Soedarsono (politikus)
Soedarsono | |
---|---|
Bupati Jombang 7 | |
Masa jabatan 1958 – 1962 | |
Presiden | Soekarno |
Gubernur | R. T. A. Milono R. Soewondo Ranoewidjojo |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sambirembe, Karangrejo, Magetan, Hindia Belanda | 24 September 1921
Meninggal | 6 Mei 1997 RS dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur | (umur 75)
Makam | TPU Pulo Sampurno, Jombang |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Golongan Karya |
Suami/istri | My. Roro Oentari |
Anak | 1. Endang Sri Undarti 2. Edi Raharjo 3. Endang Sri 4. Ernawati 5. Endang Sri Ruliati. |
Almamater | HIS Magetan, MULO Malang |
Profesi | Birokrat, Politikus |
Sunting kotak info • L • B |
R. Soedarsono (EYD: Sudarsono; 24 September 1921 – 6 Mei 1997) adalah Bupati Jombang yang menjabat pada periode 1958-1962.
Kehidupan awal
[sunting | sunting sumber]Soedarsono lahir di Karangrejo, 24 September 1921, tepatnya di Desa Sambirembe. Ayahnya bernama Abdullah Martodirjo, seorang Kepala Desa yang berpengaruh kala itu. Soedarsono terlahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Lazimnya seorang Kepala Desa, ayah Soedarsono mempunyai sawah yang cukup luas, dan punya banyak hewan ternak.
Meski anak dari keluarga berpangkat, masa kecil Soedarsono tidak jauh beda dengan anak desa pada umumnya. Berkecipak dengan lumpur di sawah, bermain petak umpet, hingga mandi di sungai. Tidak jarang, Soedarsono kecil juga ikut menggembalakan kerbau di sawah sembari bermain jerami. Kakeknya bernama K.H. M. Tauhid, seorang ulama desa setempat. Dari kakeknya itulah ia mempelajari banyak ilmu agama, mulai dari salat hingga mengaji. Berdasarkan keterangan dari keluarganya, jika ditarik garis ke atas, K.H. M. Tauhid masih ada keturunan dari seorang pejuang yang juga sahabat dari Pangeran Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah Prawirodirjo.
Riwayat pendidikan
[sunting | sunting sumber]Pada Zaman penjajahan Belanda tidak sembarang orang bisa mengenyam pendidikan. Namun tidak begitu dengan Soedarsono yang notabene anak seorang Kepala Desa. Ia memulai pendidikannya di HIS (sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School) Magetan dan lulus pada tahun 1938. Setelah itu ia melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau kini SMP). Saat bersekolah di MULO, Soedarsono harus meninggalkan kampung halamannya. Karena sekolah setingkat SMP itu berada di kota Malang. Di sekolah itu ia menuntut ilmu selama tiga tahun, dan pada tahun 1941 ia dinyatakan lulus. Soedarsono muda tak pernah lelah mencari ilmu. Selepas dari MULO ia melanjutkan pendidikannya di Kweekschool (sekolah pendidikan guru pada zaman Belanda) di Malang.
Karier sebagai pendidik dan kaum terpelajar
[sunting | sunting sumber]Tepat tahun 1941, Soedarsono tamat dari Kweekschool. Selanjutnya, ia mengabdikan diri sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) VI Caruban, Madiun. Ia memulai kariernya menjadi guru terhitung mulai 1 September 1942. Namun sekitar satu tahun kemudian, atau tepatnya 30 Maret 1943, ia pindah menjadi juru bahasa di Kediri, di Syu Gyugun Dai I Daidan (tentara sukarela bentukan Jepang).
Karier militer
[sunting | sunting sumber]Beberapa bulan kemudian, atau tepatnya 3 Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Bersama para pemuda seusianya, Soedarsono ikut mendaftarkan diri dalam wadah tersebut. Layaknya seorang militer, ia dilatih teknik memegang senjata hingga cara menembak oleh Jepang. Namun sekitar pertengahan Agutus 1945, Ia ditangkap Jepang dengan tuduhan terlibat pemberontakan PETA Blitar yang dipimpin Supriyadi pada 14 Februari 1945. Selanjutnya, ia bersama anggota PETA lainnya dibawa ke Cirebon. Rencananya, dalam rentang 1 hingga 15 Agustus 1945, para tawanan ini hendak dihukum mati. Namun takdir berbicara lain. Belum sempat eksekusi dilakukan, peta politik Perang Dunia II berubah. Tepat 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kondisi itu berakibat dibebaskannya para tawanan Jepang, termasuk Soedarsono.
Usai proklamasi dikumadangkan pada 1945, eks tentara PETA dimasukkan dalam wadah BKR (Badan Keamanan Rakyat). Begitu pula dengan Soedarsono, yang notabene pernah mendapatkan pendidikan militer PETA. Ia lalu menggabungkan diri di BKR Tulungagung.
Pada Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947, ia kembali memanggul senjata. Soedarsono ikut bergerilya dengan pejuang lainnya guna menghalau Belanda yang ingin menguasai RI kembali. Begitu pula saat Belanda melakukan agresi militer II, 19 Desember 1948. Puncaknya, bersama CMKT (Comando Militer Kabupaten Tulungagung) yang dipimpin Mayor Sastroatmodjo, ia berhasil merebut kembali Tulungagung dari tangan Belanda.
Karier Birokrat
[sunting | sunting sumber]Ia bergabung BKR Tulungagung hanya sekitar satu tahun. Karena pada 11 November 1946, ia dipercaya menjabat sebagai Kabag Umum (Kepala Bagian Umum) Jawatan Penerangan (Japen) Kabupaten Tulungagung. Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai pemimpin sementara Japen Kabupaten Tulungagung. Hal itu sesuai surat penetapan yang ditanda tangani Pemimpin Umum Jawatan Penerangan Karesidenan Kediri, Hardjosoemarmo. Dalam surat tertanggal 20 Oktober 1949 tersebut diterangkan, pengangkatan Soedarsono itu bersifat sementara. Alasannya, pemimpin sebelumya, Koeswo, mundur dari jabatan pemimpin.
Usai Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949, sebagai Kepala Japen ia mendapat tugas menghadiri konferensi Dinas Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta. Konferensi itu dihadiri oleh Kepala Japen Provinsi/Kabupaten dan Kepala studio radio (RRI) se-Jawa. Dalam forum itu, Prof. DR Soepomo, salah satu delegasi RI dalam KMB, memberikan penjelasan hasil konferensi yang baru saja digelar di Den Haag, Belanda tersebut. Harapannya, hasil perundingan itu disosialisasikan di masing-masing daerah.
Karier Soedarsono terus bergulir. Tanggal 1 Februari 1950, ia dipindah dari Tulungagung dan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang. Kepercayaan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang itu diemban Soedarsono selama delapan tahun. Yakni, mulai 1 Februari 1950 hingga 21 Maret 1958. Hingga ia menjadi bupati pada periode 1958-1962. Setelah tidak lagi menjadi bupati, ia menjabat beberapa pos strategis di Pemkab, semisal menjabat sebagai Wedana, dan Patih (setingkat Sekretaris Daerah) pada tahun 1971. Setelah itu ia dipindahkan lagi pada 1 Oktober 1971, mantan bupati ini pindah tugas lagi. Oleh pemerintah pusat ia diberi kepercayaan menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Mojokerto. Posisi itu ia pegang hingga masa pensiun, yakni tahun 1977.
Menjadi Bupati
[sunting | sunting sumber]Meski sejak kecil tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang bupati, tetapi garis hidup berbicara lain. Soedarsono mencapai puncak kariernya pada 22 Maret 1958. Ia diangkat menjadi Bupati Jombang yang ke tujuh, menggantikan bupati sebelumnya, M. Soebijakto. Hal itu ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, Sanusi Hardjadinata. Dalam surat keputusan itu dijelaskan, sesuai dengan rapat yang digelar oleh DPRD Jombang tanggal 1 Maret 1958, mereka menyetujui Soedarsono menjadi Kepala Daerah (Bupati) Tingkat II Jombang. Seminggu kemudian, hasil rapat DPRD itu dikirim ke Menteri Dalam Negeri untuk dimintakan pengesahan. Gayung pun bersambut. Menteri Dalam Negeri tidak keberatan atas usulan itu. Selanjutnya, pada 22 Maret 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri yang intinya mengesahkan Soedarsono menjadi bupati.
Saat menjabat sebagai bupati, karakter sederhana, disiplin, dan tegas, merupakan sesuatu yang lekat dengannya. Bukan hanya itu, untuk menambah wawasan, bupati ke tujuh ini selalu rajin membaca buku serta surat kabar. Buku koleksinya yang hingga kini masih terawat misalnya, karya besar mantan Presiden Soekarno yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi (DBR). Kebiasaan yang lain yang tidak pernah lepas dari Soedarsono adalan sarapan berita. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor kabupaten, ia selalu menyempatkan diri membaca koran. Jika ada sesuatu yang dianggap penting, maka ia akan mengambil gunting. Berita tersebut dipotong kemudian dikliping. Menjaga kesehatan, berolahraga, hidup bersih, juga merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dalam diri bapak empat anak ini. Maka tidak heran, saat pagi buta ia sudah bersih-bersih rumah. Selanjutnya, ia mengeluarkan sepeda kumbang miliknya. Dengan sepeda itulah ia berkeliling kota. Selain berolahraga, hal tersebut dilakukan untuk memantau perkembangan masyarakat. Kegiatan berolahraga itu semakin padat jika memasuki hari Kamis dan Minggu. Wajar saja, bupati ke tujuh ini menyenangi olahraga tenis. Bupati Soedarsono meyakini, selain untuk menjaga kesehatan, hal-hal yang bersifat informal semisal olahraga, merupakan salah satu media untuk membangun komunikasi dengan jajaran di bawahnya. Dengan tenis itu pula hubungan emosi antara atasan dan bawahan bisa lebih terjaga. Jabatan Soedarsono berakhir pada 5 Januari 1962.
Karier politik dan organisasi
[sunting | sunting sumber]Usai pensiun, pemikiran Soedarsono masih banyak dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya, ia menjabat sebagai Sekretaris DPD II Golkar Kabupaten Mojokerto. Pemilu pertama Orde Baru pun digelar pada tahun itu. Walhasil, Soedarsono terpilih menjadi wakil rakyat dan masuk dalam FKP (Fraksi Karya Pembangunan). Jabatan itu sesuai dengan SK (Surat Keputusan) Gubernur Jawa Timur, Soenandar Prijosoedarmo, tertanggal 4 Juli 1977. Dalam surat dengan Nomor: PM 012.4/40/1977/SK itu dijelaskan bahwasannya Soedarsono ditetapkan menjadi anggota DPRD Kabupaten Mojokerto bersama 39 anggota dewan lainnya.
Meski bertugas di Mojokerto, tetapi ia masih tetap pulang ke rumahnya di Jalan WR. Supratman Jombang. Secara otomatis, selama lima tahun menjabat sebagai wakil rakyat, Soedarsono harus bolak-balik dari Jombang ke Mojokerto. Karena kesederhanaan itu pula, ia lebih memilih naik bus saat berangkat dinas. Jabatan terakhir yang disandangnya adalah Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) cabang Kabupaten Jombang. Amanah itu dilakoninya pada tahun 1986. Selain menjabat Ketua LVRI, ia juga aktif di DPD Golkar Jombang dengan posisi sekretaris. Sedangkan di bidang keagamaan, mantan Bupati Jombang ini aktif sebagai takmir Masjid Al Ikhlas yang ada di Jalan WR Supratman. Di Masjid itu juga ia kerap memberikan ceramah-ceramah keagamaan.
Keluarga
[sunting | sunting sumber]Pada masa ia menjadi bekerja di Jawatan Penerangan Tulungagung, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi anak salah seorang pejabat di Tulungagung bernama Roro Oentari. Pada saat Soedarsono dipindahtugaskan dari Tulungagung ke Jombang, ia bersama istrinya tinggal sebuah rumah kontrakan di Jalan Setya Budi. Di rumah itu pula mereka membesarkan ke empat anaknya. Kemudian pindah ke rumah pribadi di Jalan WR Supratman.
Pernikahan ini dikaruniai 4 anak yakni:
- Endang Sri Undarti
- Edi Raharjo
- Endang Sri
- Ernawati
- Endang Sri Ruliati.
Selain itu, dari 4 anak ini, Soedarsono dan istrinya dikaruniai 9 cucu.
Kematian
[sunting | sunting sumber]Di hari Selasa, 6 Mei 1997 bapak empat anak ini dipanggil menghadap Ilahi. Bupati ke tujuh ini meninggal di usia yang ke 76 tahun di Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya. Kabupaten Jombang pun berduka. Padahal sebelumnya, ia masih memberikan ceramah di Masjid Al Ikhlas sehari sebelumnya. Di tengah-tengah ceramah, Soedarsono pingsan. Oleh para jamaah yang hadir ia dilarikan ke RSUD Jombang. Karena kondisinya yang terus memburuk, selanjutnya dirujuk ke Surabaya dan di sana lah ia meninggal. Soedarsono dimakamkan di TPU Pulo Sampurno Jombang. Seluruh kerabat, pejabat, mantan bupati, serta masyarakat umum ikut melepaskan kepergiannya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]Didahului oleh: M. Soebijakto |
Bupati Jombang 1958 - 1962 |
Diteruskan oleh: Hassan Wirjokoesoemo |