Januari 1958 dan memerintahkannya untuk mempersiapkan sensus yang akan diadakan pada tahun 1960 atau 1961.[8] Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, mencabut undang-undang sensus era Belanda atas nama perencanaan dan pembangunan nasional,[9] dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1960 tentang Sensus menjadi dasar hukum baru sensus.[10]

A map of the Indonesian archipelago, from the island of Sumatra in the west to the western half of New Guinea in the east. Territories of the Republic of Indonesia and of Portuguese Timor are white, while all other territories are tan. Dash-dotted lines mark the boundaries of countries and provinces.
Peta kepulauan Indonesia yang menunjukkan batas-batas 22 provinsi di negara tersebut pada saat sensus tahun 1961. Wilayah Papua Barat diklaim oleh Indonesia tetapi tetap di bawah pendudukan Belanda.

Enumerasi dan tabulasi

[sunting | sunting sumber]
Jadwal rumah tangga yang digunakan dalam sensus tahun 1961

Hari pelaksanaan sensus secara resmi dimulai pada tanggal 31 Oktober 1961. Untuk memudahkan operasional, BPS mendirikan kantor sensus di setiap provinsi dan gubernur provinsi ditunjuk sebagai direktur ex officio untuk operasional sensus.[10] Staf kantor provinsi dilatih langsung oleh BPS, dan mereka pada gilirannya melatih petugas sensus di tingkat kabupaten. Rantai tersebut berlanjut hingga ke tingkat kecamatan, tempat para enumerator dan pengawas mereka dilatih. Secara keseluruhan, sensus ini melibatkan sekitar 350.000 petugas sensus dan 50.000 pengawas.[11]

Persiapan dimulai tiga tahun sebelumnya dengan penggambaran enumerasi tingkat kecamatan dan pelaksanaan uji coba survei untuk mensimulasikan sensus. Pelaksanaan survei secara lapangan dimulai pada bulan Februari 1961 dengan pencatatan dan verifikasi rumah tangga. Sekitar 200.000 enumerasi kecamatan dibentuk, dengan setiap kecamatan menampung sekitar 100 rumah tangga. Kegiatan ini berlanjut hingga Oktober, dan enumerasi penduduk sebenarnya dilakukan pada bulan yang sama. Petugas pendataan mendata rumah tangga—sekitar 57 rumah tangga per petugas pendataan—dan memverifikasi informasinya. Di Sulawesi Selatan, enumerasi ditunda hingga bulan Desember karena masalah keamanan selama Pemberontakan Permesta. Antara tanggal 19 dan 31  bulan Oktober, petugas sensus mengunjungi kembali setiap rumah tangga untuk melakukan pengecekan akhir terhadap kelahiran baru, kematian, dan perubahan lainnya sejak rumah tangga tersebut pertama kali disurvei.[11] Individu yang tidak hadir pada saat pendataan karena pekerjaan dan mereka yang berada di luar rumah kurang dari tiga bulan, didata di tempat asal mereka.[12]

Sensus menggunakan jadwal individu dan jadwal rumah tangga. Jadwal individu mengumpulkan informasi mengenai nama seseorang, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, usia, status perkawinan, kewarganegaraan, agama, bahasa, tempat lahir, pendidikan, dan tingkat kehadiran di sekolah.[11] Untuk individu berusia sepuluh tahun atau lebih, jadwal tersebut mengumpulkan informasi tentang literasi, jenis kegiatan, pekerjaan utama, industri, status dalam industri, pekerjaan sekunder, dan jumlah kelahiran setiap wanita yang sudah menikah. Rumah tangga yang dijadwalkan berisi topik terpisah untuk perusahaan industri, rumah tangga institusional, dan rumah tangga pribadi. Untuk rumah tangga pribadi, jadwal tersebut juga mencakup jenis rumah dan informasi pertanian.[13]

Tabulasi jadwal dilakukan dalam dua kelompok. Jadwal dari semua wilayah perkotaan dan 10 persen jadwal dari daerah pedesaan diproses secara mekanis oleh BPS. Sisa 90 persen jadwal pedesaan ditabulasi secara manual di tingkat provinsi. Hasil sementara pertama dirilis pada bulan Desember 1961. Hal ini diikuti enam bulan kemudian dengan data tiap kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.[13] Hanya data dari tiga provinsi (Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur) yang diproses secara lengkap, sedangkan data untuk seluruh wilayah Indonesia diambil dari data 1 tabulasi sampel persen dari pengembalian sensus.[12] Banyak hasil rincinya yang telah hilang.[4]

Data populasi

[sunting | sunting sumber]

Sensus tersebut menghasilkan data jumlah penduduk sebesar 97.018.829 jiwa, [2] yang berarti peningkatan sebesar 60 persen dibandingkan sensus tahun 1930.[14] Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak kelima di dunia, setelah Republik Rakyat Tiongkok (669 juta jiwa pada tahun 1958), India (438 juta jiwa pada tahun 1961), Uni Soviet (214 juta jiwa pada tahun 1960), dan Amerika Serikat (182 juta jiwa pada tahun 1961).[2] Rasio jenis kelamin secara keseluruhan adalah 95 laki-laki per 100 perempuan.[15] Walaupun sensus mencakup seluruh wilayah negara, tidak ada penghitungan yang dilakukan di wilayah Papua Barat yang diklaim Indonesia, karena masih berada di bawah pendudukan Belanda. Alhasil, data jumlah penduduk untuk wilayah tersebut ditambahkan melalui perkiraan sebesar 700.000 jiwa.[10] Sebagai perbandingan, pejabat Belanda melaporkan kepada PBB pada tahun yang sama dengan sensus bahwa penduduk asli Papua Barat adalah 717.055. Angka ini tidak termasuk sekitar 12.000 tentara Belanda.[16]

Jumlah penduduk dan luas wilayah menurut provinsi dan pulau di Indonesia, tahun 1961
Provinsi Pulau Laki-laki Perempuan Total Luas (km2) Kepadatan
(orang
per km2)
Jakarta Jawa 1.480.771 1.425.762 2.906.533 577 5.037
Jawa Barat Jawa 8.657.815 8.956.740 17.614.555 46.300 380
Jawa Tengah Jawa 8.967.714 9.439.757 18.407.471 34.206 538
Yogyakarta Jawa 1.092.403 1.149.074 2.241.477 3.169 707
Jawa Timur Jawa 10.602.448 11.220.572 21.823.020 47.922 455
Sumatra Selatan Sumatra 2.465.562 2.381.662 4.847.224 158.163 31
Jambi Sumatra 386.109 358.272 744,381 44.924 17
Riau Sumatra 637.064 597.920 1.234.984 94.562 13
Sumatra Barat Sumatra 1.117.669 1.201.388 2.319.057 49.778 47
Sumatra Utara Sumatra 2.514.328 2.450.406 4.964.734 70.787 70
Aceh Sumatra 822.102 806.881 1.628.983 55.392 29
Kalimantan Barat Kalimantan 802.010 779.024 1.581.034 146.760 11
Kalimantan Tengah Kalimantan 251.316 245.206 496.522 152.600 3,3
Kalimantan Selatan Kalimantan 725.959 747.196 1.473.155 37.660 39
Kalimantan Timur Kalimantan 286.963 263.801 550.764 202.440 2.7
Sulawesi Utara Sulawesi 1.015.050 988.161 2.003.211 88.578 23
Sulawesi Selatan Sulawesi 2.474.747 2.601.391 5.076.138 100.457 51
Bali Kepulauan Sunda Kecil 883.512 899.017 1.782.529 5.561 321
Nusa Tenggara Barat Kepulauan Sunda Kecil 893.469 814.361 1.807.830 20.177 90
Nusa Tenggara Timur Kepulauan Sunda Kecil 984.415 982.882 1.967.297 47.876 41
Maluku Kepulauan Maluku 402.500 387.034 789.534 74.505 11
Irian Barat Kepulauan Maluku and Papua Barat 375.154 383.242 758.396 421.951 1,8
Total 47.839.080 49.179.749 97.018.829 1.904.345 51
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 174, 239–248

Penyebaran geografis

[sunting | sunting sumber]

Salah satu ciri utama penduduk Indonesia adalah adanya perbedaan kepadatan penduduk antar pulau-pulaunya.[17] Hampir 65 persen dari total penduduk tinggal di pulau Jawa yang hanya seluas 6,9 persen dari total luas wilayah Indonesia. [14] Jawa sudah dianggap kelebihan populasi sejak tahun 1930an.[18] Di sisi lain, Kalimantan yang luas wilayahnya mencapai 28 persen dari total wilayah Indonesia, hanya dihuni oleh 4,2 persen dari total populasi. Rasio penduduk Jawa terhadap total penduduk menurun dari sensus tahun 1930, menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau-pulau lain. Sumatera dan Kalimantan, misalnya, jumlah penduduknya hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 1930.[14]

Urbanisasi

[sunting | sunting sumber]

Proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan hampir dua kali lipat dari sensus sebelumnya, yaitu dari 7,5 persen menjadi hampir 15 persen.[19] Dalam literatur tahun 1950-an mengenai urbanisasi di Asia, Indonesia secara umum dipandang sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang paling sedikit mengalami urbanisasi,[20] meskipun setiap negara menerapkan kriteria yang berbeda untuk mendefinisikan wilayah perkotaan.[21] Federasi Malaya, misalnya, menerapkan kriteria numerik 1.000 penduduk atau lebih agar sebuah wilayah dapat disebut perkotaan,[22] yang mengakibatkan tingkat urbanisasinya sebesar 42,7 persen pada tahun 1957.[20]

Sensus tahun 1961 memandang daerah perkotaan adalah ibu kota Jakarta, 48 wilayah otonom yang diberi status kotamadya, semua ibu kota kabupaten atau pusat pemerintahannya (terpisah dari kotamadya), enam daerah berkarakter perkotaan dengan lebih dari 20.000 penduduk, dan daerah-daerah lain yang secara sewenang-wenang dianggap sebagai perkotaan oleh kepala kabupaten.[21] Karena kriteria non-numerik digunakan untuk klasifikasi ini, tidak semua kota dengan populasi di atas 20.000 dihitung sebagai perkotaan.[22] Permukiman di daerah industri besar juga dikecualikan meskipun penduduk setempat menganggapnya sebagai kota.[21] Sebaliknya, sensus tahun 1930 menerapkan definisi seragam untuk semua daerah yang memiliki "tampilan yang kurang lebih perkotaan" dengan lebih lebih dari 1.000 penduduk sebagai perkotaan, yang terdiri dari 32 kotamadya dan 146 non-kotamadya.[23]

Jumlah penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan, Indonesia, 1961
Daerah Jawa Semua pulau lainnya Total, Indonesia
Populasi Persentasi dari
total populasi, Indonesia
Populasi Persentasi dari
total populasi, Indonesia
Populasi Persentasi dari
total populasi, Indonesia
Perkotaan (urban) 9.807.308 10,1 4.551.064 4,7 14.358.372 14,8
Pedesaan (rural) 53.185.748 54,8 29.474.709 30,4 82.660.457 85,2
Total, semua daerah 62.993.056 64,9 34.025.773 35,1 97.018.829 100,0
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 178, diolah dari tabulasi sampel 1 persen yang dilakukan oleh BPS

Sekitar dua pertiga penduduk perkotaan Indonesia tinggal di Jawa.[19] Proporsi ini menurun sejak tahun 1930, ketika wilayah perkotaan di Jawa mencakup lebih dari 78 persen dari total penduduk perkotaan Indonesia.[24] Tren ini menunjukkan tingkat pertumbuhan banyak kotamadya di luar Jawa melampaui tingkat pertumbuhan kotamadya lama di Jawa, mencerminkan perkembangan yang pesat di pulau luar Jawa. Eksploitasi sumber daya oleh pemerintah kolonial di Jawa dimulai pada abad ke-17, sedangkan sumber daya di pulau-pulau luar Jawa tidak diambil untuk ekspor dalam skala besar sampai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[25] Dalam sensus tahun 1961, 13 dari 23 kota terbesar dengan lebih dari 100.000 penduduk terletak di Jawa. Sebaliknya, hanya 1 dari 7 kota sebesar ini pada tahun 1930 yang terletak di luar Jawa.[24]

Dalam sensus ini dua kota memiliki lebih dari 1 juta penduduk.[26] Jumlah penduduk Jakarta tumbuh lebih dari lima kali lipat dari 533.000 jiwa pada tahun 1930 menjadi 2,97 juta jiwa,[27] sebagian karena batas kotanya diperluas pada tahun 1950.[28] Surabaya di Jawa Timur mengalami peningkatan populasi tiga kali lipat dalam periode waktu yang sama menjadi lebih dari 1 juta.[27] Kota ketiga, Bandung di Jawa Barat, berada di posisi ketiga dengan jumlah penduduk sebesar 972.556 jiwa.[26] Pertumbuhan yang disebabkan oleh perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota merupakan karakteristik yang terlihat di sebagian besar negara berkembang pada periode pasca perang.[29] Namun, jika dibandingkan dengan negara tetangga Myanmar (Burma), misalnya, yang pertumbuhan ekonominya sebagian besar terpusat di ibu kota Rangoon (Yangon), Indonesia memiliki distribusi penduduk kota yang lebih merata, mirip dengan beberapa negara maju.[30] Dari kota-kota yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa, Bandung, bersama dengan Medan dan Pematangsiantar di Sumatera Utara, memiliki tingkat pertumbuhan lebih cepat dibandingkan Jakarta.[31] Kota dengan pertumbuhan tercepat adalah Pekanbaru di Riau, yang memiliki tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 13,1 persen.[32]

Distribusi usia

[sunting | sunting sumber]
Masyarakat mengambil susu formula di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional, Jakarta pada tahun 1951. Meningkatnya ketersediaan pangan berkontribusi terhadap ledakan populasi yang tercermin dalam data sensus.

Persentase penduduk yang tertinggi (33,6 persen) adalah anak-anak di bawah usia sepuluh tahun,[33] mencerminkan penurunan angka kematian bayi dan anak pada tahun 1950-an yang disebabkan oleh penurunan kasus frambusia, tuberkulosis, dan malaria, serta ketersediaan pangan dan gizi yang lebih baik dibandingkan tahun 1940-an.[34][35] Dari total populasi, 55,3 persen berada pada usia kerja (usia 15–64).[36][37] Proporsi ini lebih tinggi di Jawa (56,5 persen) dan di wilayah perkotaan (57,6 persen).[38] Demografer Kurt Horstmann [de] berteori bahwa distribusi penduduk yang datar antara usia sepuluh dan tiga puluh lima tahun merupakan kerugian ekonomi bagi Indonesia pada tahun 1950an. Distribusi yang lebih normal akan menghasilkan populasi pekerja yang lebih besar di suatu negara.[34] Secara keseluruhan, rasio ketergantungan di Indonesia saat itu adalah 81 orang tanggungan per 100 orang pekerja. Menggabungkan data usia dengan data distribusi perkotaan-pedesaan menunjukkan adanya masuknya pekerja muda ke pusat perkotaan. Kelompok umur 15–24 tahun memiliki representasi yang lebih besar di kota-kota (20 persen dari populasi perkotaan) dibandingkan di pedesaan (15 persen dari penduduk pedesaan).[15]

Jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin, Indonesia, 1961
Kelompok usia Laki-laki[a] Perempuan[a] Total[a] Persen
total
0–4 8.461.949 8.580.361 17.042.310 17,7%
5–9 7.683.534 7.639.422 15.322.956 15,9%
10–14 4.318.543 3.860.869 8.179.412 8,5%
15–19 3.834.117 3.874.058 7.708.175 8,0%
20–24 3.452.362 4.338.603 7.790.965 8,1%
25–34 7.333.617 8.542.102 15.875.719 16,5%
35–44 5.719.856 5.363.334 11.083.190 11,5%
45–54 3.559.007 3.483.325 7.042.332 7,3%
55–64 1.897.510 1.850.396 3.747.906 3,9%
65–74 795.730 829.027 1.624.757 1,7%
75+ 377.747 406.609 784.356 0,8%
Tidak diketahui 59.882 56.869 116.751 0,1%
Total, semua usia 47.493.854 48.824.975 96.318.829 100,0%
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 179
Catatan:
  1. ^ a b c Angka distribusi usia tidak termasuk perkiraan populasi Papua Barat (700.000).

Tenaga kerja dan ekonomi

[sunting | sunting sumber]
Seorang wanita sedang menjual beras di halaman belakang rumahnya di Madiun, Jawa Timur. Mayoritas perempuan di daerah pedesaan melakukan pekerjaan rumah tangga dan aktivitas ekonomi lainnya pada saat yang bersamaan.

Tenaga kerja pada tahun 1961 berjumlah sekitar 54 persen dari populasi berusia sepuluh tahun ke atas,[39] sekitar 34,6 juta jika dijumlahkan.[40] Mereka terdiri dari individu yang bekerja setidaknya dua dari enam bulan sebelum sensus dan mereka yang menganggur tetapi sedang mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran rata-rata berada pada angka 5,4 persen.[39] Tiga perempat dari seluruh pekerja adalah laki-laki.[41] Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan kurang dari separuh populasi laki-laki. Pengangguran perempuan lebih tinggi yaitu 7,0 persen, dibandingkan dengan laki-laki pada angka 4,8 persen.[42] Di Jakarta, angka pengangguran mencapai 7 persen.[33] Meskipun daerah perkotaan memiliki persentase pengangguran lebih tinggi daripada daerah pedesaan, pengangguran merupakan masalah serius di daerah pedesaan. Di antara pekerja pertanian di daerah pedesaan di Jawa dan Madura, sebanyak sepertiganya menganggur.[43] Pada saat yang sama, di daerah pedesaan, mayoritas perempuan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan aktivitas ekonomi lainnya secara bersamaan.[42]

Jumlah penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang bekerja menurut jenis kegiatan ekonomi dan jenis kelamin, Indonesia, 1961
Aktivitas ekonomi Laki-laki Perempuan Kedua jenis kelamin
Jum. % Jum. % Jum. %
Bekerja 23.805.691 76,0 8.902.923 27,3 32.708.614 51,2
Menganggur 1.203.106 3,8 666.514 2,0 1.869.620 2,9
Total, tenaga kerja 25.008.797 79,8 9.569.437 29,3 34.578.234 54,1
Pelajar 3.832.931 12,2 2.539.464 7,8 6.372.395 9,9
Pekerja rumahan 1.017.245 3,2 18.494.942 56,8 19.512.187 30,5
Lainnya dan tidak diketahui 1.489.398 4,7 2.001.349 6,1 3.490.747 5,5
Total, semua pekerjaan 31.348.371 100,0 32.605.192 100,0 63.953.563 100,0
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 183
Seorang pria mengumpulkan daun tembakau di sebuah perkebunan di Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Pertanian merupakan industri dominan dan mempekerjakan 72 persen pekerja Indonesia.

Pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) merupakan industri dominan yang mempekerjakan hampir 72 persen pekerja, sedangkan sektor manufaktur mempekerjakan kurang dari 6 persen.[40] Porsi pekerja di sektor pertanian tidak menunjukkan perubahan atau hanya sedikit perubahan dibandingkan pada tahun 1930.[44] Jawa memiliki persentase pekerja terendah di sektor pertanian, tetapi memiliki persentase tertinggi yang bekerja di sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa. Di wilayah perkotaan, sepertiga pekerja bekerja di sektor jasa, sedangkan sektor manufaktur hanya mempekerjakan seperenam pekerja perkotaan.[45] Di daerah pedesaan, pertanian mencakup 81 persen pekerja. Meskipun sektor perdagangan dan jasa hanya menyumbang kurang dari 5 persen dan kurang dari 6 persen pekerja pedesaan, masing-masing, mereka yang bekerja di bidang pertanian kemungkinan menganggap ini sebagai kegiatan ekonomi sekunder atau sampingan mereka.[46] Sekitar 1 juta anak usia 10–14 tahun bekerja (3,4  persen dari angkatan kerja yang bekerja), dengan sektor pertanian menyumbang 87% persen dari kegiatan ekonomi kelompok tersebut.[47]

Jumlah penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang bekerja menurut jenis kegiatan ekonomi dan jenis kelamin, Indonesia, 1961
Aktivitas ekonomi Laki-laki Perempuan Kedua jenis kelamin
Jum. % Jum. % Jum. %
Pertanian, kehutanan, dan perikanan 17.371.811 72,9 6.144.386 69,0 23.516.197 71,9
Pertambangan dan penggalian 76.959 0,3 10.435 0,1 87.394 0,3
Manufaktur 1.158.760 4,9 697.392 7,7 1.856.152 5,7
Kontruksi 560.584 2,3 21.456 0,2 582.040 1,8
Listrik, air, dan gas 48.104 0,2 2.625 0,02 50.729 0,1
Perdagangan, perbankan, dan asuransi 1.510.566 6,3 683.412 7,5 2.193.978 6,7
Transportasi, gudang, dan komunikasi 666.879 2,8 24.850 0,2 691.459 2,1
Jasa 2.038.531 8,6 1.056.708 11,6 3.095.239 9,5
Lainnya dan tidak diketahui 373.497 1,6 261.929 2,9 635.426 1,9
Total, semua aktivitas 23.805.691 100,0 8.902.923 100,0 32.708.614 100,0
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 189

Melek huruf dan pendidikan

[sunting | sunting sumber]
Toko-toko di kawasan pecinan Glodok, Jakarta, memajang tanda-tanda dalam aksara Latin dan Mandarin.

Angka melek huruf untuk penduduk berusia sepuluh tahun ke atas adalah 46,7 persen. Angka ini termasuk mereka yang mampu membaca dan menulis dalam aksara Latin atau aksara non-Latin seperti aksara Jawa, Arab, atau Mandarin. Orang yang bisa membaca tetapi tidak bisa menulis dikategorikan sebagai buta huruf.[47] Angka melek huruf di Sumatera berada di angka yang lebih tinggi, yakni 56,6 persen, dibanding wilayah Indonesia lainnya. Di kalangan laki-laki, angka ini mencapai hampir 70 persen. Di Jawa, tingkat literasi secara keseluruhan adalah 45,5 persen.[48] Di wilayah perkotaan, dua pertiga penduduk berusia sepuluh tahun ke atas melek huruf, sedangkan di wilayah pedesaan tingkat melek hurufnya hanya 43 persen.[49] Upaya pemberantasan buta huruf pada tahun-tahun sebelum sensus dilaksanakan menghasilkan kesenjangan melek huruf yang lebih kecil antara laki-laki dan perempuan pada kelompok usia termuda.[50] Sekitar 72 persen anak usia 10–14 tahun (76,2 persen laki-laki dan 67,7 persen perempuan) bisa membaca dan menulis.[51]

Persentase penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis menurut wilayah dan jenis kelamin, Indonesia, 1961
Wilayah Laki-laki Perempuan Kedua jenis kelamin
Jawa 59,2 32,6 45,5
Sumatera 69,3 43,7 56,6
Kalimantan 58,7 31,0 45,0
Sulawesi 51,9 35,8 43,6
Other islands 51,0 26,6 38,8
Rata-rata, Indonesia 59,8 34,1 46,7
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 191
Pelajar di sebuah sekolah menengah atas di Singaraja, Bali

Di daerah pedesaan, hampir 70 persen dari mereka yang berusia sepuluh tahun ke atas tidak pernah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Sementara di daerah perkotaan berkisar di angka 42 persen.[52] Sumatera memiliki persentase tertinggi untuk penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang menyelesaikan pendidikan dasar dengan angka sebesar 40 persen, serta persentase tertinggi untuk yang menyelesaikan pendidikan tinggi sebesar 4,2 persen. Di Jawa hanya 30,5 persen penduduk berusia sepuluh tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, dan 3,2 persen menyelesaikan pendidikan di sekolah tinggi.[53] Proporsi orang yang menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar meningkat untuk kelompok usia yang lebih muda. Di antara semua individu yang menyelesaikan sekolah dasar, kelompok usia 10–24 tahun menyumbang angka 56,1 persen.[54]

Persentase penduduk usia sepuluh tahun ke atas menurut tingkat pendidikan, Indonesia, 1961
Kelompok usia Tidak bersekolah Sekolah dasar
(usia 3–7)
Sekolah menengah atas
10–14 43,4 55,8 0,8
15–19 42,5 50,5 7,0
20–24 54,3 37,9 7,8
25–34 67,9 29,0 3,1
35–44 73,7 24,6 1,7
45–54 82,6 16,1 1,3
55–64 88,6 10,6 0,8
65–74 91,8 7,6 0,6
75+ 93,3 6,3 0,6
Tidak diketahui 71,6 25,5 0,4
Rata-rata, usia 10 tahun keatas 64,8 32,1 3,1
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 195
Seorang wanita mendandani putranya untuk hari pertama sekolah.

Sebagian besar anak Indonesia mulai bersekolah pada usia tujuh tahun atau lebih. Untuk memudahkan perencanaan pendidikan, BPS membuat tabel tersendiri mengenai angka kehadiran sekolah pada anak usia tujuh sampai tiga belas tahun.[55] Rata-rata, kehadiran sekolah pada kelompok ini sekitar 55 persen, dengan tiga perempat anak-anak di daerah perkotaan dan lebih dari setengah anak-anak di daerah pedesaan bersekolah.[56] Meskipun tingkat kehadiran sekolah untuk laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda di empat pulau (Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi), terdapat perbedaan tingkat kehadiran sekolah yang besar antara perempuan dan laki-laki di pulau lainnya.[57]

Persentase anak usia 7-13 tahun yang bersekolah menurut wilayah dan jenis kelamin, Indonesia, 1961
Wilayah Laki-laki Perempuan Kedua jenis kelamin
Jawa 58,3 52,2 55,3
Sumatera 62,9 57,4 60,2
Kalimantan 46,8 41,9 44,5
Sulawesi 55,9 52,5 54,3
Pulau lain 49,1 37,5 43,5
Rata-rata, Indonesia 57,7 51,7 54,8
Sumber: Nitisastro 2006, hlm. 198

Analisis selanjutnya

[sunting | sunting sumber]

Kesenjangan dalam etnografi

[sunting | sunting sumber]

Agama di Jakarta (1961)[58]

  Islam (84.7%)
  Buddha, Hindu, dan Konghucu (7.8%)
  Protestan (3.1%)
  Katolik (1.7%)
  Lainnya dan tidak diketahui (2.7%)

Berbeda dengan sensus sebelumnya yang dilakukan pada tahun 1930, sensus tahun 1961 tidak memuat informasi mengenai kelompok etnis di Indonesia.[59] Pemerintah yang berkuasa sejak masa kemerdekaan hingga tahun 1990-an tidak mengumpulkan data etnis karena mereka yakin bahwa informasi mengenai komposisi etnis di suatu negara dapat digunakan untuk memicu ketidakstabilan sosial dan politik.[60] Data semacam itu tidak dikumpulkan sampai sensus tahun 2000 setelah era reformasi pada tahun 1998.[61] Oleh karena itu, analisis pengelompokan etnis di tingkat nasional selama sebagian besar abad ke-20 diekstrapolasi dari data tahun 1930 atau dengan data estimasi yang akurat.[60]

Para ahli demografi telah mencatat bahwa posisi mengenai etnisitas ini berbeda dengan sikap pemerintah terhadap agama, yang informasinya telah dikumpulkan dalam semua sensus penduduk.[61] Meski demikian, agama dianggap sebagai topik yang sensitif sehingga data lengkap terkait agama pada tahun 1961 tidak pernah dipublikasikan.[62] BPS hanya merilis statistik agama untuk Jakarta, sementara peneliti kemudian memperoleh data yang tidak dipublikasikan untuk Yogyakarta dan Jawa Timur.[63]

Proyeksi populasi

[sunting | sunting sumber]
Piramida penduduk Indonesia tahun 1961 dengan penyesuaian data sensus oleh ekonom Widjojo Nitisastro

Survei pasca pencacahan dilakukan pada tahun yang sama dengan sensus di seluruh Jawa, tetapi untuk di pulau lainnya hanya dilakukan di ibu kota provinsi. Ditemukan bahwa survei pasca pencacahan di Jawa memiliki ketidakakuratan bersih sebesar 0,19 persen, sedangkan ibu kota provinsi lainnya memiliki tingkat ketidakakuratan bersih sebesar 0,45 persen. Di Jakarta, data sebaran penduduk menurut tahun umur tunggal menunjukkan kecenderungan penumpukan umur pada umur berakhiran nol dan lima tahun dan umur dua belas dan delapan belas tahun.[64] Terdapat pula pola penghitungan yang kurang dari jumlah anak-anak yang sangat muda, perkiraan yang lebih tinggi dari usia orang tua, dan penghitungan usia yang lebih rendah untuk perempuan muda—semua hal tersebut sering terlihat dalam sensus penduduk. [65] Ekonom Widjojo Nitisastro, yang mengepalai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menerapkan penyesuaian terhadap data jenis kelamin dan usia untuk membuat proyeksi populasi hingga tahun 1991.[66] Survei demografi juga dilakukan pada tiga tahun berikutnya. Perencana sensus menggunakan informasi dari sensus dan survei yang telah selesai untuk melakukan perbaikan pada sensus berikutnya pada tahun 1971.[12]

Mengingat besarnya proporsi penduduk usia 5–14 tahun, demografer Nathan Keyfitz memperkirakan jumlah orang yang memasuki dunia kerja akan meningkat dari 1,5 juta per tahun pada pertengahan tahun 1960-an menjadi lebih dari 3 juta per tahun pada awal tahun 1970-an, sehingga muncul pertanyaan apakah perekonomian Indonesia mampu menyerap gelombang pekerja baru tersebut. Ia menyoroti bahwa data sensus telah menunjukkan bahwa sekitar seperlima dari kaum muda di daerah pedesaan menganggur.[67] Ia mengantisipasi adanya tekanan populasi di Jawa yang kekurangan lahan, yang tiga perempatnya merupakan daerah pedesaan.[68] Ekonom Alex Hunter mencatat bahwa pemerintah kolonial Belanda sebelumnya mencoba memecahkan masalah ini dengan memperkenalkan program transmigrasi untuk memindahkan orang-orang yang tidak memiliki tanah ke pulau-pulau terluar yang penduduknya lebih sedikit, namun program ini kurang berhasil di kalangan orang Jawa.[69] Keyfitz justru meramalkan bahwa migrasi dari desa ke kota akan semakin cepat, melanjutkan pola pertumbuhan pesat di kota-kota yang terlihat dalam sensus.[70] Ahli demografi Gavin Jones setuju bahwa migrasi dari desa ke kota lebih praktis, namun mencatat bahwa "kinerja ekonomi yang buruk" pada paruh pertama tahun 1960-an mengakibatkan buruknya kesempatan kerja dan kondisi kehidupan di wilayah perkotaan.[71]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 169.
  2. ^ a b c Nitisastro 2006, hlm. 168.
  3. ^ Nitisastro 2006, hlm. 75.
  4. ^ a b Kahin 2015, hlm. 85.
  5. ^ Nitisastro 2006, hlm. 116–117.
  6. ^ Nitisastro 2006, hlm. 124–125.
  7. ^ UNSD 1958, hlm. 3–4.
  8. ^ Deppen 1960a, hlm. 666, 669.
  9. ^ Deppen 1960b, hlm. 725.
  10. ^ a b c Nitisastro 2006, hlm. 170.
  11. ^ a b c Nitisastro 2006, hlm. 171.
  12. ^ a b c Muhidin 2002, hlm. 128.
  13. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 172.
  14. ^ a b c Nitisastro 2006, hlm. 176.
  15. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 180.
  16. ^ Lagerberg 1979, hlm. 116–117.
  17. ^ Nitisastro 2006, hlm. 174.
  18. ^ Jones 1966, hlm. 56.
  19. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 177.
  20. ^ a b Milone 1964, hlm. 1000.
  21. ^ a b c Milone 1964, hlm. 1001.
  22. ^ a b Milone 1964, hlm. 1002.
  23. ^ Milone 1964, hlm. 1001–1002.
  24. ^ a b Milone 1964, hlm. 1006.
  25. ^ Milone 1964, hlm. 1005.
  26. ^ a b Milone 1964, hlm. 1008.
  27. ^ a b Keyfitz 1965, hlm. 664.
  28. ^ Castles 1967, hlm. 154, 160.
  29. ^ Brand 1969, hlm. 307–308.
  30. ^ Milone 1964, hlm. 1009.
  31. ^ Milone 1964, hlm. 1005–1006.
  32. ^ Milone 1964, hlm. 1007.
  33. ^ a b Hawkins 1966, hlm. 267.
  34. ^ a b Keyfitz 1965, hlm. 659.
  35. ^ Hunter 1966, hlm. 38.
  36. ^ Nitisastro 2006, hlm. 179.
  37. ^ Hunter 1966, hlm. 39–40.
  38. ^ Nitisastro 2006, hlm. 179–180.
  39. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 182.
  40. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 186.
  41. ^ Nitisastro 2006, hlm. 189–190.
  42. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 183.
  43. ^ Hawkins 1966, hlm. 268.
  44. ^ Jones 1966, hlm. 53.
  45. ^ Nitisastro 2006, hlm. 188.
  46. ^ Nitisastro 2006, hlm. 189.
  47. ^ a b Nitisastro 2006, hlm. 190.
  48. ^ Nitisastro 2006, hlm. 190–191.
  49. ^ Nitisastro 2006, hlm. 191.
  50. ^ Nitisastro 2006, hlm. 193.
  51. ^ Nitisastro 2006, hlm. 192.
  52. ^ Nitisastro 2006, hlm. 194.
  53. ^ Nitisastro 2006, hlm. 195.
  54. ^ Nitisastro 2006, hlm. 196.
  55. ^ Nitisastro 2006, hlm. 196–197.
  56. ^ Nitisastro 2006, hlm. 197–198.
  57. ^ Nitisastro 2006, hlm. 199.
  58. ^ Castles 1967, hlm. 170.
  59. ^ Castles 1967, hlm. 153–154.
  60. ^ a b Ananta et al. 2015, hlm. 10.
  61. ^ a b Ananta et al. 2015, hlm. 11.
  62. ^ Suryadinata, Arifin & Ananta 2003, hlm. 103.
  63. ^ Jones 1976, hlm. 26.
  64. ^ Nitisastro 2006, hlm. 181.
  65. ^ Nitisastro 2006, hlm. 181–182.
  66. ^ Nitisastro 2006, hlm. 201–202.
  67. ^ Keyfitz 1965, hlm. 663.
  68. ^ Keyfitz 1965, hlm. 667.
  69. ^ Hunter 1966, hlm. 36–37.
  70. ^ Keyfitz 1965, hlm. 664, 667.
  71. ^ Jones 1966, hlm. 68.

Bibliografi

[sunting | sunting sumber]

Peraturan perundang-undangan

[sunting | sunting sumber]