Serangan disinformasi
Serangan disinformasi (Inggris: Disinformation attact) adalah sebuah strategi penipuan melibatkan manipulasi media dan manipulasi internet dalam menyebarkan informasi palsu yang bertujuan untuk membingungkan, dan mempolarisasi masyarakat.[1][2]
Sangat penting adanya sebuah tindakan yang dapat mencegah tersebarnya sebuah disinformasi. Secara umum, program pendidikan sedang dikembangkan guna mengajari masyarakat agar dapat membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang palsu. Mesin teknologi di platform digital yang dapat menandai disinformasi juga diperlukan untuk menghentikan disinformasi.[3]
Arti
[sunting | sunting sumber]Disinformasi dapat diartikan sebagai informasi salah yang sengaja dibuat agar mengelabui orang yang menerima informasi tersebut. Penyebar atau pembuat informasi itu mengetahui bahwa itu adalah salah, akan tetapi sengaja menyebarkannya untuk memengaruhi opini publik serta mendapatkan keuntungan dari hal tersebut. Penyebaran disinformasi biasanya terkait tiga hal yakni data palsu, foto palsu dan video palsu.[4] Serangan disinformasi berarti penyebaran sebuah informasi palsu terhadap target tertentu.
Target
[sunting | sunting sumber]Pihak-pihak yang menjadi target dan sering mendapat serangan disinformasi yakni pemerintah, perusahaan, jurnalis, ilmuwan, aktivis, dan pihak swasta lainnya.[5] Berdasarkan data Komisi Eropa pada tahun 2018, serangan disinformasi dapat mengancam nilai-nilai demokrasi dan dapat mengurangi ligitimasi suatu proses pemilihan, terkhusus pada saat pemilu diadakan di suatu negara.[6]
Alat-alat digital seperti bot, algoritma, teknologi AI, dapat dijadikan oleh para influencer sebagai media dalam menyebar disinformasi diberbagai media sosial yang banyak digunakan pengguna internet seperti Twitter, Instagram, Facebook, Google, YouTube, dan lainnya.[7]
Penyebab tersebarnya disinformasi
[sunting | sunting sumber]Tom Buchanan, seorang akademisi dari Universitas Westminster di London, Inggris, melakukan riset terkait mengapa disinformasi dapat menyebar. Tom melakukan riset terhadap 2.634 orang yang kebanyakan berada di Inggris, dan 638 orang diantaranya berada di Amerika Serikat. Dalam studi tersebut, ia menemukan alasan utama peluang disinformasi dapat tersebar, yang hasil risetnya ia tulis dalam buku berjudul Why Do People Spread False Information Online?, diterbitkan pada September 2020. Menurut Tom, ada dua aspek utama yang menyebabkan disinfromasi tersebar, yakni karakter pesan dan kondisi pengguna.[8]
Karakter pesan
[sunting | sunting sumber]Pola penyebaran pesan disinformasi yakni konsisten, adanya kesepakatan, dan sebuah otoritas. Karakter pesan yang disampaikan secara konsisten dan terus menerus, dapat membuat seseorang percaya pada informasi yang salah. Sebelum menerima pesan itu, seseorang bisa mengetahui bahwa itu adalah informasi palsu, dan jika diterima terus menerus, perlahan akan dianggap sebagai kebenaran.[8] Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels, mengatakan jika kebohongan besar disampaikan terus menerus, orang akan percaya pada hal tersebut.[8]
Konten yang mendapat banyak "suka" atau juga retweet dapat menarik minat seseorang, padahal indikator partisipasi dapat dipalsukan. Aspek kesepakatan ini menjadi pola kerja disinformasi. Sebuah disinformasi dapat dipercaya, ketika disampaikan oleh seorang influencer atau sebuah lembaga yang kredibel. Pengaruh sebuah otoritas adalah pola penyebaran disinformasi.[8]
Kondisi pengguna
[sunting | sunting sumber]Latar belakang keyakinan atau agama dan afiliasi politik seseorang, dapat menjadi penyebab terpengaruh disinformasi.[8] Dalam proses Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019, dapat menjadi pelajaran dalam konteks masyarakat Indonesia. Banyak tersebar berita hoax terkait kandidat antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Masyarakat Indonesia terpecah belah karena pandangan politik, yang disertai tersebarnya informasi-informasi yang tidak benar.[8] Selain latar belakang agama dan pandangan politik, sifat spontan dan sifat kemalasan juga dapat menjadi penyebab. Banyak pengguna internet menyerap informasi hanya dengan melihat judul, dan kalimat awal saja, tanpa membaca keseluruhan konten yang dilihat.[8]
Tindakan pencegahan
[sunting | sunting sumber]Pew Research Center dalam penelitiannya menemukan bahwa 50% penduduk Amerika Serikat berpendapat bahwa disinformasi yang berisi berita palsu lebih berbahaya jika dibandingkan dengan persoalan imigran ilegal, terorisme, dan tindakan kekerasan. Tentu ada daya dan upaya yang dilakukan masyarakat agar dapat terhindar dari disinformasi.[9]
Jessica Brandt, seorang direktur kebijakan di Brooking Institution berpendapat bahwa masyarakat dapat terlibat dalam organisasi "fact check" atau periksa fakta. Organisasi ini melakukan kampanye literasi media melalui penyuluhan dan memberi pemahaman kepada masyarakat bagaimana cara kerja media sosial. Jessica mengatakan bahwa kegiatan melalui organisai ini dapat membantu masyarakat terhindar dari informasi yang tidak benar.[9]
Di Indonesia, seorang staf dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) bernama Adi Syafitrah telah terlibat dalam kegiatan periksa fakta. Sejak 2019, ia telah melakukan 1.400 pemeriksaan tentang kebenaran sebuah informasi, video, foto, dan narasi palsu di media sosial. Adi menggunakan alat-alat yang tersedia di internet untuk dapat meneliti kebenaran sebuah informasi. Setelah kebenaran informasi ditemukan, MAFINDO akan menyampaikannya ke masyarakat berupa artikel. Melakukan pengecekan sendiri dengan memeriksa fakta sebuah informasi di media sosial, adalah cara yang paling tepat untuk bisa terhindar dari disinformasi.[9]
Menurut Tom Buchanan
[sunting | sunting sumber]Cara yang bisa dilakukan untuk mencegah disinformasi tersebar menurut Tom Buchanan yakni dengan membuat konten dan informasi yang formatnya menyerupai informasi palsu. Kuantitas konten bermutu harus dapat mengungguli konten disinformasi. Hal ini dilakukan agar konten yang tersaji ke masyarakat didominasi oleh konten yang benar dan positif. Tom juga berpendapat agar masyarakat tidak menggunakan jasa "suka" demi popularitas. Pemerintah, tokoh publik, media massa, serta lembaga-lembaga penyiaran dan berita, seharusnya fokus pada isu-isu spesifik.[8]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Bennett, W Lance; Livingston, Steven (April 2018). "The disinformation order: Disruptive communication and the decline of democratic institutions". European Journal of Communication (dalam bahasa Inggris). 33 (2): 122–139. doi:10.1177/0267323118760317. ISSN 0267-3231. Diakses tanggal 9 Desember 2024.
- ^ Fallis, Don (2015). "What Is Disinformation?". Library Trends (dalam bahasa Inggris). 63 (3): 401–426. doi:10.1353/lib.2015.0014. hdl:2142/89818 . ISSN 1559-0682. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ "Jenis-Jenis Serangan Siber di Era Digital". bpptik.kominfo.go.id. Diakses tanggal 16 Desember 2024.
- ^ "Mengenal Istilah Disinformasi, Misinformasi dan Malinformasi? Ini Perbedaannya". www.liputan6.com. Diakses tanggal 11 Desember 2024.
- ^ "Disinformation attacks have arrived in the corporate sector. Are you ready?". PwC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ "Communication - Tackling online disinformation: a European approach". European Commission (dalam bahasa Inggris). 2018-04-26. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ Katyal, Sonia K. (2019). "Artificial Intelligence, Advertising, and Disinformation". Advertising & Society Quarterly (dalam bahasa Inggris). 20 (4). doi:10.1353/asr.2019.0026. ISSN 2475-1790. Diakses tanggal 10 Desember 2024.
- ^ a b c d e f g h Krisdamarjati, Yohanes Advent (21 Oktober 2020). "Mengapa Disinfromasi Mudah Tersebar". www.kompas.id. Diakses tanggal 16 Desember 2024.
- ^ a b c Manna, Jimmy (23 Mei 2023). "Disinformasi, Bagaimana Cara Menanggulanginya?". www.voaindonesia.com. Diakses tanggal 11 Desember 2024.