Lompat ke isi

Islam di Sumatera Utara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Islam di Sumatera Utara mulai berkembang pada akhir abad ke-7 Masehi. Perkembangan Islam di Sumatera Utara dipengaruhi oleh kedatangan pedagang muslim dari Jazirah Arabia menuju ke Kanton di Tiongkok melalui Selat Sunda. Para pedagang muslim Arab mulai berdagang di Sumatera Utara ketika jalur perdagangan mereka di Selat Malaka dihadang oleh Kerajaan Sriwijaya. Islam merupakan agama mayoritas di Sumatera Utara. Para penganutnya berasal dari beberapa kelompok etnik.

Pada Abad ke-7 Masehi, wilayah Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perdagangan yang terpenting di Nusantara. Wilayahnya ramai dikunjungi oleh para saudagar muslim dari bangsa Arab. Hubungan perdagangan ini yang kemudian mengawali perkembangan dakwah Islam di Sumatera Utara.[1]

Kedatangan para pedagang muslim dari Jazirah Arab ke Sumatera Utara semakin meningkat pada akhir abad ke-7 M. Ini setelah kekalahan armada Kekaisaran Romawi atas armada muslim di wilayah laut Iskandariyah. Faktor utama yang menyebabkan kedatangan para pedagang muslim dari Jazirah Arab ke Sumatera Utara adalah terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka. Penyebabnya adalah hadangan dari armada Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan buddha. Kerajaan Sriwijaya melakukan hal demikian sebagai bentuk pembalasan atas serangan pasukan muslim atas kerajaan Hindu di Sindh. Hadangan ini membuat para pedagang muslim dari Jazirah Arab akhirnya mengambil rute memutar melewati pesisir barat Sumatera Utara untuk menuju ke Selat Sunda. Dari Selat Sunda, pedagang muslim berlayar menuju ke Singapura untuk melanjutkan pelayaran hingga ke Kanton di Tiongkok.[2]

Islam menjadi agama mayoritas di Sumatera Utara.[3] Penganut agama Islam di Sumatera Utara berasal dari beberapa kelompok etnik. Kelompok etnik ini antara lain suku Melayu, Minangkabau, Aceh, Mandailing, Angkola, Jawa, Batak Sibolga/Pesisir, Pakpak, Simalungun, Karo, dan Batak Toba.[4]

Berikut merupakan jumlah penganut Islam di Sumatera Utara menurut kota/kabupaten berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Desember, 2021).[5]

# Kota/kabupaten Islam (%)
1 Asahan 89,50%
2 Batu Bara 88,92%
3 Dairi 16,39%
4 Deli Serdang 78,41%
5 Humbang Hasundutan 3,12%
6 Karo 26,58%
7 Labuhanbatu 83,26%
8 Labuhanbatu Selatan 85,34%
9 Labuhanbatu Utara 82,34%
10 Langkat 91,71%
11 Mandailing Natal 95,92%
12 Nias 1,15%
13 Nias Barat 2,25%
14 Nias Selatan 2,23%
15 Nias Utara 5,40%
16 Padang Lawas 90,36%
17 Padang Lawas Utara 80,64%
18 Pakpak Bharat 39,60%
19 Samosir 1,75%
20 Serdang Bedagai 84,68%
21 Simalungun 56,87%
22 Tapanuli Selatan 79,14%
23 Tapanuli Tengah 42,53%
24 Tapanuli Utara 4,81%
25 Toba 6,12%
26 Kota Binjai 85,73%
27 Kota Gunungsitoli 13,30%
28 Kota Medan 69,17%
29 Kota Padang Sidempuan 90,58%
30 Kota Pematangsiantar 45,29%
31 Kota Sibolga 58,69%
32 Kota Tanjungbalai 86,83%
33 Kota Tebing Tinggi 80,35%
Sumatera Utara 66,43%

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Fuad, dkk. 2019, hlm. 63.
  2. ^ Fuad, dkk. 2019, hlm. 64.
  3. ^ Khoiri 2020, hlm. 86.
  4. ^ Khoiri 2020, hlm. 87.
  5. ^ "Pemeluk Islam di Mandailing Natal Terbesar di Sumatera Utara pada 2021 | Databoks". databoks.katadata.co.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-09-29. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]