Lompat ke isi

Allah (Islam)

Halaman yang dilindungi semi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tuhan dalam Islam)

Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah (bahasa Arab: الله) dan diyakini sebagai Dzat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.[1][2]

Islam menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).[3] Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa.[4] Menurut Al-Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda.[5][6] Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.[7] Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).[5][6]

Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.[8] Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).[2]

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”[8]

Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi.[9][10] Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh kalangan kedua agama tersebut.

Etimologi

Beberapa teori mencoba menganalisis etimologi dari kata "Allah". Salah satunya mengatakan bahwa kata Allāh (الله) berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ʾilāh (tuhan) sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori ini menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab. Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A'la al-Maududi dalam Mushthalahatul Arba'ah fil Qur'an (h. 13) dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad dalam al-Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah (h. 54).

Kedua penulis tersebut bukannya menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai bentuk ma'rifat dari ilah. Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.[11]

Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā.[12] Cendekiawan muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi "God" dalam bahasa Inggris. Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah tidak untuk diterjemahkan, dengan berargumen bahwa kata tersebut khusus dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki bentuk jamak dan gender (berbeda dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminin Goddess dalam bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya penerjemahan Al-Qur'an.

Penyebutan

Penyebutan nama Allah merupakan sunnah yang ditetapkan bagi setiap aktivitas yang dilakukan oleh muslim. Ayat pertama dalam Surah Al-Fatihah yang diawali dengan basmalah sebagai frasanya menjadi contoh yang jelas ajaran sunnah ini di dalam Al-Qur'an. Muslim dilarang memulai segala sesuatu kegiatan dengan nama selain Allah termasuk nama penguasa maupun pembesar suatu negeri dan singgasananya.[13]

Sunnah untuk menyebut nama Allah dalam mengawali sesuatu telah dimulai sejak pewahyuan ayat Al-Qur'an yang pertama yaitu Surah Al-Alaq ayat 1 kepada Nabi Muhammad. Pada ayat ini, Allah memerintahkan manusia untuk membaca sesuatu dengan disertai nama-Nya sebagai Tuhan. Sunnah untuk menyebut nama Allah juga disebutkan dalam Al-Qur'an dalam kisah Nabi Nuh yang berlayar dengan perahu dalam Surah Hud ayat 41. Kemudian dikisahkan pula dalam Surah An-Naml ayat 30-31 mengenai surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba yang dimulai dengan basmalah.[13]

Unsur penyusun untuk ligatur istilah ketuhanan "Allah":
1. alif
2. hamzah waṣl (همزة وصل)
3. lām
4. lām
5. syaddah (شدة)
6. alif khanjariyah (ألف خنجرية)
7. hāʾ

Tipografi

Istilah ketuhanan Allāh dalam abjad Arabnya selalu ditulis tanpa alif khanjariah untuk mengucapkan vokal panjang ā. Ini disebabkan karena ejaan Arab masa lalu tanpa dibubuhi alif khanjariah untuk mengeja ā. Akan tetapi, untuk diucapkan secara vokal panjang, alif khanjariah selalu ditambahkan di atas tanda tasydid untuk menegaskan ejaan tersebut.

Wujud dan keberadaan

Para salafush sholeh atau tiga generasi Muslim awal meyakini bahwa Allah memiliki wajah,[14] mata,[15] tangan,[16][17] jari,[18] dan kaki,[19] hanya saja hal-hal tersebut sangatlah berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya.[15]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil al-kitab, as-sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Ia menyebutkan ayat ke-27 dalam surah Ar-Rahman.[20] Ia menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari al-kitab dan as-sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum Mu'tazilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat.

Kemudian mereka meyakini pula Allah berada di atas 'Arsy,[21] letak 'Arsy ada di atas air,[22][23] dan tidak ada satu pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya.[15] Dijelaskan dalam sebuah hadits, telah dijelaskan bahwa Allah diliputi oleh cahaya yang sangat terang.[24][25]

Keagungan dan kebesaran sifat-sifat-Nya jelas terlampau agung untuk bisa ditembus oleh akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Karena itu ada riwayat hadits yang melarang untuk memikirkan Allah, mengingat semua akal dan pikiran pasti tidak akan mampu menjangkaunya.[26] Berpikir yang diperintahkan di sini, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim, adalah yang bisa menimbulkan dua pengetahuan dalam hati dan berkembang daripadanya pengetahuan ketiga.[27] Hal itu menjadi jelas dengan contoh sebagai berikut. Apabila hati seorang muslim dapat merasakan akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi, tahta kursi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian timbul dalam hatinya rasa ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu, maka akan muncul pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan Tuhan yang menciptakan jenis makhluk-makhluk tersebut yang tidak mungkin dapat diliput serta dicerna oleh akal pikiran.

Frasa yang mengandung kata Allah

Kaligrafi Allah dibuat dengan menggunakan perangkat lunak digital.

Contoh kata-kata yang menggunakan kata Allah:

Konsep

Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar Al-Quran dan hadis secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.

Al-Quran dan Hadits

Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama Al-Quran (Al-'Alaq 96:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk di antaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya Al-Quran adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam Al-Quran merupakan "penuturan Allah tentang diri-Nya."[28]

Selain itu menurut Al-Quran sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan.[29] Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Quran menegaskan ini dalam surah Az-Zumar 39:8 dan surah Luqman 31:32.

Allah Maha Esa

Keesaan Allah atau Tauīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (id). Al-Qur'an menegaskan keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan.[30] Menurut Al-Quran:[30]

...dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. (al-An'am 6:133)

Menurut Vincent J. Cornell, Al-Quran juga memberikan citra monis Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada: "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadid 57:3)"[30] Sebagian Muslim walau begitu, mengkritik intepretasi yang mengacu pada pandangan monis atas Tuhan sebagai pengkaburan antara Pencipta dan dicipta, dan ketidakcocokannya dengan monoteisme redikal Islam.[31]

Ketidakmampuan Tuhan mengimplikasikan ketidakmahakuasaan Tuhan dalam mengatur konsepsi universal sebagai keuniversalan moral yang logis dan sepantasnya daripada eksistensial dan kerusakan moral (seperti dalam politeisme). Dalam hal serupa, Al-Quran menolak bentuk pemikiran ganda sebagai gagasan dualitas atas Tuhan dengan menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diturunkan dari perilaku Tuhan dan bahwa kejahatan menyebabkan tidak adanya daya untuk menciptakan. Tuhan dalam Islam sifatnya universal daripada tuhan lokal, kesukuan, atau paroki; zat mutlak yang mengajarkan nilai kebaikan dan melarang kejahatan.[32]

Tauhid merupakan pokok bahasan Muslim.[12] Menyamakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya adalah satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni seperti yang disebutkan dalam Al-Quran.[32] Umat Muslim percaya bahwa keseluruhan ajaran Islam bersandar pada prinsip Tauhid,[33] yaitu percaya "Allah itu Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya." Bahkan tauhid merupakan kosep teoretis yang harus dilaksanakan karena merupakan syarat mutlak setiap Muslim.[28]

Sifat Tuhan

Al-Qur'an merujuk sifat Tuhan ada pada asma'ul husna (lihat QS. Al-A'raf 7:180, Al-Isra' 17:110, Ta Ha [20]:8, Al-Hasyr 59:24). Menurut Gerhard Böwering, "Nama-nama tersebut menurut tradisi dijumlahkan 99 sebagai nama tertinggi (al-ism al-aʿẓam), nama tertinggi Tuhan, Allāh. Perintah untuk menyeru nama-nama Tuhan dalam sastra tafsir Qurʾān ada dalam Surah Al-Isra' ayat 110, "Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma'ul husna (nama-nama yang terbaik)," dan juga Surah Al-Hasyr ayat 22-24, yang mencakup lebih dari selusin nama Tuhan."[34]

Sesungguhnya sifat-sifat Allah yang mulia tidak terbatas/terhingga. Di antaranya juga tercantum dalam Asma'ul Husna. Sebagian ulama merumuskan 20 Sifat Allah yang wajib dan mustahil bagi Allah yang dipahami dan diimani oleh umat Islam, di antaranya adalah:

1. Wujud (ada) dan mustahil Allah itu tidak ada ('adam).

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

— (Al A'raf 7:54)

2. Qidam (terdahulu) dan mustahil Allah itu huduts (baru).

Dialah Yang Awal…

— (Al Hadid 57:3)

3. Baqo’ (kekal) dan mustahil Allah itu fana’ (binasa/hilang). Allah sebagai Tuhan Semesta Alam akan hidup terus menerus. Kekal abadi mengurus makhluk ciptaan-Nya. Jika Tuhan itu fana’ atau mati, bagaimana nasib ciptaan-Nya seperti manusia?

...dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati…

— (Al Furqan 25:58)

4. Mukhollafatuhu lil hawaadits (tidak serupa dengan makhluk-Nya) dan mustahil Allah itu sama dengan makhluk-Nya (mumaatsalaatuhu lil hawaadits).

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…

— (Asy-Syura 42:11)

5. Qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan sendirinya) dan mustahil Allah itu qiyamuhu bi ghairihi (berdiri-Nya dengan yang lain).

…Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.

— (Al ‘Ankabut 29:6)

6. Wahdaaniyah (esa atau satu) dan mustahil Allah itu banyak (ta’addud) misalnya 2, 3, 4, dan seterusnya. Allah itu Maha Kuasa.

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.

— (Al Mu’minun 23:91)

Katakanlah, "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

— (Al Ikhlas 112:1-4)

7. Qudrah (Maha Kuasa) dan mustahil Allah itu ‘ajaz (lemah). Jikalau Allah itu lemah, tentu saja makhluk ciptaan-Nya dapat mengalahkan-Nya.

Jika Dia kehendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk baru (untuk menggantikan kamu), dan yang demikian tidak sulit bagi Allah.

— (Fathir 35:16-17)

8. Iradah (Berkehendak) dan karahah (terpaksa)

9. Ilmu (Maha Mengetahui) dan mustahil Allah itu jahal (bodoh). Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, karena Dialah yang menciptakan-Nya.

…dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya…

— (Al An'am 6:59)

10. Hayat (Hidup) dan mustahil Allah itu maut (mati). Hidupnya Allah tidak seperti hidupnya manusia. Manusia dihidupkan oleh Allah yang kemudian akan mati, sedangkan Allah tidak akan mati. Ia akan hidup terus selama-lamanya.

...dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati…

— (Al Furqan 25:58)

11. Sama’ (Mendengar) dan mustahil Allah bersifat shumam (tuli).

…Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

— (Al Baqarah 2:256)

12. Bashar (Melihat) dan mustahil Allah mustahil bersifat ‘amaa (buta).

Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

— (Al Hujurat 49:18)

13. Kalam (Berkata-kata/berfirman) dan mustahil bukmon

14. Qadirun (Maha Kuasa) dan mustahil'ajizun (lemah)

15. Muridun (Maha Berkehendak) dan mustahil karihun (terpaksa)

16. ‘Alimun (Maha Mengetahui) dan mustahiljahilun (bodoh)

17. Hayyun (Maha Hidup) dan mustahilmaiyiton (yang mati)

18. Sami’un (Maha Mendengar) dan mustahilashamma (tuli)

19. Basirun (Maha Melihat) dan mustahila’ma (buta)

20. Mutakallimun (Maha Berkata-kata) dan mustahilabkam (bisu)

Allah Maha Tahu

Al-Quran menjelaskan Allah Maha Tahu atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk hal pribadi dan perasaan, dan menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat sembunyi dari-Nya:

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Yunus 10:61)

Sufisme

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai mendistorsi Al-Quran. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari rasionalitas hingga agnostisisme, panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.[28]

Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif di antaranya adalah Hulul, Ittihad, dan Wahdatul Wujud.[28]

Hulul

Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.

Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.

Mansur al-Hallaj menggunakan ayat Al-Quran semisal surah Al-Baqarah ayat 34 untuk menjelaskan pahamnya. Dalam ayat itu berbunyi, "Sujudlah wahai para malaikat kepada Adam...". Al-Hallaj menjelaskan bahwa mengapa Allah memerintahkan bersujud kepada Adam padahal seharusnya hanya bersujud kepada Allah dikarenakan saat itu Allah telah mengambil tempat dalam diri Adam sehingga Adam memiliki kemuliaan Allah. Al-Hallaj juga menyebutkan hadits yang mendukung pendapatnya, seperti, "Sesungguh-Nya Allah menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya," dan juga menurutnya hulul pernah terjadi pada diri Isa, di mana Allah mengambil tempat pada dirinya.[28]

Ittihad

Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadaran ilahi".

Berbeda dengan Hulul, jika dalam Hulul "Tuhan turun dan melebur dalam diri manusia", maka dalam Ittihad manusia-lah yang naik dan melebur dalam diri Tuhan.[28]

Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi. Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku." Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan penampakan lahir Tuhan.[28]

Menurut paham ini, Tuhan dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya. Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah.[28]

Perbandingan konsep Tuhan antaragama

Beberapa sarjana barat menyatakan bahwa Muhammad juga menggunakan istilah Allah dalam berkomunikasi dengan pagan Arab dan Yahudi atau Nasrani untuk menegakkan dasar umum dalam memahami nama Tuhan, sebuah klaim Gerhard Böwering menyatakan keraguan.[34]

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Arab pra-Islam

Ketika membandingkan politeisme Arab pra-Islam, Tuhan dalam Islam tidak memiliki teman dan sekutu maupun pertalian antara Tuhan dengan Jin.[34] Arab pagan pra-Islam bermula dengan adanya berhala yang dibawa ke tanah Arab oleh 'Amr bin Luhay. Mereka lalu mencampur-adukkan antara monoteisme yang dibawa Ibrahim dan paganisme. Mereka percaya takdir yang kabur, kuat, dan tidak dapat ditawar-tawar melebihi apa yang manusia tidak dapat kendalikan. Paham ini diganti dengan gagasan Islam Tuhan Yang Maha Pemurah namun Maha Kuasa.[35]

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Yahudi

Menurut Francis Edwards Peters, "Al-Quran menuntut Muslim untuk beriman, dan sejarawan menyetujui bahwa Muhammad dan pengikutnya menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan Yahudi.[9] Allah Al-Quran adalah Tuhan Pencipta yang sama yang mengadakan perjanjian dengan Ibrahim. Peters menyatakan bahwa Al-Quran menggambarkan Allah lebih kuat dan luas daripada Yahweh, dan sebagai Tuhan alam semesta, tidak seperti Yahweh yang hanya lebih dekat pada orang-orang Israel.[10] Menurut Encyclopedia Britannica (lihat juga bagian di bawah untuk perbandingan kasih Tuhan dalam Islam dan Kristen).[4]:

Tuhan, dikatakan dalam Al-Quran, “mencintai yang berbuat baik,” dan dua bagian dalam Al-Quran mengekspresikan sebuah kasih yang saling mengerti antara Tuhan dan manusia, namun Yudeo-Kristen mengajarkan “cintai Tuhan dengan segenap hatimu” tidak dirumuskan dalam Islam. Tekanan ini lebih pada kebebasan kehendak Tuhan, sehingga setiap orang harus berserah diri. Yang paling utama, “menyerahkan diri kepada Allah” (Islam) merupakan agama itu sendiri.

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Kristen

Islam dengan tegas menolak kepercayaan Kristen bahwa Tuhan itu tiga pribadi dalam satu hakikat (lihat Tritunggal). Dalam konsepsi Islam tentang Tuhan, tidak ada kesetaraan antara Tuhan dan ciptaan. Kehadiran Tuhan dipercaya ada di manapun, dan tidak menjelma sebagai siapapun atau apapun.[15][35]

Kristen Barat merasa Islam sebagai agama kafir selama Perang Salib pertama dan kedua. Muhammad dipandang sebagai setan atau tuhan palsu yang disembah bersama Apollyon dan Termangant dalam trinitas yang tidak suci.[36][37] Pandangan tradisional Kristen adalah bahwa Tuhan Muhammad sama dengan Tuhannya Yesus. Ludovico Marracci (1734), penerima pengakuan dosa Paus Innosensius XI, menyatakan:[38]

Muhammad dan pengikutnya yang menganggap ortodoks, telah dan melanjutkan untuk memiliki gagasan Tuhan yang asli dan logis dan sifat-sifat-Nya (selalu mengecualikan dan menolak Trituggal), muncul sangat jelas dari Qur'an itu sendiri dan seluruh kepercayaan akan Tuhan Muhammad, sehingga akan membutuhkan banyak waktu untuk menyangkal yang beranggapan Tuhan Muhammad berbeda dengan Tuhan sejati.

Banyak pesan-pesan dalam Perjanjian Lama mengacu pada kasih Tuhan. Tema sentral dalam Perjanjian Baru adalah kasih Tuhan dalam perantaraan Yesus. Dalam Islam, kasih Tuhan muncul dalam seluruh tanda-tanda dan penciptaan Bumi di mana manusia dapat hidup dalam kehidupan yang layak.

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa;
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah 2:21-22)

Pujian umat Muslim kepada Tuhan yang paling umum adalah 'Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang'. Dua lainnya dari "asma'ul husna" Tuhan 'Maha Kasih sayang' (wadud) dan 'Maha Pemberi' (wahhāb). William Montgomery Watt berpegang bahwa Kristen memiliki lebih banyak tekanan dalam aturan tingkah laku Tuhan sebagai penggembala yang pergi mencari domba-domba yang hilang dan menyelamatkannya. Di sisi lain, Islam menolak sebagian doa bagi siapapun yang telah kafir. Dalam Islam, Watt mengatakan, Tuhan menyediakan nikmat bagi setiap golongan untuk mencapai kehidupan kekal (contoh: kehidupan di Surga) dengan mengirim utusan atau nabi untuk mereka. Islam juga mengembangkan doktrin perantaraan Muhammad pada Hari Kiamat yang akan menerima mereka dengan baik, meskipun yang berbuat dosa akan diadili atas dosa-dosa mereka baik di bumi maupun di neraka.[39]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Gerhard Böwering, God and his Attributes, Encyclopedia of the Quran
  2. ^ a b John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p.22.
  3. ^ John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p.88
  4. ^ a b "Allah." Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica
  5. ^ a b Bentley, David (1999). The 99 Beautiful Names for God for All the People of the Book. William Carey Library. ISBN 0-87808-299-9. 
  6. ^ a b Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa, Allah
  7. ^ Annemarie Schimmel,The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic, SUNY Press, p.206
  8. ^ a b Britannica Encyclopedia, Islam, p. 3
  9. ^ a b "...dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (Surah Al-'Ankabut 29:46)
  10. ^ a b F.E. Peters, Islam, p.4, Princeton University Press, 2003.
  11. ^ (Indonesia) Ahmad Husnan. Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim. Al Husna, Surakarta. Cetakan Pertama, Muharram 1425 H / Mei 2005 M. h. 25-27.
  12. ^ a b (Inggris) Encyclopaedia of Islam, Allah
  13. ^ a b Al-Qaradhawi, Yusuf (2019). Tafsir Juz 'Amma. Diterjemahkan oleh Nurdin, Ali. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 2. ISBN 978-979-592-827-0. 
  14. ^ “…dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (Al-Baqarah 2:272)
  15. ^ a b c d “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
  16. ^ Ibnu ‘Umar yang padanya terdapat perkataan: “Sesungguhnya Allah akan menggenggam bumi pada hari kiamat dan langit-langit berada di tangan kanan-Nya, lalu berfirman: ‘Aku adalah Raja”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy (13/404) no. 7411 dalam Kitaab At-Tauhiid, Bab: Firman Allah ta’ala: ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’; dari hadits Naafi’, dari Ibnu ‘Umar secara marfu’.
  17. ^ Abu Hurairah, yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah ﷺ: “Tangan Allah selalu penuh, tidak kurang karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik malam maupun siang". Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy (13/404) no. 7412 dalam Kitaab At-Tauhiid, Bab: Firman Allah ta’ala: ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’; dari hadits Al-A’raj, dari Abu Hurairah secara marfu’.
  18. ^ Seorang ulama Yahudi datang kepada rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, ‘Wahai Muhammad atau wahai Abul Qâsim, kami mendapati (dalam Taurat) bahwa Allâh meletakkan langit-langit di atas satu jari, bumi-bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, kemudian Dia berfirman, ‘Aku-lah Raja. Aku-lah Raja.’ Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa (sehingga gigi gerahamnya terlihat) karena senang mengakui kebenaran ucapan ulama Yahudi tersebut. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla, “...dan mereka tidak mengagungkan Allâh dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [az-Zumar/39:67]. Hadits shahih Imam Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 4811, 7414, 7415, 7451, 7513), dan masih banyak penjelasan dari beberapa kitab-kitab berikut ini; Muslim dalam Shahîh-nya (no. 2786), Ahmad (1/429, 457), An-Nasâ-i dalam Kitab at-Tafsîr (no. 470, 471, 472) dan as-Sunan al-Kubra (no. 11386-11388), At-Tirmidzi dalam Sunannya (no. 3238, 3239), Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhîd (1/180-181 no. 123, 124, 128), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 541-544), Al-Âjurri dalam asy-Syari’ah (no. 736, 737, 738), Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 706), Abdullah bin Imam Ahmad dalam Kitâbus Sunnah (no. 490), Al-Baihaqi dalam al-Asmâ’ was Shifât (II/68-69), Ibnu Mandah dalam ar-Radddu ‘alal Jahmiyyah (no. 64), At-Thabari dalam tafsirnya (no. 30217-30219)
  19. ^ Dalil hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, no. 6661 dan Muslim, no. 2848, dari Anas bin Malik dari nabi ﷺ, "(Neraka) jahanam masih saja berkata, 'apakah ada tambahan' hingga akhirnya Tuhan Pemiliki Kemuliaan meletakkan kaki-Nya. Kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu, lalu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat." Imam Bukhari, no. 4850 dan Muslim, no. 2847, dari Abu Hurairah, dia berkata, "Nabi ﷺ bersabda, 'Surga dan neraka saling berdebat. Neraka berkata, 'Aku mendapatkan orang-orang yang sombong dan bengis.' Lalu surga berkata, 'Mengapa saya hanya dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan rendah.' Allah Tabaraka wa ta'ala berkata kepada surga, 'Engkau adalah rahmat-Ku, denganmu aku rahmati hamba-Ku yang aku suka.' Lalu Dia berkata kepada neraka, 'Engkau adalah azab-Ku, denganmu aku mengazab hamba-Ku yang aku suka. Setiap dari keduanya akan penuh. Adapun neraka tidak akan penuh kecuali setelah Allah meletakkan kaki-Nya, baru dia berkata, 'cukup', 'cukup' maka ketika itu neraka akan penuh dan neraka satu sama lain akan terlipat, dan Allah tidak akan menzalimi makhluknya satupun. Adapun surga Allah akan ciptakan makhluk untuknya."
  20. ^ Lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48.
  21. ^ "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." (Thaha, 20:5)
  22. ^ "...dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". (Hud 11:7)
  23. ^ Abdullah bin Amru ra, bahwasanya rasulullah saw bersabda: “Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Rasulullah menambahkan: ‘...dan arsy Allah itu berada di atas air.” (HR. Muslim, no: 4797).
  24. ^ Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?" Hadits riwayat Muslim (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
  25. ^ Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah, pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku telah menanyainya, kemudian dia jawab: 'Aku telah melihat cahaya'." Hadits riwayat Muslim (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
  26. ^ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah.” [Diriwayatkan al-Laka’i dalam Syarah al-I’tiqad III/525 dan Abu Syaikh dalam al-‘Azhamah II/210 dari hadits Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Isnadnya dhaif sekali. Tetapi ia diperkuat oleh hadits Abu Hurairah, Abdullah bin Salam, Abu Dzar dan ibnu Abbas. Al-Albani menganggapnya sebagai hadits hasan dalam al-Silsilah al-Shahihah no 1788]
  27. ^ Miftah Dar al-Sa’adah hal 181
  28. ^ a b c d e f g h Purwanto Abd Al-Ghaffar. Tuhan Yang Menentramkan Bukan Yang Menggelisahkan: Studi Banding Tauhid dan Trinitas.2006. Jakarta: Serambi ISBN 979-16009-4-5
  29. ^ "...dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (Al-A'raf 7:172)
  30. ^ a b c Vincent J. Cornell, Encyclopedia of Religion, Vol 5, pp.3561-3562.
  31. ^ Roger S. Gottlie (2006), p.210
  32. ^ a b Asma Barlas (2002), p.96
  33. ^ Tariq Ramadan (2005), p.203
  34. ^ a b c Böwering, Gerhard. "God and his Attributes ." Encyclopaedia of the Qurʾān.
  35. ^ a b "Islam." Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online, p.3
  36. ^ Alford Welch, Muhammad, Encyclopedia of Islam online, Brill
  37. ^ Bernard Lewis, The Arabs in History, Oxford University Press, 2002, p. 45.
  38. ^ William Montgomery Watt, Islam and Christianity today: A Contribution to Dialogue, Routledge, 1983, p.45
  39. ^ William Montgomery Watt, Islam and Christianity today: A Contribution to Dialogue, Routledge, 1983, p.53

Pranala luar

Daftar pustaka

  • Al-Bayhaqi, (1999), "Allah's Names and Attributes", Publisher:ISCA, ISBN 1-930409-03-6, [1]
  • Hulusi, Ahmed, (????), "Allah" as introduced by Mohammed", ISBN 975-7557-41-2 [2]
  • Muhaiyaddeen, M. R. Bawa, (1976), "Asma'ul Husna - The 99 Beautiful Names of Allah: The 99 Beautiful Names of Allah", Publisher:The Bawa Muhaiyaddeen Fellowship, ISBN 0-914390-13-9 [3]
  • Netton, Ian Richard (1994), "Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and...", Publisher:Routledge, ISBN 0-7007-0287-3 [4]