Lompat ke isi

Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bahasa Sunda Banyumas
Badéolan
Pengucapanbadɛjɔlan
WilayahKabupaten Banyumas
Penutur
1 (2021)[1]
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
  • Austronesia Lihat butir Wikidata
    • Melayu-Polinesia Lihat butir Wikidata
      • Melayu-Sumbawa atau Kalimantan Utara Raya (diperdebatkan)
Bentuk awal
Kode bahasa
ISO 639-3
GlottologTidak ada
Informasi penggunaan templat
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Critically Endangered

Sunda Banyumas diklasifikasikan sebagai bahasa terancam kritis (CR) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [2][3]

Lokasi penuturan
Situasi linguistik di wilayah Keresidenan Banyumas pada tahun 1882 dengan legenda sebagai berikut.
Area penutur bahasa Sunda
Area peralihan atau percampuran bahasa Sunda dengan bahasa lain
Area bahasa lain
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas adalah salah satu jenis bahasa Sunda yang dapat dikatakan telah atau nyaris punah dan pernah banyak dituturkan oleh masyarakat setempat.[4] Bukti penggunaannya dapat ditelusuri dari informan dan penutur yang tersisa, folklor yang berkembang di masyarakat, serta dari toponimi yang terdapat pada nama-nama tempat yang merefleksikan bahasa Sunda yang hingga sekarang masih digunakan di wilayah Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.[5]

Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas memiliki beberapa keunikannya tersendiri, seperti penggunaan beberapa kata arkais yang sudah tidak lazim digunakan dalam bahasa Sunda standar, contohnya pineuh (tidur) dan téoh (bawah).[6]

Sisi historis

[sunting | sunting sumber]

Eksistensi kebudayaan Sunda di Kabupaten Banyumas sebetulnya sudah dikenal sejak masa lampau. Legenda lokal banyak menceritakan bahwa sebagian wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Banyumas dahulu adalah bagian dari entitas pemerintahan yang berasosiasi dengan budaya Sunda. Berdasarkan teks-teks lama, Banyumas modern adalah hasil dari penyatuan (unifikasi) antara negeri bernama Pasir Luhur dan Wirasaba.[7] Menurut Babad Pasir, Pasir Luhur disebut sebagai sebuah kadipaten yang dipimpin oleh seorang tokoh legendaris bernama Kamandaka alias Banyak Catra (juga dikenal sebagai Lutung Kasarung) yang merupakan seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Pajajaran, sebuah kerajaan yang paling berpengaruh di Tanah Sunda.[8]

Kisah Banyak Catra sudah jauh dikenal sebagai carita pantun di masyarakat Sunda yang tercatat dalam naskah Sunda Kuno, Sanghyang Siksa Kandang Karesian bertitimangsa 1518 Masehi. Sehingga, cerita Banyak Catra atau Kamandaka yang terdapat dalam teks Babad Pasir adalah pengaruh Sunda yang nampak di dalam masyarakat Banyumas.[9] Secara bahasa, kosakata yang digunakan oleh masyarakat Banyumas, termasuk yang bukan penutur bahasa Sunda, salah satunya diwarnai dengan pengaruh bahasa Sunda dan bahasa Sunda Kuno.[10]

Secara keseluruhan, penggunaan bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas pada saat ini dapat dikatakan sudah punah, tetapi berdasarkan riwayat penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum yang merupakan Profesor Linguistik dari Universitas Padjadjaran, ia mengungkapkan dalam acara diskusi mingguan bertajuk "SAJABI" yang diselenggarakan oleh Dewan Profesor Universitas Padjadjaran, tepatnya pada episode 38 berjudul "Bahasa Ibu Dalam Pusaran Kematian" yang dilaksanakan secara daring dan ditayangkan secara langsung di kanal YouTube "SaJaBI - Satu Jam Berbincang Ilmu" tanggal 17 Juli 2021, bahwa sebelum Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, salah satu desa yang ada di Kabupaten Banyumas, yaitu Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir dihuni oleh masyarakat berpenutur bahasa Sunda, tetapi pascakemerdekaan, terutama setelah dasawarsa 1970-an, penutur bahasa Sunda sudah tidak memiliki jumlah yang signifikan.[11] Kemudian, dalam penelitiannya pada tahun 1989, ia mencatat bahwa penutur bahasa Sunda di desa tersebut berjumlah sekitar 15 orang.[12]

Setelah 39 tahun, Sobarna kembali datang ke desa tersebut pada tahun 2018 untuk melakukan penelitian bersama rekan-rekannya, Gunardi & Wahya, dan menemukan fakta bahwa warga di sana yang masih fasih menuturkan bahasa Sunda sudah sangat menyusut, yaitu tersisa sekitar 1-2 orang saja.[13] Dua orang tersebut diketahui identitasnya sebagai Mbah Kasmaja dan Mbah Sirod. Kabarnya, Mbah Sirod telah meninggal dalam usia 83 tahun, sedangkan Mbah Kasmaja diperkirakan berusia 85 tahun dan masih sehat hingga kini, sehingga dapat dikatakan bahwa Mbah Kasmaja adalah penduduk asli yang menjadi penutur terakhir bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas.[1]

Cerita rakyat

[sunting | sunting sumber]
Peta buatan Army Map Service tahun 1942 masih menampilkan nama Gondangamis.[14]

Keberadaan bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas terbukti dalam sebuah cerita rakyat, meski hanya dalam satu frasa. Sumber frasa ini adalah percakapan Jaka Mruyung, putra dari Arya Munding Wilis, adipati dari Negeri Galuh Pakuan dengan orang-orang yang ia temui. Frasa ini tercatat dalam cerita rakyat "Asal Mula Kota Ajibarang" bersumber dari Babad Ajibarang sebagai Ie mah Gondangamis. Kisah ini sendiri secara garis besar menceritakan perjalanan Jaka Mruyung dalam mencari penghidupan yang lebih baik ke arah timur. Frasa ini disertai dengan transliterasi aksara Sunda baku dan glosa atau terjemahan bahasa Indonesia.

Teks Sunda Modern Glosa
ie [i.jɤ] ᮄᮉ 'ini'
mah [mah] ᮙᮂ 'FOC'
gondang [gɔn.daŋ] ᮌᮧᮔ᮪ᮓᮀ 'Ficus variegata'
amis [a.mɪs] ᮃᮙᮤᮞ᮪ 'manis'

Teks lebih lengkapnya sendiri berbunyi seperti pada penggalan di bawah ini.

... Ki Sandi bertambah gembira karena harapannya semakin dekat. Sedangkan Jaka Mruyung kini sudah sampai di kaki bukit Pakis Aji sebelah barat. Dari situ ia terus ke sebelah selatan menyeberangi kali yang kemudian diberi nama Kali Racak. Di pinggiran bukit itu ia melihat pohon yang berbuah banyak. Ia bertanya kepada orang-orang yang kebetulan lewat: "Apakah nama buah ini, Pak?". Orang itu menjawab dengan bahasa Sunda: "Ie mah Gondangamis", artinya buah gondang yang manis. Kelak tempat itu menjadi Desa Gondangamis. ...

— M. Koderi (1991), Asal Mula Kota Ajibarang[15]

Nama Gondangamis ini kemudian berubah menjadi Gondangmanis, yang merupakan salah satu dusun di Desa Ajibarang Kulon, Kecamatan Ajibarang.

Glosa nama tempat berbahasa Sunda

[sunting | sunting sumber]

Nama-nama tempat berbahasa Sunda di Kabupaten Banyumas menjadi bukti sisa-sisa atau peninggalan budaya Sunda di Jawa Tengah.[16][17] Nama-nama tersebut memiliki aturan, kaidah, atau sistem tertentu yang tidak dibuat secara sembarangan.[18] Beberapa nama tempat tersebut menggunakan awalan "ci" yang merupakan nama umum toponim ciri khas Sunda yang berkaitan erat dengan air dan sungai.[19][20][21]

Penjelasan komprehensif tentang nama tempat berbahasa Sunda ini dapat dibaca lebih lanjut pada penelitian yang dilakukan oleh Sobarna, Gunardi & Wahya (2018) yang dicatatkan ke dalam artikel ilmiah berjudul "Toponimi Nama Tempat Berbahasa Sunda di Kabupaten Banyumas" dan dimuat pada jurnal Panggung. Hasil penelitian tersebut menyertakan etimologi bahasa Sunda untuk nama-nama tempat di Kabupaten Banyumas serta kisah tentang peristiwa sejarah/budaya di balik penamaan tersebut.[18][22] Selain etimologi, dijelaskan juga beberapa tempat yang telah berubah namanya.[23]

Cilongok adalah sebuah kecamatan yang memiliki 20 desa, yaitu Batuanten, Cikidang, Cilongok, Cipete, Gununglurah, Jatisaba, Kalisari, Karanglo, Karangtengah, Kasegeran, Langgongsari, Pageraji, Panembangan, Panusupan, Pejogol, Pernasidi, Rancamaya, Sambirata, Sokawera, dan Sudimara.[24][25] Beberapa nama desa yang berbahasa Sunda tersebut di antaranya adalah:

Cikidang
ci 'air/sungai' dan kidang 'kijang'

Cilongok
ci 'air/sungai' dan longok 'menengok'

Cipete
ci 'air/sungai' dan peté 'Parkia speciosa'

Rancamaya
ranca 'rawa' dan maya 'bayangan'

Kebudayaan yang berkembang di kecamatan Cilongok memang sudah dari lama dipengaruhi oleh budaya Sunda dan beberapa budaya lainnya.[27][28][29][30] Sejarah kependudukan Kecamatan Cilongok sendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah kependudukan Banyumas yang dipercaya berasal dari migrasi penduduk pada abad ke-3 SM yang dilakukan oleh kelompok imigran dari Kerajaan Kutai Martapura.[31]

Gapura Selamat Jalan Desa Cingebul.

Cingebul adalah nama salah satu desa yang ada di Kecamatan Lumbir. Cingebul berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda yaitu, ci 'air, sungai' dan ngebul 'berasap'. Konon, menurut penuturan masyarakat yang tinggal di sana, pada masa Perang Diponegoro, kira-kira pada tahun 1829, pasukan Diponegoro yang kala itu mulai terpukul mundur oleh pasukan Belanda, ada dua orang prajurit yang terpisah dari pasukan utama, kedua prajurit tersebut adalah Naya Pati dan Wirantaka, mereka terpisah dengan berjalan tanpa arah disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan wilayah Banyumas. Setelah beberapa waktu mereka terus melarikan diri, tibalah mereka di antara dua buah bukit di wilayah bagian selatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap. Untuk beberapa saat mereka bersembunyi di tempat tersebut hingga keadaan dirasa aman kembali. Setelah dirasa aman, mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di sana. Kedua prajurit tersebut bersama dengan salah satu keluarga prajurit Pajajaran yang bernama Suriadipota, mendirikan sebuah padepokan untuk menyebarkan agama Islam.[32]

Pada suatu waktu, tepatnya sebelum matahari terbit, yang biasanya merupakan waktu bagi para santri di padepokan melaksanakan salat subuh dan pengajian bersama, yang juga merupakan waktu untuk bercengkerama bersama sambil membakar ubi kayu di pinggir sungai, tiba-tiba dari atas air di hulu sungai, keluarlah asap yang kemudian dilihat oleh Suriadipota, karena merasa heran, ia menunjuk ke arah sungai tersebut sambil berteriak 'oé, cai ngebul..., cai ngebul..', teriakan Suriadipota tersebut didengar oleh seorang santri yang kemudian berlari ke padepokan untuk melaporkan kejadian tersebut ke Wirantaka agar ia turut melihat langsung kejadian tersebut. Santri tersebut melapor dengan berkata, "aya cai ngebul... cai ngebul... ." Setelah melihat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, Wirantaka kemudian menyatakan bahwa daerah tersebut bernama Cingebul. Hingga kini, beberapa warga masih ada yang beberapa kali melihat asap yang muncul dari sungai, menurut pengakuan informan di sana.[32]

Peta Desa Dermaji (1942).

Dermaji adalah salah satu desa di Kecamatan Lumbir. Menurut cerita-cerita lisan masyarakat di sana, desa ini merupakan salah satu desa yang sudah berusia tua. Desa ini diperkirakan sudah berdiri sejak masa Kerajaan Galuh pada abad ke-6. Karena desa ini masuk ke dalam wilayah Kerajaan Galuh, membuat kehidupan penduduk Desa Dermaji tidak terlepas dari pengaruh budaya Sunda. Pengaruh yang terlihat sangat jelas adalah penggunaan bahasa yang dipakai oleh masyarakat di sana yang menggunakan sebuah varian bahasa Sunda yang secara lokal dikenal sebagai "Bahasa Sunda Dermaji" yang memiliki beberapa kosakata khas yang tidak digunakan dalam bahasa Sunda baku modern (berbasis pada dialek Parahiyangan), tetapi masih memiliki kesamaan dengan bahasa Sunda dialek Banten. Beberapa nama-nama tempat berbahasa Sunda di desa ini meliputi nama kampung dan nama sungai seperti:

Cibrewek
ci 'air/sungai' dan bréwék '(suara) bebek'

Cijurig
ci 'air/sungai' dan jurig 'hantu'

Cipancur
ci 'air/sungai' dan pancur 'sinar'

Cipeundeuy
ci 'air/sungai' dan peundeuy 'sejenis petai (Parkia timoriana)' atau peupeundeuyan 'sejenis insekta yang hidup di sungai (Dytiscidae)'

Cireang
ci 'air/sungai' dan réang 'terdengar suara banyak orang atau binatang'

Citunggul
ci 'air/sungai' dan tunggul 'tunggul'

Cukangawi
cukang 'jembatan bambu/kayu' dan awi 'bambu'

Cerita lain menyebutkan, Desa Dermaji sebelum dihuni oleh manusia dulunya adalah sebuah hutan belantara di dalamnya diisi oleh siluman, jin, dan binatang buas. Dari cerita-cerita tersebut juga disebutkan beberapa nama tokoh yang dianggap sebagai leluhur atau orang yang berjasa bagi Desa Dermaji, tokoh-tokoh tersebut di antaranya yaitu, Mbah Damarwulan, Mbah Jayasengara, dan Mbah Panusupan. Mereka disebut-sebut sebagai orang-orang yang mampu mengusir para makhluk halus yang sebelumnya menghuni Desa Dermaji hingga akhirnya desa ini dapat dihuni oleh manusia. Selain ketiga tokoh tersebut, warga Desa Dermaji juga memiliki leluhur lain yang dikenal dengan nama Mbah Darmokusumo, seorang yang digambarkan memiliki totalitas kepasrahan kepada sang ilahi, dan memiliki tingkat kejujuran yang sangat tinggi. Sosok Darmokusumo tersebut sering menjadi kebanggaan masyarakat karena memiliki berbagai keutamaan dalam perilaku. Sosok Darmokusumo pula lah yang sering dikait-kaitkan dengan asal-usul nama Dermaji itu sendiri. Derma berarti memberi, aji berarti sesuatu yang berharga.[34]

Peta Gumelar (1942).

Gumelar adalah nama untuk salah satu kecamatan. Gumelar berasal dari kata dalam bahasa Sunda yaitu, gelar 'terlihat dan bukti ada di dunia' yang dibubuhi dengan infiks -um- sebagai pemarkah progresif. Berdasarkan cerita rakyat yang tumbuh subur di wilayah ini, daerah Gumelar dulunya adalah sebuah tempat bagi berkumpulnya orang banyak dengan tujuan untuk mengungsi atau bersembunyi. Oleh karena itu, tempat ini dinamai Gumelar karena dari banyaknya orang yang berkumpul di sana, membuat tempat ini terlihat seperti nu gumelar atau ngampar 'terhampar'.[32]

Peta Ciwaras (1942).

Konon, di wilayah Gumelar juga dulunya adalah tempat bagi banyaknya binatang buas yang suka memangsa manusia. Di salah satu tempat di sana, acapkali ditemukan seorang penduduk yang terluka atau istilah lokalnya babak, yang disebabkan oleh serangan binatang buas tersebut. Penduduk yang terluka di sana, kemudian oleh penduduk yang lain selalu diboyong ke suatu kampung yang bernama Ciwaras untuk mendapatkan pertolongan. Waras dalam bahasa Sunda berarti sehat/sembuh secara adjektiva. Di Ciwaras, terdapat seseorang yang dianggap memiliki kemampuan lebih untuk menyembuhkan orang-orang yang terluka akibat serangan binatang buas. Jalur antara Ciwaras dan Babakan sekarang dikenal dengan nama kampung Gancang. Gancang dalam bahasa Sunda berarti cepat, atau buru-buru. Jika penduduk yang terluka tadi tidak dapat diselamatkan dan mati, maka mayat-mayat mereka akan disimpan di suatu tempat untuk memudahkan anggota keluarga dari mayat tersebut mencarinya. Biasanya mayat-mayat tersebut hanya ditutupi oleh beberapa helai daun jati atau daun pisang. Jika ada anggota keluarga yang hendak memeriksa mayat-mayat yang ditutupi oleh dedaunan tersebut, maka mereka akan nyingkabkeun atau membuka daun jati atau daun pisang yang menutupi mayat-mayat tersebut. Karena kebiasaan inilah, tempat disimpannya mayat-mayat korban serangan binatang buas tadi disebut sebagai Paningkaban, yang berarti tempat membuka.[35]

Peta Cihonje dan Paningkaban (1942).

Di Gumelar juga ada sebuah desa yang bernama Cionje (berasal dari kata ci + honjé 'Etlingera elatior'). Faktanya, hingga kini di daerah Cionje tersebut memang banyak ditemukan tumbuhan yang dimaksud. Perubahan kata honjé menjadi onjé disebabkan oleh gejala fonologis setempat yang menghilangkan fonem h di awal kata. Di daerah Cionje juga ada sebuah tempat yang bernama Ciuyah (berasal dari kata ci + uyah 'garam'). Dinamai demikian karena di wilayah Ciuyah terdapat sumber air yang mengeluarkan air yang rasanya asin seperti garam. Wilayah Ciuyah sendiri terletak di pinggiran bukit pinus milik Perhutani. Hingga sekarang, ada tradisi Ngasini, yaitu sebuah tradisi memberikan air garam kepada hewan ternak.[36]

Pangadegan

[sunting | sunting sumber]

Pangadegan adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Wangon. Pangadegan berasal dari kata dasar dalam bahasa Sunda yaitu, ngadeg 'berdiri' yang direkatkan dengan prefiks pa- dan sufiks -an. Proses morfologis ini menghasilkan sebuah kata baru yang berarti tempat berdiri. Ada sebuah cerita dibalik penamaan tempat ini yang berjudul Sasakala Pangadegan yang merupakan bagian dari rangkaian cerita Raden Kamandaka atau Lutung Kasarung. Menurut data-data yang ada, dalam kisah pengejaran Kamandaka, Raden Kamandaka ketika sedang berdiri (ngadeg) sempat terkejar oleh prajurit-prajurit Kandha Daha. Dari semenjak kisah ini menyebarlah, nama tempat tersebut menjadi dikenal dengan sebutan Pangadegan. Sementara itu, versi lain menyebutkan bahwa Pangadegan berasal dari kata pangudagan yang merupakan kata bahasa Sunda yang berarti untuk mengejar, berasal dari kata udag 'kejar'.[37]

Randegan adalah nama salah satu desa yang letaknya tidak terlalu jauh dari Pangadegan, yang sama-sama terletak di Kecamatan Wangon. Randegan berasal dari kata dasar dalam bahasa Sunda yaitu randeg 'berhenti sebentar' yang dibubuhi sufiks -an. Sehingga, randegan bermakna sebagai tempat beristirahat atau tempat yang dijadikan tempat untuk berhenti sebentar. Berdasarkan penuturan lisan dari masyarakat setempat, tempat ini dulunya merupakan tempat beristirahatnya Raden Kamandaka. Masyarakat di sana percaya bahwa dahulu Raden Kamandaka pernah ngarandeg (berhenti sebentar untuk istirahat) dari kejaran para prajuritnya Adipati Kandha Daha yang berniat menangkap dan membunuh Raden Kamandaka. Dari situlah kemudian tempat ini dikenal sebagai Randegan.[16]

Nama tempat yang berubah

[sunting | sunting sumber]

Beberapa nama tempat, seperti nama dusun, yang ada di Kecamatan Lumbir telah berubah. Alasan penggantian nama tersebut didasari oleh faktor kepercayaan para tokoh masyarakat setempat bahwa nama lama mengandung makna negatif. Nama-nama tempat yang berubah ini memiliki kisahnya masing-masing. Beberapa di antaranya dipaparkan di bawah ini.[23]

Ciwikwik menjadi Karangreja

[sunting | sunting sumber]

Karangreja adalah nama dusun yang ada di Desa Cingebul, nama ini adalah hasil perubahan dari nama sebelumnya, yaitu Ciwikwik. Berdasarkan keterangan informan setempat, Ciwikwik dikatakan berasal dari kata wikwik (pengucapan bahasa Sunda: [wɪkˈwɪk]) yang diartikan 'cerewet, suka membicarakan orang lain, suka adu omong'. Nama ini dipercaya menyebabkan keharmonisan warga penduduk di sana menjadi berkurang, diiringi dengan merebaknya perselisihan antarwarga.[23]

Cilutung menjadi Bojanegara

[sunting | sunting sumber]
Peta lama buatan Army Map Service tahun 1942 masih menampilkan Tjiloetoeng (Cilutung).[38]

Bojanegara adalah nama dusun yang ada di Desa Cingebul, nama ini adalah hasil perubahan dari nama sebelumnya, yaitu Cilutung. Berdasarkan keterangan informan setempat, Cilutung dikatakan berasal dari kata lutung (pengucapan bahasa Sunda: [luˈtʊŋ]) yang diartikan 'lutung (Trachypithecus), sebangsa kera'. Nama ini dipercaya menyebabkan banyaknya perkelahian hingga saling mencakar, seakan-akan membuat warga di sana berperilaku seperti lutung.[23]


Cingepret menjadi Rejasari

[sunting | sunting sumber]

Rejasari adalah nama dusun yang ada di Desa Cingebul, nama ini adalah hasil perubahan dari nama sebelumnya, yaitu Cingepret. Berdasarkan keterangan informan setempat, Cilutung dikatakan berasal dari kata ngéprét (pengucapan bahasa Sunda: [ŋeˈprɛt]) yang diartikan 'menampar'. Nama ini dipercaya menyebabkan banyaknya pertengkaran di tengah-tengah masyarakat.[23]

Tempat lainnya

[sunting | sunting sumber]

Nama sungai

[sunting | sunting sumber]

Di bawah ini adalah beberapa nama sungai yang berasal dari bahasa Sunda.[39]

Sungai Cikalong

[sunting | sunting sumber]

Sungai Cikalong adalah sungai yang melintasi Desa Cikakak. Sungai ini dinamai demikian karena di sungai tersebut banyak kalong 'kelelawar', menurut informasi dari warga setempat.[39]

Sungai Ciaur

[sunting | sunting sumber]

Selain Sungai Cikalong, Sungai Ciaur juga merupakan salah satu sungai yang penamaannya mengacu pada nama hewan. Sungai ini mengalir melintasi Desa Cingebul, Kecamatan Lumbir. Nama sungai ini berasal dari kata ci + aur atau haur 'nama sejenis burung', sarang dari burung tersebut banyak ditemukan di sepanjang lintasan sungai ini. Sementara itu, versi lain menyebutkan bahwa aur atau haur di sini memiliki arti bambu, yang memang di sepanjang sungai Ciaur ini banyak ditumbuhi oleh haur atau bambu.[39]

Sungai Cikadu

[sunting | sunting sumber]

Sungai Cikadu melintasi Desa Cikakak, namanya diambil dari bahasa Sunda untuk durian yaitu kadu, karena di aliran Sungai Cikadu ini banyak ditemukan pohon durian.[39]

Sungai Cipakis

[sunting | sunting sumber]

Sungai Cipakis juga melintasi Desa Cikakak, dinamai demikian karena di aliran sungai ini banyak ditemukan tumbuhan pakis atau tumbuhan paku.[39]

Sungai Ciawitali

[sunting | sunting sumber]

Sungai Ciawitali terletak di Kecamatan Gumelar, namanya berasal dari ci 'air' + awi 'bambu' + tali 'tali'.[39]

Sungai Cipandan

[sunting | sunting sumber]

Sungai Cipandan terletak di Kecamatan Lumbir, namanya berasal dari ci + pandan 'tumbuhan yang daunnya seperti daun kelapa, tetapi tidak berlidi dan biasa dijadikan pewangi alami makanan'.[39]

Selain nama-nama sungai berbahasa Sunda yang sudah disebutkan di atas, di Kecamatan Lumbir juga ditemukan nama sebuah sungai yang berasal dari gabungan bahasa Sanskerta dan bahasa Sunda, yaitu Sungai Lopasir. Lo atau juga dikenal sebagai loh merupakan kosakata bahasa Sanskerta yang berarti sungai. Sementara pasir merupakan kosakata bahasa Sunda yang berarti bukit. Sungai ini dinamai demikian karena menurut informasi dari warga setempat, hulu sungai tersebut terletak di salah satu bukit yang ada di Kecamatan Lumbir.[39]

Nama gunung

[sunting | sunting sumber]

Gunung Batur adalah salah satu gunung yang terletak di Desa Cirahab, Kecamatan Lumbir. Batur dalam bahasa Sunda berarti teman atau orang lain. Dalam legenda Kamandaka, Gunung ini adalah tempat bagi Raden Kamandaka untuk melakukan pertapaan. Pertapaannya tersebut bermaksud untuk meminta petunjuk bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan wanita pujaannya, yang bernama Ciptarasa. Berdasarkan kisahnya, Raden Kamandaka di gunung ini bertemu dengan seorang kiai yang menemaninya (bahasa Sunda: ngabaturan) bertapa, kiai tersebut lalu menghilang setelah ia memberikan seluruh pakaiannya kepada Raden Kamandaka yang selanjutnya mengubah Raden Kamandaka menjadi seekor lutung setelah ia memakainya. Dari sinilah, kisah legenda Raden Kamandaka atau Lutung Kasarung dimulai.[39]

Nama air terjun

[sunting | sunting sumber]

Di bawah ini adalah beberapa nama air terjun (curug) yang berasal dari bahasa Sunda.[40]

Curug Cipendok

[sunting | sunting sumber]

Curug Cipendok adalah salah satu air terjun yang terletak lereng Gunung Slamet, tepatnya di Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok. Legenda yang menceritakan air terjun ini juga masih berkaitan dengan sejarah Perang Diponegoro.[40] Pendok sendiri bermakna sebagai cincin warangka keris yang bersinar keemasan.[41]

Curug Gumawang

[sunting | sunting sumber]

Curug Gumawang adalah salah satu air terjun yang terletak di Desa Kemawi, Kecamatan Somagede, sekitar 15 kilometer ke arah tenggara dari pusat kota Purwokerto. Gumawang berasal dari bahasa Sunda yang berarti seperti gawang 'guratan tanah' yang berasal dari kata awang-awang 'angkasa' dan bercahaya. Air terjun ini memiliki ketinggian 60 meter, sebuah air terjun yang tergolong tinggi, oleh karena itulah warga setempat menamakannya Curug Gumawang, diibaratkan turun dari angkasa. Air terjun ini juga mempunyai tujuh tingkatan genangan air yang disebut kedung 'leuwi', bagian sungai yang dangkal seringnya ada di antara dua leuwi. Jika diperhatikan dari bawah, akan tampak tiga tingkatan, tingkatan paling besar yang nomor dua dari bawah. Tingkatan atas juga tampak bertingkat, hanya saja ketinggiannya tidak terlalu menjulang dan dapat dilihat dari jalan menuju Curug Gumawang. Tujuh tingkatan kedung yang ada di sini di antaranya, yaitu Kedung Dhandhang, Kedung Jojogan, Kedung Nyai Gendur, Kedung Pundak, Kedung Tumbu, Kedung Wuluh, dan Kedung Wungu. Kedung Pundak adalah salah satu kedung yang sangat dikeramatkan oleh warga, berdasarkan penuturan kuncen yang menjaga, kedung ini memiliki dua penunggu, yaitu Mbah Weno Werso dan Nyai Dewi Welasari. Selain itu, ada juga Mbah Bondowoso, penunggu yang berdiam di bawah pohon bambu Ampel Kuning.[41]

Menurut versi lainnya, nama air terjun ini berasal dari kata gemawang yang berasal dari kontraksi kata gema 'bergema' dan awang 'angkasa'. Sehingga, Curug Gumawang memiliki makna sebagai air terjun yang menghasilkan suara menggema akibat jatuhnya air dari ketinggian. Suara yang menggema tersebut dapat terdengar hingga desa lain. Ada sebuah kepercayaan yang berkembang pada masyarakat sekitar air terjun ini, bahwa barangsiapa yang hendak berkendara menuju lokasi melewati sebuah kuburan di kanan jalan, maka ia harus membunyikan klakson sebagai tanda izin untuk lewat. Air yang terdapat pada kedung tertinggi di air terjun ini sering digunakan untuk mandi dan mencuci muka karena diyakini memiliki beragam khasiat, di antaranya, yaitu dapat membuat awet muda, dan membuat rezeki menjadi lebih lancar.[42]

Akses jalan menuju air terjun ini memiliki kondisi yang cukup buruk, disebabkan oleh banyaknya aspal yang bergelombang dan sebagian sudah terkelupas. Namun, sekarang sudah ada pembangunan akses jalan menuju Curug Gumawang yang lebih baik, serta adanya pelebaran jalan dari Beji atau Tapak Bima (suatu area yang memiliki bentuk seperti telapak kaki yang sangat besar) hingga ke area air terjun.[43]

Revitalisasi

[sunting | sunting sumber]

Upaya-upaya untuk mengenalkan kembali bahasa Sunda kepada generasi muda salah satunya dilakukan oleh Pemerintah Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir. Kepala desa di sana, yaitu Bayu Setyo Nugroho, S.Sos., M.Si., pada tahun 2018 memasukkan budaya Sunda sebagai salah satu kekayaan lokal, salah satunya dengan cara membuat semacam tempat khusus di dalam sebuah museum yang ada di desa tersebut yang bernama Museum Naladipa. Tempat khusus ini disebut sebagai "Sunda Corner", tempat ini menyediakan informasi-informasi yang berkaitan dengan kebudayaan Sunda yang tumbuh di masa lampau di desa tersebut melalui QR Code yang apabila dipindai akan menampilkan informasi yang berisi tentang asal usul atau sejarah penamaan tempat-tempat atau dusun yang berasal dari bahasa Sunda. Selain itu, Museum Naladipa juga menyediakan literatur atau bahan bacaan berbahasa Sunda, salah satunya berbentuk majalah.[44]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b SaJaBI - Satu Jam Berbincang Ilmu (2021-07-17), SAJABI ep.38 - Bahasa Ibu Dalam Pusaran Kematian, diakses tanggal 2024-12-23 
  2. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  3. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  4. ^ Ridlo 2020, Tragedi Punahnya Penutur Bahasa Sunda di Banyumas.
  5. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 148-149.
  6. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 147.
  7. ^ Priyadi 2000, hlm. 120.
  8. ^ Priyadi 2002, hlm. 186.
  9. ^ Priyadi 2000, hlm. 126.
  10. ^ Priyadi 2000, hlm. 120-121.
  11. ^ SaJaBI - Satu Jam Berbincang Ilmu (2021-07-17), SAJABI ep.38 - Bahasa Ibu Dalam Pusaran Kematian, diakses tanggal 2024-12-23 
  12. ^ SaJaBI - Satu Jam Berbincang Ilmu (2021-07-17), SAJABI ep.38 - Bahasa Ibu Dalam Pusaran Kematian, diakses tanggal 2024-12-23 
  13. ^ Susanto 2019, Kepunahan Bahasa itu Bencana Kemanusiaan.
  14. ^ Java & Madura 1:50,000 1942, hlm. 43-41B.
  15. ^ Koderi 1991, hlm. 97.
  16. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 151.
  17. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 148.
  18. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 158.
  19. ^ Abimanyu 2018, hlm. 11.
  20. ^ Abimanyu 2018, hlm. 22-23.
  21. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 149.
  22. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 159.
  23. ^ a b c d e Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 157.
  24. ^ Abimanyu 2018, hlm. 12.
  25. ^ Abimanyu 2018, hlm. 13.
  26. ^ Abimanyu 2018, hlm. 16-17.
  27. ^ Abimanyu 2018, hlm. 14-15.
  28. ^ Abimanyu 2018, hlm. 19.
  29. ^ Abimanyu 2018, hlm. 20.
  30. ^ Abimanyu 2018, hlm. 21.
  31. ^ Abimanyu 2018, hlm. 20-21.
  32. ^ a b c Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 152.
  33. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 153, 158.
  34. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 153-154.
  35. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 152-153.
  36. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 153.
  37. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 151-152.
  38. ^ Java & Madura 1:50,000 1942, hlm. 43-41A.
  39. ^ a b c d e f g h i Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 154.
  40. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 154-155.
  41. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 155.
  42. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 155-156.
  43. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 156.
  44. ^ Ridlo 2019, Melindungi Budaya Pasundan yang Terancam Punah di Jawa Tengah.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Artikel ilmiah

[sunting | sunting sumber]

Situs web

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Sobarna, C.; Afsari, A.S. (2021). Ampera, T., ed. Bahasa Sunda Dermaji-Banyumas dalam Pusaran Kematian: Sebuah Upaya Pendokumentasian. Bandung: Unpad Press. ISBN 9786233520850. 

Laporan penelitian

[sunting | sunting sumber]
  • Lembaga Kebudayaan, U.P. (1989). Bahasa Sunda di Kabupaten Pekalongan, Banyumas, dan Cilacap, Propinsi DT. I Jawa Tengah (Laporan Penelitian). Bandung: Lembaga Kebudayaan, Universitas Pasundan. 
  • Sobarna, C. (2010). Bahasa Sunda di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Laporan Penelitian). Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. 
  • ——— (2013). Resistensi Budaya (Bahasa) Sunda di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Laporan Penelitian). Bandung: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. 

Makalah seminar

[sunting | sunting sumber]
  • Sobarna, C. (2013). "Ancaman Kepunahan Bahasa di Daerah Enklave: Kasus Bahasa Sunda di Desa Dermaji, Jawa Tengah". Makalah Seminar Nasional bahasa Ibu VI yang diselenggarakan oleh Universitas Udayana: 22–13. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas

[sunting | sunting sumber]

Bahasa Sunda Umum

[sunting | sunting sumber]