Sepatnunggal, Majenang, Cilacap
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Sepatnunggal | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Jawa Tengah |
Kabupaten | Cilacap |
Kecamatan | Majenang |
Kode pos | 53257 |
Kode Kemendagri | 33.01.14.2011 |
Luas | 5,5 km2 |
Jumlah penduduk | 6200 org |
Kepadatan | 1200/km2 |
Sepatnunggal adalah desa di Kecamatan Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Desa Sadahayu di sebelah utara, Desa Pengadegan di sebelah timur, Desa Bener di sebelah selatan dan Desa Cibeunying di sebelah barat.
Keadaan geografis
[sunting | sunting sumber]Sepatnunggal adalah daerah pegunungan yang terdiri dari perbukitan kecil (dengan kemiringan landai sampai terjal) yang membujur dari Utara ke Selatan yang merupakan lereng dari pegunungan Kendeng. Berada pada ketinggin kira-kira 100–500 m di atas permukaan laut. Di Kanan dan Kiri bukit memancar beberapa mata air yang jernih. Tanahnya subur dan hampir 100% merupakan tanah pertanian rakyat.
Ada Bukit yang sangat indah yang bentuknya menyerupai punden berundak, namanya "Pasir Ekek" (dalam Bahasa Indonsia = "Bukit Betet")--tidak diketahui asal usul penamaannya. Letaknya persis di tengah-tengah desa, bentuknya seperti punggung kuda, diapit dua Sungai / Kali. Bila—dari sini—memandang ke arah Utara tampak Gugusan Pegunungan Kendeng; ke arah Barat tampak atas Puncak Gunung Padang (sebagian menyebutnya "Gunung Cendana") yang kadang berkabut dan ditutupi awan dan tampak bawah daerah aliran sungai (das) Cijalu yang lebar meliuk-liuk dari Utara ke Selatan (sungguh menakjubkan); ke arah Timur tampat tersusun rapi barisan bukit-bukit yang dikahiri dengan Puncak Gunung Slamet; ke arah Selatan dihiasi hamparan sawah dan dataran rendah. Di Puncak Bukit ini sangat strategis bila dibangun "BTS" untuk layanan telekomunikasi wireless.
Di bagian Selatan ada lembah subur dan indah yang landai luasnya kurang lebih 20 ha yang berupa persawahan dan perkampungan, sebelah Baratnya dilalui sungai Cijalu yang berarus deras (bermata air di Gunung Padontelu / Pojok Tiga), yang airnya digunakan untuk irgasi. Dari persawahan di lembah inilah sebagian besar penduduk desa memanen padi. Dicurigai lembah ini sebagai "Lokasi Yang Dilindungi" (oleh Mahluk Ghaib / Jin) dengan pusatnya di "Kampung Larangan", "Kampung Dana Warih" dan Kampung Wangen" yang disangga oleh kampung-kampung lain yaiut: Utara "Kampung Babakan, Selatan "Kampung Leuwi Panjang" dan "Kampung Kutangsa". Tandanya adalah: bila pendatang berbuat tidak baik di daerah ini, maka ia hanya bisa pulang setelah tertangkap; dan bila penduduk asli yang berbuat jahat sehingga mencemarkan nama baik penduduk kampung, maka disadari atau tidak ia akan "dijauhkan" atau "menjauh dengan sendirinya". Semoga benar.
Sepatnunggal merupakan jalur strategis karena dilalui jalan utama yang menghubungkan beberapa desa di atasnya (Sadahayu, Sadabumi, Pangadegan dan Cibeunying). Banyak mata air sehingga hampir sepanjang tahun tahun tidak kekurangan air bersih.
Penduduk
[sunting | sunting sumber]Penduduk asli desa Sepatnunggal adalah keturunan Sunda / berbicara Bahasa Sunda, kalau ditarik ke belakang mungkin ada hubungannya dengan Kerajaan Galuh Wiwitan yang wilayahnya terbentang dari Gunung Ungaran di sebelah Timur sampai dengan Sungai Pamanukan di sebelah Barat. Hal mungkin bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan arkelologis berupa "Kuburan / Pasarean Kuno" yang banyak ditemui di desa ini yang nama-namanya mengacu kepada "Nama-nama Orang Sunda Kuno" yang umumnya diawali kata "Mbah" atau "Wangsa" dan diakhiri kata "Kerta / Karta" atau "Witana". Ada sedikit keturunan Jawa sebagai pendatang untuk mencari nafkah atau karena menikah dengan penduduk asli.
Bahasa sehari-hari (Bahasa Ibu) mereka adalah Bahasa Sunda dengan logat agak kasar dan banyak kosakata yang berbeda(dibanding dengan Bahasa Sunda Tasik Malaya atau Garut). Tidak ada yang tahu sejak kapan dan kenapa terjadi perbedaan berbahasa Sunda di daerah ini dengan daerah Kota-kota di Jawa Bagian Barat. Dan perlu diketahui bahwa—mungkin agak aneh—di setiap desa yang sekadar bertetanggapun mempunyai logatnya masing-masing.
Sampai dengan tahun 1970-an masyarakat wilayah ini bisa dibilang sangat terisolasi karena akses menunju ke kota kecamatan (Majenang) sangat sulit (jalan tanah sempit, terjal dan licin bila hujan) yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki hampir selama 3,5 jam. Baru pada tahun 1980-an jalan yang menghubungkan desa Sepatnunggal dengan Kec. Majenang dilebar dan diaspal.
Kebudayaan dan kepercayaan
[sunting | sunting sumber]Dalam segi budaya khususnya di bidang seni musik dan suara lebih banyak megadop budaya Sunda, seperti wayang Golek, Reog Sunda (ngabodor) dan Jaipongan. Tradisi masyarakat dalam berpakaian dan "ritual hajatan" untuk meramaikan/merayakan dalam rangka perkawinan atau "sunatan" masih dilakukan secara "adat Sunda".
Walaupun hampir semuanya mengaku muslim tetapi dalam ritual keagamaan dan adat, masyarakat masih banyak dipengaruhi oleh Budaya Hindu, seperti membuat sesaji dan masih kuatnya paham animistis dan dinamistis. Adalah biasa bagi sebagian mereka bila ziarah kubur melakukan pembakaran kemenyan, membawa sesaji dan menyampaikan suatu permintaan kepada "Ahli Kubur" layaknya minta kepada Tuhan. Dalam peristiwa adat pelaksanaannya masih dipimpin oleh "Kokolot" (Pemangku Adat). Dan untuk Lokasi tertentu yang dikeramatkan selalu ada "Juru Kunci"-nya.
Sebagian besar anak muda sudah mulai meninggalkan upacara-upacara adat, dan berpikir lebih rasional dalam memandang dan memilih yang dianggap sakral.
Ada beberapa musholla (disebutnya "Langgar") tetapi sedikit jama'ahnya untuk berjama'ah "salat lima waktu" dan sampai tahun 1980-an hampir semua penduduk tidak melakukan Rukun Islam, kecuali membaca "Syahadat" (atas tuntunan penghulu nikah) saat akan akan melakukan pernikahan. Setelah tahun 1980an ada da'wah yang dilakukan oleh penduduk asli (yang telah belajar di pesantren) dan ada pula yang dilakukan oleh para pendatang (biasanya guru agama Islam di sekolah dasar), dan sejak itu sebagian penduduk mulai melaksanakan Salat dan Puasa Ramadhan. Di beberapa Musholla—saat ini sudah berstatus Masjid Jami—sudah didirikan Shalat Jum'at. Sejak tahun 2000-an M sebagian besar penduduk sudah menjalankan Rukun Islam, bahkan sudah ada yang melaksanakan Haji.
Perekonomoian
[sunting | sunting sumber]Perekonomian penduduk sebagian besar tergantung kepada hasil pertanian dan perkebunan. Hasil bertandian andalan adalah padi atau bersawah, sedangkan untuk hasil perkebunan andalan adalah perkebunan kayu albi (albasiah) selain itu juga banyak masyarakat yang beternak kambing, ayam dan sapi. Tapi sayang cara beternak belum dikelola secara professional dengan visi yang jelas, masih dilakukan secara otodidak dan biasanya hanya sampingan saja. Tingkat kesejahteraan, sebagian besar penduduk masih dalam katagori miskin (ekonomi lemah) sebagai buruh tani. Hanya sedikit yang tergolong ekonomi mampu / kuat. Ada sidikit yang membuka toko / warung.
Sebagian kecil dari mereka memperoleh penghasilan dari gaji sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Sebagai pegawai negeri, nenjadi Guru dan Tenaga Kesehatan paling banyak diminati. Sebagai pegawai swasta, biasanya mereka menjadi karyawan toko / pabrik di kota-kota besar. Walaupun ada yang bekerja sebagai tenaga profesi (seperti Notaris / Dosen), tetapi jumlahnya hanya hitungan jari.
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]Di antara desa-desa yang berada di pegunungan, desa Sepatnunggal dalam bidang pendidikan adalah yang paling maju. Anak Usia Sekolah desa ini paling banyak melanjutkan ke pendidikan tingkat lanjutan / menengah di banding desa sekitarnya. Desa ini memiliki 2 (dua) sekolah Dasar Negeri, 1 (satu) SMP Negeri 4 Majenang (Letaknya persis bersebelahan dengan kantor kepaladesa Sepatnunggal), sedangkan untuk melanjutkan sekolah ke SMA harus di kota Majenang, atau biasa juga ke kota lain seperti, Banjar, Tasikmalaya, Bandung, Purwokerto, Cilacap, atau bahkan ke Yogyakarta dan Semarang. Dari desa ini (sejak tahun 1980an) sudah ada yang meneruskan pendidikan di perguruan tinggi, bahkan ada yang sampai jenjang S2 dan sejak tahun 2000-an sudah ada yang menyelesaikan pendidikan S3 di Jepang.
Tokoh-tokoh Desa
[sunting | sunting sumber]Yang dimaksud "tokoh desa" di sini adalah warga desa Sepatnunggal yang berpengaruh terhadap masyarakat desanya (tidak termasuk mereka yang berpengaruh di luar desa Sepatnunggal, walau mereka berasal dari Sepatnunggal). Dalam hal apa berpengaruhnya, tentunya setiap tokoh berpengaruh dalam hal yang bereda-beda. Bisa disebutkan antara lain:
- Kepala Desa, namun di sini hanya dari genera terakhir. Mereka itu antara lain: Sastro Suharyo (.... sd. 1986), Cartam Sumanto (1986 sd. 2002), Syahrudin Cahyanto (2002 sd. 2010), Rahmat Suseno (2010 sd. sekarang).
- Tokoh bidang pendidikan: Wara Sudarma, Suaeb, Raskim, Sakid Nurudin, Tarsono, Kamsir, Anto Sudarno, Tarim, Tasuki.
- Tokoh bidang Agama: Kyai Muhammad Dasto, Kyai Muhammad Ihsan, Warto Joko Budiono.
- Tokoh bidang beladiri: Hartono, Sudiyarto, Suwaryo.
- Tokoh bidang pertanian/peternakan: Sukarto (perikanan), Sutardjo (pertanian), Sukandi (pertanian), Wara (perikanan), Juheri (pertanian).
- Tokoh bidang perdagangan: Suharma, H. Notoprayitno, Hj. Daminah, Rustam Efendi, Cita, Sigit, Didi.