Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨓᨍᨚ Akkarungeng ri Wajoʼ | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sekitar 1400–1957 | |||||||||
Status | Bagian dari Hindia Belanda (1905–1949) Bagian dari Indonesia (1949–1957) | ||||||||
Ibu kota | Cinnotabiʼ (sekitar 1400–1610) Tosora (sekitar 1610–1885) Séngkang (sekitar 1885–1957)[1] | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bugis | ||||||||
Agama | Islam (sejak 1610) | ||||||||
Pemerintahan | Konfederasi representatif di bawah monarki elektif konstitusional[2][3] | ||||||||
Era Sejarah | Masa modern awal | ||||||||
• Didirikan | sekitar 1400 | ||||||||
• Digabungkan ke dalam Hindia Belanda | 1906 | ||||||||
• Dibubarkan dan diubah menjadi kabupaten | 1957 | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Wajo[a] merupakan sebuah kerajaan elektif bersuku Bugis yang berkembang di sisi timur semenanjung Sulawesi Selatan. Wajo didirikan pada sekitar abad ke-15 sebagai bagian dari gelombang pemusatan politik akibat intensifikasi pertanian di kawasan setempat, lalu berkembang hingga menjadi saingan utama negeri-negeri sekitarnya seabad kemudian. Perang Makassar dan pertikaian di tanah air pada akhir abad ke-17 menyebabkan migrasi besar-besaran orang Wajo ke luar negeri. Meski demikian, jaringan perantauan yang disertai dukungan pemerintahan terhadap perdagangan membawa Wajo mencapai puncaknya sebagai negeri adidaya di Sulawesi Selatan menggantikan Bone selama beberapa masa pada abad ke-18. Wajo mempertahankan kemerdekaannya hingga tunduk sebagai swapraja bawahan Hindia Belanda setelah Ekspedisi Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20. Kerajaan ini terus bertahan dalam bentuk yang lebih terbatas hingga pertengahan abad ke-20, ketika wilayahnya dijadikan Kabupaten Wajo di bawah pemerintahan Indonesia.
Secara politis, Wajo merupakan konfederasi dari tiga bagian utama yang membawahi puluhan komunitas kecil dengan otonomi lumayan besar. Pemimpin tertinggi Wajo berperan sebagai simbol pemersatu, hakim dan panglima tertinggi, serta mewakili Wajo dalam urusan luar negeri. Bersama dewan tertinggi yang beranggotakan tiga pasang pejabat sipil dan militer sebagai wakil dari tiga bagian, ia juga berwenang mengurus pemerintahan sehari-hari di Wajo. Para pemimpin harian ini disokong oleh 33 orang pejabat lainnya, yang berkumpul bersama dewan tertinggi hanya pada saat memutuskan hal-hal yang penting, termasuk musyawarah pemilihan pemimpin tertinggi yang baru. Kekuasaan dewan ini diimbangi juga dengan perwakilan rakyat merdeka, satu dari setiap bagian, dengan wewenang yang cukup besar.
Masyarakat Wajo melembagakan prinsip-prinsip kemerdekaan yang mencakup beragam hak, mulai dari kepemilikan pribadi hingga kebebasan berpendapat. Hanya saja, selain kalangan ningrat dan orang merdeka yang dijamin hak-haknya dan terwakilkan dalam pemerintahan, terdapat pula golongan budak dengan hak-hak yang lebih sedikit. Mata pencaharian utama penduduknya, selain dari pertanian dan perikanan, adalah perdagangan. Perniagaan Wajo maju pesat pada abad ke-18 dan ke-19 seiring dengan menyebarnya masyarakat perantauan, hingga mampu menggapai tempat-tempat yang jauh di berbagai pelosok Asia Tenggara Maritim. Kemajuan dalam bidang perdagangan ini juga diperkuat dengan dukungan politik, legal, dan finansial yang diberikan oleh sesama masyarakat rantau maupun oleh pemerintah Wajo di tanah air.
Geografi
[sunting | sunting sumber]Bentang alam
[sunting | sunting sumber]Pembagian administratif
[sunting | sunting sumber]Sebagaimana kebanyakan negeri Bugis lainnya, Wajo merupakan sebuah konfederasi yang terdiri dari gabungan komunitas-komunitas politis dan teritorial lebih kecil yang disebut sebagai wanua.[3] Setiap komunitas kecil ini memiliki otonomi yang lumayan besar, dengan pemimpin serta hukum adat sendiri-sendiri.[4] Ketika bergabung dengan Wajo, baik secara sukarela maupun melalui penaklukan,[5] komunitas-komunitas ini akan berafiliasi dengan salah satu dari tiga limpo atau bagian utama, yakni Béttémpola, Tua, dan Talotenreng, yang merepresentasikan ketiga komunitas pendiri Wajo.[6][7]
Daerah-daerah Wajo terhubung dengan pemerintahan pusat di Tosora dengan status yang berbeda-beda, mulai dari sebagai negeri jajahan hingga sebagai sekutu muda serupa hubungan kakak-beradik.[3][8] Sebagian wilayah-wilayah ini tidak memiliki perwakilan dalam pemerintahan Wajo, semisal daerah Pitumpanua yang terdiri dari gabungan tujuh negeri. Sebagian lagi hanya direpresentasikan secara tidak langsung, seperti wilayah Paria yang diwakili oleh pemimpin limpo Béttémpola.[9]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sejarah awal (sekitar 1400–1582)
[sunting | sunting sumber]Para ahli sejarah dan arkeologi mengaitkan kemunculan Wajo dan negeri-negeri pedalaman lainnya di Sulawesi Selatan dengan intensifikasi pertanian yang disertai pemusatan kekuasaan pada sekitar abad ke-14, buntut dari meningkatnya permintaan luar kawasan bagi beras Sulawesi Selatan.[10][11] Populasi naik dengan pesat, dan pertanian berbasis peladangan pun digantikan dengan budidaya padi lahan basah intensif. Di sepanjang Sulawesi Selatan yang secara geografis berbentuk semenanjung ini, hutan-hutan dibuka dan permukiman-permukiman baru didirikan.[12] Orang-orang Wajo sendiri mengaitkan asal usul negeri mereka dengan migrasi dan pendirian permukiman-permukiman baru. Naskah Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo), misalnya, meriwayatkan kisah seorang bangsawan Bugis yang menemukan wilayah dengan tanah terbuka, hutan yang berisikan banyak hewan buruan, serta danau-danau dengan ikan yang berlimpah.[13] Ia lalu memutuskan untuk menetap di sana dan mendirikan negeri Cinnotabiʼ,[14] yang bertransformasi menjadi Wajo pada awal abad ke-15.[15][b]
Menurut tradisi, nama "Wajo" merujuk pada pohon bajoʼ[c] tempat penguasa Cinnotabiʼ La Tenribali[d] mengadakan kontrak sosial dengan ketiga pemimpin daerah Boliʼ, yang kemudian menjadi wilayah inti Wajo.[20][21] La Tenribali ditunjuk untuk memimpin Boliʼ dengan gelar batara ('langit').[20] Riwayat lontara pula mencatat bahwa Batara Wajo ketiga, La Pateddungi To Samallangiʼ, dipaksa turun takhta oleh rakyatnya karena kelakuannya yang tidak bermoral. Ia lalu diusir keluar dari Wajo, dan dibunuh dalam perjalanannya oleh seorang bangsawan Wajo.[22] Atas prakarsa seorang tokoh Wajo yang bernama La Tiringeng To Taba,[23] tata negara Wajo kemudian direformasi dengan pendirian sebuah dewan perwakilan. Dewan ini dipimpin oleh seorang penguasa utama bergelar arung matoa ('raja yang dituakan'[24]) yang diangkat melalui pemilihan. La Paléwo To Palippu dari Béttémpola dipilih oleh dewan sebagai arung matoa pertama Wajo.[25]
Pada masa pemerintahan arung matoa keempat, La Tadampareʼ Puang ri Maggalatung (menjabat sekitar 1491–1521[26]), Wajo menjadi salah satu negeri Bugis yang utama.[27][28] Memasuki abad ke-16, Wajo telah mampu mencapai posisi yang relatif lebih tinggi dalam hubungannya dengan Luwu, salah satu kekuatan utama di Sulawesi Selatan yang sebelumnya mendominasi tanah Wajo pada abad ke-15.[29][30][31] Bersama Luwu, Wajo memenangkan perang melawan Sidenreng di Ajatappareng, hingga memaksa Sidenreng untuk memberikan sebagian wilayahnya di sebelah utara Danau Tempe kepada Wajo.[29][31] Di bawah kepemimpinan La Tadampareʼ, Wajo juga menyerap sisa-sisa wilayah Cina, salah satu negeri Bugis awal yang cukup berpengaruh.[32]
Keseimbangan kekuasaan di kawasan timur Sulawesi Selatan bergeser kembali pada awal abad ke-16 ketika Bone, negeri Bugis di selatan Wajo, memenangkan perang melawan Luwu dan menjadi kekuatan paling utama di kawasan tersebut.[27][33][34] Di sebelah barat semenanjung, kerajaan kembar Gowa dan Tallo yang bersuku Makassar mulai mengembangkan kekuasaannya.[35] Pada awal abad ke-16, Gowa bersekutu dengan Bone dalam perang melawan Luwu dan Wajo,[36] tetapi pada pertengahan abad ke-16 Gowa dan Bone menjadi lawan dalam perebutan hegemoni Sulawesi Selatan. Saat itu, Wajo telah jatuh ke dalam lingkup pengaruh Gowa, dan mendukung Gowa dalam perangnya melawan Bone pada tahun 1560-an.[37][38]
Persekutuan Tellumpoccoé dan Gowa-Tallo (1582–1660)
[sunting | sunting sumber]Kemajuan Gowa disertai perlakuan keras terhadap negeri Bugis bawahannya, yaitu Wajo dan Soppeng. Karena itu, dalam sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh Bone pada tahun 1582, Wajo dan Soppeng turut menyepakati pakta pertahanan bersama yang dikenal sebagai Perjanjian Timurung.[39] Persekutuan ketiga negeri Bugis ini juga dikenal sebagai Tellumpoccoé ('Tiga yang Puncak'). Hubungan antara negeri-negeri anggota persekutuan digambarkan serupa kakak-beradik; Bone sebagai si sulung, Wajo sebagai saudara tengah, dan Soppeng sebagai bungsunya. Persekutuan ini dibentuk demi meraih kembali kedaulatan tanah Bugis dan menghentikan laju ekspansionisme Gowa.[40][41][42] Persekutuan ini berhasil mematahkan serangan Gowa ke Wajo pada tahun 1582 serta serangan ke Bone pada 1585 dan 1588. Satu lagi serangan Gowa pada tahun 1590 batal di tengah jalan menyusul terbunuhnya penguasa Gowa Tunijalloʼ.[43]
Terlepas dari hambatan ini, pada awal abad ke-17, Gowa dan Tallo berhasil menjadi kekuatan paling utama di semenanjung Sulawesi Selatan dengan menyokong perdagangan internasional serta membantu penyebaran agama Islam.[44] Antara tahun 1608 dan 1611, pasukan Gowa berhasil menaklukkan negeri-negeri di Sulawesi Selatan dan mengislamkan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611.[45][46] Setelahnya, Tellumpoccoé menyerahkan kendali atas urusan hubungan luar mereka kepada Gowa, walaupun mereka diperbolehkan mempertahankan persekutuan tersebut dan masih diberi kebebasan untuk mengatur urusan dalam negeri mereka.[40][47] Kebijakan ini ternyata cukup berhasil mengambil hati orang-orang Bugis, khususnya Wajo yang menjadi semakin setia kepada Gowa. Arung Matoa To Mappassaungngé (menjabat 1627–1628[48]) bahkan menawarkan untuk menjaga ibu kota Gowa ketika penguasanya sedang pergi berperang, walaupun ia tidak diharuskan untuk melakukannya.[47] Pada masa ini pula orang-orang Wajo mulai merantau ke Makassar untuk berdagang, bersamaan dengan bertumbuhnya jalur pelayaran dari Danau Tempe ke Teluk Bone melalui muara Sungai Cenrana.[49]
Wajo kembali terlibat dalam konflik ketika penguasa Bone La Maddaremmeng (memerintah 1626–1643), entah dengan alasan penegakan agama atau dominasi politik, menyerang dan menjarah Pénéki, salah satu daerah bawahan Wajo.[40][50] Karena La Maddaremmeng menolak untuk memberi ganti rugi akibat penjarahannya di Pénéki, Wajo pun menyatakan perang terhadap Bone.[40] Gowa dan Soppeng memihak Wajo dalam konflik ini, dan pasukan gabungan mereka berhasil mengalahkan Bone pada akhir 1643.[51][52] Bone dihukum keras dengan dijadikan negeri bawahan Gowa,[40] dan penguasanya digantikan dengan wali negeri dari kalangan Bone yang memerintah atas nama bangsawan Makassar. Sebuah pemberontakan lanjutan dari saudara La Maddaremmeng juga berhasil dipadamkan. Status Bone kembali diturunkan menjadi jajahan Gowa, sementara keluarga bangsawannya ditawan serta dibawa paksa ke Gowa.[53][54] Beberapa wilayah sengketa yang dikuasai Bone diambil alih oleh Wajo, dan sejumlah besar rakyat Bone dibawa untuk melakukan kerja paksa di Wajo.[55][56]
Perang Makassar dan migrasi orang-orang Wajo (1660–1730)
[sunting | sunting sumber]Memasuki perempat kedua abad ke-17, Gowa-Tallo menjadi negeri terkuat di Nusantara bagian timur baik secara politik maupun ekonomi. Akibat upaya kerajaan kembar ini untuk mempertahankan hegemoni, mereka berselisih dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), yang ingin memonopoli perdagangan rempah di Kepulauan Maluku.[57][58] Pada tahun 1660, VOC menyerang Gowa dan berhasil mengambil alih kendali atas benteng di Paʼnakkukang.[59] Gowa lalu memaksa rakyat dari negeri-negeri bawahannya untuk bekerja membangun konstruksi militer sebagai antisipasi terhadap konflik lanjutan. Kerja paksa ini pada akhirnya menjadi pemicu pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan Bone Arung Palakka.[60] Namun, usaha Arung Palakka untuk menghidupkan kembali persekutuan Tellumpoccoé gagal, karena Wajo menolak untuk memutuskan perjanjiannya dengan Gowa.[57][61] Terlebih lagi, Arung Matoa Wajo kala itu, La Tenrilai To Sengngeng (menjabat 1658–1670), merupakan menantu dari Sultan Gowa Hasanuddin.[62] Karena tiadanya dukungan yang cukup, pemberontakan ini pun berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan Gowa dan Wajo, sehingga memaksa Arung Palakka melarikan diri ke Buton, sebelum kemudian pergi ke Batavia untuk meminta bantuan dari VOC.[63]
Selama Perang Makassar (1666–1669), Wajo memberi dukungan penuh bagi Gowa untuk menghadapi VOC serta pasukan pimpinan Arung Palakka dari Bone dan sekutu-sekutunya. Bahkan ketika istana Gowa di Somba Opu jatuh ke tangan musuh dan Gowa-Tallo menyerah secara resmi, Arung Matoa La Tenrilai To Sengngeng tetap menolak untuk tunduk kepada Perjanjian Bungaya seraya terus memberikan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan Bone.[64][65] Pada pertengahan tahun 1670, Arung Palakka pun melancarkan invasi besar-besaran ke tanah Wajo. Meski pasukan Arung Palakka mendapati perlawanan yang gigih dari orang-orang Wajo, benteng ibu kota Wajo di Tosora akhirnya jatuh ke pihak Bone pada Desember 1670. La Tenrilai gugur di medan pertempuran, dan penerusnya La Paliliʼ To Malu (menjabat 1670–1679) terpaksa menandatangani perjanjian yang membatasi kekuatan politik, niaga, serta militer Wajo, ditambah dengan Perjanjian Bungaya.[66][67]
Terlepas dari kekalahannya, Wajo masih mendapati pembalasan yang keras dari Arung Palakka dan orang-orang Bone. Banyak orang Wajo yang diculik, dirampas barangnya, atau dilecehkan; orang Wajo dapat ditampar atau bahkan dibunuh jika tidak menuruti keinginan orang-orang Bone.[68] Bone juga mencaplok wilayah pesisir di muara Sungai Cenrana, yang merupakan satu-satunya jalur sungai yang menghubungkan pusat Wajo ke laut.[69] Pengaduan Wajo kepada VOC di Makassar mengenai perlakuan semena-mena Bone juga tidak digubris, mengingat VOC saat itu menghindari untuk berselisih dengan Arung Palakka yang bantuan militernya mereka butuhkan dalam Pemberontakan Trunajaya (1678–1680).[70][71]
Kesulitan yang dihadapi rakyat Wajo di tanah air menjadi pemicu migrasi keluar.[69] Walaupun tradisi merantau telah menjadi bagian utama dari budaya Wajo sejak masa pendiriannya, tradisi ini semakin menonjol setelah Perang Makassar, ketika sejumlah besar orang Wajo bermigrasi ke luar negeri dan menetap di berbagai wilayah seperti Makassar, Kalimantan bagian timur, Nusa Tenggara, dan kawasan sekitar Selat Malaka.[69][72][73] Komunitas-komunitas rantau ini terhubung baik dengan tanah air mereka maupun kepada sesama komunitas melalui ikatan kekerabatan, niaga, dan hukum.[74] Memasuki abad ke-18, penguasa-penguasa Wajo secara berturut-turut mulai memanfaatkan jaringan ini untuk membangkitkan negeri mereka kembali. Beberapa penguasa, misalnya, memerintahkan rakyat-rakyat Wajo di perantauan untuk membeli senjata demi memperkuat pertahanan Wajo.[74][75]
Perhatian yang signifikan juga diberikan kepada perniagaan; Arung Matoa La Tenriwerrung Puanna Sangngaji (menjabat 1711–1713) bahkan menyatakan bahwa hanya dengan mengejar kekayaan-lah orang-orang Wajo dapat "berdiri tegak".[74] Penerusnya, La Saléwangeng To Tenrirua (menjabat 1713–1736), mendukung perdagangan internasional dengan cara-cara yang lebih praktis.[76] Ia mengeruk aliran sungai yang menuju ibu kota Tosora untuk memperlancar akses bagi kapal-kapal besar, memperkuat industri pertanian dan perikanan dengan meminta mereka menunjuk wakil dalam pemerintahan yang disebut sebagai akkajenangngeng, mengadakan jabatan birokrasi baru yang bertugas secara khusus untuk mempromosikan perdagangan, serta mendirikan sebuah institusi yang berperan sebagai bank peminjam modal untuk perniagaan dan pertanian sekaligus sebagai badan jaminan sosial.[75][76][77]
La Maddukelleng dan kemelut di Wajo (1730–1795)
[sunting | sunting sumber]Semenjak kematian Arung Palakka pada 1696, tidak ada penerusnya yang mampu mempertahankan hegemoni Bone di kawasan Sulawesi Selatan sebaik dirinya. Kekosongan kekuasaan ini membuat perdagangan Wajo dapat tumbuh dengan pesat tanpa halangan yang berarti.[78] Interaksi komunitas rantau Wajo dengan tanah air mereka semakin erat, dan memuncak pada tahun 1730-an ketika petualang Wajo La Maddukelleng kembali ke Sulawesi Selatan.[79] Pada tahun 1736, ia dinobatkan sebagai penguasa Pénéki, lalu memerintahkan agar orang-orang Bone segera hengkang dari negerinya. Bone membalas dengan menyerang Pénéki dan membakar beberapa pemukiman lainnya. Alih-alih memberikan efek jera, serangan ini justru membuat banyak rakyat Wajo semakin simpatik terhadap La Maddukelleng, sehingga ia pun terpilih sebagai arung matoa yang baru (menjabat 1736–1754).[80][e] Para perantau Wajo dari segala penjuru (seperti Paser, Sumbawa, dan Makassar) juga turut memberikan sokongan, baik dalam bentuk harta benda, persenjataan, serta tenaga militer yang signifikan.[84] Dengan dukungan luas dari rakyatnya di dalam dan luar negeri, La Maddukelleng membawa Wajo terbebas dari dominasi Bone.[81] Pada pertengahan tahun 1737, kedua negeri ini menandatangani perjanjian damai, dan Bone diharuskan untuk menebus segala kerugian yang diderita Wajo akibat penindasan penguasa-penguasa Bone sejak Perang Makassar.[85]
Setelah kembali berdaulat secara utuh, Wajo tampil sebagai negeri paling utama di Sulawesi Selatan.[81][86] Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ bahkan menyebut bahwa Wajo kala itu diakui sebagai pemimpin Tellumpoccoé.[85] Begitu kuatnya Wajo kala itu, sehingga pada tahun 1739, La Maddukelleng berani menyerukan agar Tellumpoccoé dan Gowa bersatu untuk mengusir Belanda dari Makassar. Akan tetapi, ekspedisi ini berakhir dengan kegagalan akibat desersi yang dilakukan oleh sekutu-sekutu Wajo. Bone bahkan berbalik memihak Belanda.[87][88] Pada awal tahun 1741, Belanda bersama Bone dan sekutunya balas menyerang Wajo dan mengepung ibu kota Tosora. Hanya saja, cuaca yang tidak mendukung serta keadaan finansial dan moral yang kurang baik menyebabkan Belanda memilih untuk mundur pada bulan Maret 1741.[89]
Pada tahun 1740-an, sebuah konflik baru muncul. La Gau, Datu Pammana (negeri bawahan Wajo), berselisih paham dengan La Maddukkelleng perihal siapa yang berhak mewarisi takhta Sidenreng, yang kala itu dikuasai oleh saudara La Gau. Perang saudara kemudian pecah selama berbulan-bulan antara pihak yang mendukung La Maddukelleng dan pihak yang mendukung La Gau.[90] Walaupun keduanya sempat berdamai, La Maddukelleng kembali menyulut peperangan ketika ia secara sepihak memutuskan bahwa wilayah Mojong yang disengketakan oleh Bélawa (daerah bawahan Wajo) dan Sidenreng merupakan milik Bélawa. Akibat perang berkepanjangan serta kebijakan-kebijakan yang sering kali diputuskan sesuka hati tanpa mengindahkan adat, La Maddukkelleng pun mulai kehilangan dukungan dari rakyatnya, hingga akhirnya ia meletakkan jabatannya pada tahun 1754.[91][92]
La Maddanaca terpilih untuk menggantikan La Maddukelleng, tetapi ia mengundurkan diri satu tahun kemudian, sebelum kemudian terbunuh akibat diamuk di Makassar. Posisinya digantikan oleh La Passaung.[93] Pada masa pemerintahannya Wajo lagi-lagi mengalami konflik. La Maddukelleng yang sudah tak lagi berkuasa berusaha untuk memengaruhi politik Wajo dengan menulis surat ke dewan pemerintahan untuk memperingatkan mereka agar mewaspadai La Gau, yang kala itu masih menjabat sebagai Pilla (salah satu dari tiga panglima besar Wajo).[94] Perpecahan akibat pertentangan antara La Maddukelleng dan La Passaung mengakibatkan keresahan di Wajo sehingga banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. La Gau sendiri ditengarai ingin memperkuat negerinya Pammana dan menjadikannya sejajar dengan Wajo. Akibat kejadian-kejadian ini, La Passaung pun mundur dari jabatannya setelah dua tahun memerintah.[95][96]
La Passaung digantikan oleh La Mappajung Puanna Salowo. Belum lama ia dilantik, Bone menyatakan perang terhadap Pénéki,[95] karena La Maddukelleng menolak untuk menyerahkan putranya yang mencuri kuda Arumponé La Temmassongé (memerintah 1749–1775).[97] Pemerintah pusat Wajo memilih untuk tidak terlibat dalam perang ini, dan baru mengirimkan pasukan ke Pénéki ketika La Maddukelleng sudah dalam keadaan terpojok.[98] La Maddukelleng kemudian diadili oleh Tellumpoccoé pada sekitar tahun 1763, tetapi para utusan dari tiap negara anggota tidak bersepakat mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya untuk segala kesalahan yang telah ia lakukan. La Maddukelleng pun meninggal sebelum ia sempat mendapatkan hukuman apapun.[99] La Mappajung mengundurkan diri setelah tujuh tahun memimpin; posisinya digantikan oleh La Malliungeng To Alléong, yang juga mengundurkan diri pada tahun 1770 setelah dua tahun memimpin. Selama bertahun-tahun berikutnya, dewan pemerintahan Wajo tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru, sehingga posisi tersebut dibiarkan lowong hingga tahun 1795.[95]
Masa akhir dan kemunduran (1795–1905)
[sunting | sunting sumber]Memasuki abad ke-19, agama Islam semakin kuat mengakar di Wajo. Arung Matoa La Mallalengeng (menjabat 1795–1817[82]) memerintahkan agar para pemimpin di pelosok memperbaiki masjid dan surau di daerah masing-masing, serta meramaikannya dengan kajian-kajian Al-Qur'an dan pembacaan barzanji tiap malam Jumat.[95] Di bawah pengaruh ulama yang terinspirasi gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi, La Memmang[f] To Appamadeng (menjabat 1821–1825) memerangi adat-adat yang dianggap takhayul, menghancurkan tempat-tempat yang disucikan oleh masyarakat pra-Islam, dan berusaha untuk menerapkan syariat Islam dengan tegas (semisal menerapkan hukum cambuk dan potong tangan, serta mewajibkan penggunaan hijab), walaupun usahanya ini tidak bertahan lama karena penentangan dari rakyatnya.[100]
Pada dekade 1830-an,[101] sebuah kemelut perebutan takhta terjadi di negeri Sidenreng antara La Pangnguriseng dan saudara tirinya La Patongi. Sebagian besar bangsawan Wajo memihak La Patongi yang merupakan cucu dari seorang Ranreng (penguasa wilayah) Talotenreng,[102] tetapi sebagian kecil faksi memihak La Pangnguriseng yang juga didukung oleh Bone, Soppeng, dan Belanda. Meski pada awalnya La Patongi kalah dan tersingkir, ia tidak juga melepaskan klaimnya atas takhta Sidenreng.[103] Perselisihan ini menjadikan pemerintahan Wajo tidak stabil, dan selama bertahun-tahun para anggota dewan tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru. Pengangkatan La Paddengngeng (menjabat 1839–1845) sebagai arung matoa tidak banyak mengubah keadaan; malah, ia memilih pergi ke luar Wajo akibat perselisihannya dengan para Petta Ennengngé (enam anggota dewan tertinggi Wajo selain arung matoa) dan tidak lagi terlibat dalam politik Wajo hingga akhir hayatnya.[101][102]
Perang perebutan takhta Sidenreng berlanjut pada masa pemerintahan Arung Matoa La Pawellangi Pajumpéroé. Ia kemudian digantikan oleh La Cincing Akil Ali, saudara kandung La Pangnguriseng. Sebagaimana La Paddengngeng, La Cincing lebih banyak mengabaikan tugasnya dan menetap di luar Wajo, sehingga perselisihan dalam pemerintahan Wajo semakin meningkat, bahkan pecah menjadi perang saudara. Akibatnya, pemerintahan dan penegakan hukum tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga aksi kejahatan merajalela di seluruh Wajo.[102] Barulah pada masa pemerintahan La Koro (1885–1891), hukuman keras ditegakkan bagi para pelaku kejahatan, sehingga orang-orang menjadi segan kepadanya. Ia juga melakukan reformasi pada bidang militer dengan mengangkat jenderal, kolonel, serta mayor yang memiliki pasukan tetap.[104]
Pertikaian yang berlarut-larut selama abad ke-19 melemahkan Wajo dan negeri-negeri Bugis lainnya, sehingga posisi Belanda di Sulawesi Selatan semakin kuat.[101][105] Sepanjang abad ke-19 pula, Belanda beberapa kali memerangi Bone untuk membatasi kekuatan sekutu lamanya tersebut. Puncaknya pada tahun 1860, Bone terpaksa menandatangani perjanjian yang menurunkan statusnya dari sekutu menjadi negara vasal.[106] Mendekati akhir abad ke-19, Belanda mulai melakukan ekspansi untuk menundukkan secara penuh negeri-negeri Nusantara yang masih belum berada di bawah naungan Hindia Belanda, termasuk di antaranya negeri-negeri Sulawesi Selatan.[107] Menyusul takluknya Gowa dan Bone pada tahun 1905, Wajo dan Soppeng pun menuruti keinginan Belanda dan menandatangani Korte Verklaring, yaitu pernyataan pendek yang mengakui bahwa mereka merupakan negara bawahan yang setia kepada Belanda. Wajo dan negeri-negeri lainnya berjanji menyerahkan segala urusan luar negeri mereka, serta menuruti peraturan dan perintah yang diberikan oleh Kerajaan Belanda melalui pemerintahan kolonial.[108][109]
Sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda dan Indonesia (1905–1960)
[sunting | sunting sumber]Setelah kematian Arung Matoa Ishak Manggabarani (menjabat 1900–1916), Wajo tidak memiliki arung matoa selama satu dekade penuh. Selama masa itu, terjadi beberapa pertikaian yang melibatkan Arung Pénéki sekaligus Datu Larompong La Oddang. Dalam salah satu pertempurannya melawan pasukan Bone, ibu kota Wajo di Séngkang bahkan sempat dibakar oleh musuh.[110] La Oddang naik sebagai arung matoa pada akhir 1926. Pada masa kepemimpinannya, dibuatlah pembagian tugas yang jelas serta kantor-kantor khusus bagi para Petta Ennengngé,[111] sementara jabatan-jabatan dewan perwakilan dihapuskan.[112] Kepala-kepala wanua juga diserahi tugas yang lebih besar untuk mengurus masalah keuangan dan hukum di daerah masing-masing. Untuk memajukan kesehatan, ia juga menempatkan seorang dokter di ibu kota serta pembantu klinik di beberapa wanua.[111] Pada masa ini pula Belanda mulai membangun jalan darat menuju Wajo, karena jalur perairan dari muara Cenrana sudah tidak lagi kondusif untuk dilalui perahu besar akibat pendangkalan.[113]
Pasukan Jepang mendarat di Sulawesi Selatan pada 9 Februari 1942. Selama Perang Pasifik, tenaga Jepang dipusatkan pada usaha untuk memenangkan perang, sehingga Jepang tidak memedulikan pembangunan di Wajo atau negeri Sulawesi Selatan lainnya.[114][115] Meski begitu, pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan tidak separah di Jawa; penduduk setempat tidak harus menjadi romusha, walaupun mereka dipaksa untuk menyediakan beras bagi pasukan Jepang.[116] Tidak lama setelah Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan bersama dengan tentara Sekutu.[117] Opini di kalangan aristokrat Sulsel pun terbelah; sebagian di antaranya mengikuti Arumponé Andi Mappanyukki dengan mendukung pihak pro-republik, sementara sebagian lagi bersedia bekerja sama dengan Belanda terlebih dahulu. Di Wajo, Arung Matoa Andi Mangkonaʼ dan sebagian besar pejabat tinggi Wajo memilih untuk bekerja sama.[118] Sebagian kecil petinggi Wajo, seperti Cakkuridi Andi Makkulau (menantu Andi Mappanyukki) dan Ranreng Tua Andi Ninnong, menentang posisi ini. Andi Makkulau mundur ke hutan dan menjadi gerilyawan hingga tertangkap dan dipenjara.[119][120] Suami Andi Ninnong terbunuh dalam kampanye pasifikasi Westerling, sementara putranya tewas di Jawa saat membantu perjuangan di sana.[121][122]
Pada Desember 1946, Wajo bergabung ke dalam Negara Indonesia Timur sebagai swapraja di bawah Daerah Sulawesi Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat setelah Konferensi Meja Bundar tahun 1949.[119] Arung matoa terakhir, Andi Mangkonaʼ, meletakkan jabatannya pada 21 November 1949, walaupun Wajo masih terus bertahan sebagai swapraja selama beberapa tahun berikutnya.[123] Tatanan masyarakat lama Sulawesi Selatan pun berubah drastis setelah kemerdekaan Indonesia, terutama setelah pemberontakan pemberontakan DI/TII yang diprakarsai Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada awal 1950-an.[124] Akibat pemberontakan ini, banyak orang Wajo yang mengungsi dan merantau ke luar.[125] Daerah pesisir dan pegunungan yang jauh dari Séngkang menerima dampak paling parah dalam konflik ini.[126] Swapraja Wajo yang tadinya merupakan bagian dari Daerah Otonom Bone di bawah Provinsi Sulawesi pun diubah menjadi daerah otonom tingkat II (setingkat kabupaten) pada tahun 1957, dengan Andi Tanjong sebagai kepala daerah pertamanya.[127] Sistem swapraja baru benar-benar dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959.[128] Setahun kemudian, seluruh 20 wanua bagian Wajo pun dilebur menjadi sepuluh kecamatan, mengikuti sistem pembagian administratif di wilayah Indonesia lainnya.[124][129]
Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Pemimpin tertinggi Wajo disebut dengan gelar arung matoa.[9] Seorang arung matoa dipilih di antara kalangan "darah putih" atau ningrat.[130] Jabatan arung matoa tidak dapat dirangkap dengan jabatan pemerintahan lainnya.[131] Jabatan ini juga tidak dapat diwariskan mengikut keturunan, dan hanya dapat dipegang seumur hidup sepanjang pemegangnya dianggap layak.[132][133] Arung matoa memiliki kekuasaan yang terbatas; peran utamanya adalah menjadi simbol pemersatu bagi negerinya, sebagai hakim dan panglima perang tertinggi, serta sebagai perwakilan Wajo dalam urusan luar negeri.[130][134][135] Penguasa Wajo lazimnya diharapkan untuk tunduk kepada negara dan hukum adat yang telah menggariskan otonomi komunitas-komunitas yang dipimpinnya. Jika tidak, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. Arung Matoa La Samaléwa To Appakiung (menjabat 1612–1616), misalnya, diturunkan oleh rakyatnya, sebab ia disebut telah bersikap semena-mena. Adat serupa juga dapat ditemukan pada negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya, walaupun mungkin tidak sekuat di Wajo.[4][136] Monarki di Gowa dan Bone menganut sistem keturunan, dan penguasa-penguasa di sana umumnya cenderung lebih otoriter (serupa penguasa zaman feodal di Eropa) bila dibandingkan dengan arung matoa di Wajo.[4][137][138]
Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari di Wajo, arung matoa dibantu oleh tiga pasang pemimpin sipil dan militer yang dikenal secara kolektif sebagai Petta Ennengngé ('Tuan yang Enam'); setiap pasangnya mewakili masing-masing limpo.[139][140] Pemimpin sipil sebuah limpo disebut ranreng, sementara pemimpin militernya disebut baté lompo.[141] Gelar bagi para baté lompo disesuaikan dengan warna panji yang mereka bawa, yaitu Pilla atau 'Merah' bagi Béttémpola, Patola atau 'Warna-Warni' bagi Talotenreng, dan Cakkuridi atau 'Kuning' bagi Tua.[9][142] Setiap ranreng dan baté lompo dalam Petta Ennengngé memiliki kekuasaan yang setara di antara mereka dan sama besarnya dengan sang arung matoa. Meski begitu, secara tradisi, Pilla Wajo-lah yang dianggap sebagai panglima Petta Ennengngé tertinggi di kala perang, sementara Ranreng Béttémpola dianggap sebagai pejabat Petta Ennengngé tertinggi di kala damai.[9][143] Jika posisi arung matoa sedang lowong, maka Ranreng Béttémpola pula yang mengambil alih tugasnya untuk sementara hingga terpilih arung matoa yang baru.[95][144][145] Keseluruhan Petta Ennengngé ditambah dengan arung matoa membentuk dewan pemerintahan tertinggi yang disebut sebagai Petta Wajoʼ ('Tuan di Wajo').[9][141]
Petta Wajoʼ merupakan bagian dari dewan perwakilan lebih besar yang terdiri dari 40 anggota, juga dikenal sebagai Arung Patappuloé ('Empat Puluh Raja'), dengan arung matoa sebagai ketuanya.[139][146] Selain dari ketujuh anggota Petta Wajoʼ, setiap limpo menyumbang seorang suro atau utusan, 4 orang arung mabbicara atau hakim yang memutuskan perkara, serta 6 orang arung paddokki-rokki atau hakim yang hanya bertugas sebagai penasihat;[9][147] setiap perkara dari masyarakat akan diperiksa lebih dahulu oleh mereka sebelum diteruskan ke arung mabbicara.[148] Arung mabbicara juga merangkap jabatan sebagai kepala daerah di bawah limpo, sementara arung paddokki-rokki tidak memegang jabatan lain selain sebagai anggota dewan pemerintahan.[149] Keseluruhan anggota dewan hanya berkumpul dalam masa-masa tertentu saja, termasuk di antaranya saat pemilihan arung matoa yang baru.[150][151]
Kekuatan Arung Patappuloé diimbangi pula oleh tiga orang punggawa, satu dari setiap limpo, sebagai perwakilan non-ningrat yang dipilih di antara para tetua di daerah.[139][140] Para punggawa ini memiliki wewenang yang cukup signifikan. Menurut laporan James Brooke, penjelajah Inggris yang kelak menjadi Raja Sarawak:[152]
Kekuatan pangawas [sic], atau tribunes of the people [sic], lumayan besar. Hanya mereka yang berhak memanggil anggota dewan empat puluh untuk melakukan rapat. Mereka memiliki hak veto untuk menolak penunjukan aru matoah [sic]. Hanya perintah merekalah yang dapat menjadi panggilan sah untuk berperang, tiada pejabat maupun dewan yang mempunyai hak, atau bahkan kuasa, untuk memanggil rakyat merdeka ke medan pertempuran.[g]
Selain memiliki punggawa sebagai perwakilan permanen resmi di dalam pemerintahan, tetua-tetua (uluanang) dari kalangan orang merdeka beserta kepala-kepala desa di Wajo dapat pula berkumpul dalam sebuah musyawarah luar biasa yang boleh diadakan jika Arung Patappuloé tidak mencapai kata sepakat dalam membahas sebuah masalah. Para rakyat merdeka ini dapat bertukar pikiran dan memberi masukan kepada pemerintah mengenai penyelesaian terbaik bagi masalah tersebut, walaupun keputusan akhirnya tetap berada di tangan arung matoa.[145][153][154]
Struktur pemerintahan lokal tiap daerah di Wajo berbeda-beda, tetapi secara garis besar memiliki pola pembagian wewenang dan kekuasaan yang tidak berbeda jauh dengan pemerintahan pusat. Arung Paria, misalnya, hanya bersifat simbolis, sementara wewenang pemerintahan ada pada tangan wakilnya yang disebut arung malolo. Paria juga dibagi menjadi tiga limpo, yang masing-masingnya dipimpin oleh sepasang arung dan arung malolo, serta beberapa pejabat rendah dengan tugas yang berbeda-beda. Wilayah Pammana dipimpin oleh seorang datu, yang diwakili oleh maddanreng dalam urusan luar daerah, perang dan perayaan, atau oleh sulléwatang dalam urusan daerah dan keadaan gawat. Sementara Bélawa memiliki dua orang arung, satu di wilayah barat dan satu di wilayah timur; masing-masingnya dibantu oleh seorang sulléwatang yang bertindak sebagai panglima perang.[155]
Di bawah penjajahan tidak langsung yang diberlakukan oleh Belanda, Wajo masih diperbolehkan untuk memiliki pemerintahan sendiri, walaupun kekuasannya sangatlah terbatas.[109][156] Secara praktis, hampir seluruh jabatan dalam dewan perwakilan dihapuskan oleh Belanda, kecuali jabatan para Petta Wajoʼ, yang kini bersifat birokratis semata.[112][157] Kekuasaan sebenarnya ada pada kontrolir civiel gezaghebber ('komandan sipil') yang mewakili pemerintah Hindia Belanda.[109][156] Namun, meski kekuasaan (power) kalangan aristokrat Sulawesi Selatan pada masa penjajahan berkurang, ahli ilmu politik Barbara Sillars Harvey berpendapat bahwa mereka masih memiliki wewenang (authority) yang signifikan, sehingga para pamong praja Belanda masih memerlukan kerja sama mereka untuk memastikan kepatuhan masyarakat kepada pemerintah kolonial.[158][h]
Masyarakat dan kebudayaan
[sunting | sunting sumber]Hak-hak dan hierarki sosial
[sunting | sunting sumber]Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa Wajo memiliki bukti paling kuat untuk pelembagaan hak-hak kebebasan bila dibandingkan dengan masyarakat pra-modern Asia manapun.[159][i] Naskah-naskah Wajo selalu menekankan bahwa "orang-orang Wajo itu merdeka", dan bahwa tuan mereka hanyalah hukum adat yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Prinsip ammaradékangeng atau 'kemerdekaan' di Wajo mencakup, antara lain: jaminan keselamatan pribadi dan kepemilikan, akses terhadap keadilan, serta kebebasan untuk berpendapat, bergerak, dan membuat kontrak.[160][161][162][163] Sumber-sumber Wajo menyebutkan bahwa hak-hak kemerdekaan ini adalah adat turun-temurun yang sudah demikian adanya,[27] sehingga seorang arung matoa sekalipun tidak boleh menentangnya. Ketika seorang arung matoa dilantik, ia juga mesti bersumpah untuk menjaga hak-hak ini.[163][164] Walaupun begitu, hak-hak "kemerdekaan" ini memiliki batasan dan tidak berlaku sepenuhnya bagi seluruh masyarakat Wajo. Kalangan budak tidak memiliki hak yang sama dengan kalangan orang merdeka, apalagi kalangan ningrat.[165][166]
Secara garis besar, masyarakat Bugis dahulu terbagi ke dalam tiga golongan: 1) bangsawan atau ningrat, 2) orang merdeka, dan 3) budak.[j] Golongan ningrat secara teori mencakup siapapun yang memiliki "darah putih". Hanya saja, karena pernikahan dapat terjadi lintas golongan, dan nasab diturunkan secara bilateral (dari kedua orang tua), masyarakat Bugis mengembangkan penggolongan sosial yang kompleks, berdasarkan seberapa murni "darah putih" yang dimiliki oleh seseorang.[169][170] Tingkat tertinggi disebut sebagai anaʼmatola ('putra-putri mahkota'), yang mencakup orang-orang dengan kemurnian darah tertinggi, termasuk di antaranya para arung matoa dan anggota Petta Ennengngé. Di bawah mereka, ada golongan anakarung ('anak penguasa'), yang mencakup bangsawan-bangsawan rendah, termasuk di antaranya para arung atau penguasa negeri-negeri bawahan Wajo. Kedua golongan ini dianggap sebagai bagian dari kalangan ningrat. Tingkat berikutnya disebut tau décéng ('orang baik-baik'), yaitu golongan rakyat biasa yang masih memiliki sedikit darah bangsawan, setingkat di atas kalangan tau maradéka ('orang merdeka') atau tau sama ('orang setara').[171][172]
Penggolongan antara bangsawan dengan derajat tertinggi hingga orang merdeka bukanlah kasta tetap turun-temurun dengan batas-batas yang jelas, karena pernikahan tidak dibatasi sesama golongan (endogami) saja.[169] Terutama di Wajo, batas-batas antara kelompok bangsawan dengan orang merdeka tergolong sangat cair bila dibandingkan dengan negeri-negeri Bugis lain.[15] Misionaris dan ahli bahasa Benjamin Frederik Matthes, misalnya, menyebut bahwa seorang penguasa wanita di Wajo dapat saja mempersunting lelaki merdeka non-bangsawan tanpa menurunkan status sosialnya, tidak seperti di negeri Bugis lainnya.[173][174] Sementara, James Brooke mengamati bahwa derajat sosial orang merdeka di Wajo dapat meningkat seiring dengan pertumbuhan kekayaan harta benda.[175] Jurang yang lebih lebar terdapat antara orang merdeka dan golongan ata atau budak, yang berada di posisi paling bawah dalam hierarki masyarakat Bugis.[171][172] Seseorang dapat diperbudak sebagai hukuman akibat kejahatan atau karena tidak mampu membayar utang. Perbudakan dapat bersifat turun-temurun; anak dari sepasang budak akan dianggap budak pula. Seorang budak yang dibebaskan akan menjadi orang merdeka, dan siapapun yang memiliki ayah orang merdeka juga akan dianggap sebagai orang merdeka.[170]
Kepercayaan dan falsafah hidup
[sunting | sunting sumber]Kekerabatan dan gender
[sunting | sunting sumber]Perempuan Bugis di negeri-negeri Sulawesi Selatan pada masa prakolonial terlibat secara rutin di dalam banyak aspek kemasyarakatan. John Crawfurd, penjelajah Skotlandia dari abad ke-18, mengamati bahwa wanita Bugis juga sering kali dinobatkan sebagai penguasa, bahkan jikapun posisi penguasa tersebut mesti dipilih dengan seksama (bukan diwariskan turun-temurun).[176] Menurut sejarawan Stephen C. Druce, dalam hal representasi wanita dalam pemerintahan, negeri-negeri Bugis kala itu lebih maju dibandingkan dengan negeri-negeri Eropa semasa. Secara khusus, James Brooke menekankan dalam catatan perjalanannya bahwa seluruh jabatan tinggi di Wajo dapat diduduki oleh wanita.[177][178] Ketika ia berkunjung ke Wajo pada tahun 1840, empat dari enam anggota Petta Ennengngé yang sedang menjabat merupakan wanita, yang sering kali "tampil di depan publik layaknya para pria; berkuda, memerintah, dan bahkan mengunjungi orang-orang asing, tanpa perlu memberitahu atau meminta izin pada suami-suami mereka."[176][178][k]
Bahasa dan kesusastraan
[sunting | sunting sumber]Bahasa Bugis dituturkan tanpa banyak perbedaan berarti di sebagian besar jazirah selatan Sulawesi, termasuk di Wajo. Ahli bahasa Timothy dan Barbara Friberg menduga bahwa alasan bahasa Bugis relatif tidak banyak mengalami pemajemukan adalah akibat eratnya pertalian darah di kalangan ningrat antarnegeri Bugis sejak berakhirnya Perang Makassar.[179] Penutur ragam-ragam bahasa Bugis di Wajo secara umum masih dapat memahami ragam yang digunakan di wilayah inti Soppeng, Bone, dan Sidenreng.[180] Berdasarkan laporan Brooke, kalangan pedagang Wajo yang rutin berlayar ke seantero Nusantara pada abad ke-19 juga fasih berbahasa Melayu di samping bahasa ibu mereka. Semenjak masyarakat Wajo beralih ke agama Islam, bahasa Arab digunakan dalam berbagai ritual peribadatan, meskipun Brooke menyebut bahwa sangat jarang ada orang Wajo yang mampu memahaminya.[181]
Khazanah kesusastraan Wajo, sebagaimana di negeri Sulawesi Selatan lainnya, tumbuh dari tradisi lisan yang kaya sebelum berkembang dalam bentuk tulisan.[182] Sejak awal abad ke-15, bahasa Bugis mulai dipakai utamanya untuk merekam silsilah, menggunakan aksara Lontara yang merupakan turunan Brahmi.[183][184] Namun, meski menggunakan sistem penulisan yang diturunkan dari aksara asal India, Sulawesi Selatan tidak pernah mengalami Indianisasi seperti kebanyakan wilayah lain di Nusantara yang memiliki budaya menulis sebelum masa modern.[185][186] Selama setidaknya dua abad hingga agama Islam dipeluk secara luas pada sekitar tahun 1600, kesusastraan Sulawesi Selatan secara garis besar terbebas dari pengaruh luar, dan memberikan gambaran masyarakat Austronesia pra-modern yang jarang sekali dapat ditemui.[187] Gambaran ini dapat ditemui, antara lain, dalam adikarya Bugis La Galigo. Lingkup pengetahuan budayanya yang luas dan ensiklopedis seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat Bugis, termasuk orang Wajo, sebagai "rujukan" dalam menjalani kehidupan.[188] Penggalan naskah Galigo lazim disimpan dengan takzim dan dibacakan dalam upacara-upacara adat, bahkan di kalangan masyarakat rantau.[182] Beberapa penggalan naskah Galigo tertua yang masih bertahan hingga sekarang disalin oleh seorang penulis Wajo di perantauan.[189]
Wajo juga merupakan salah satu negeri Bugis yang kaya akan beragam naskah attoriolong ('perkara orang-orang terdahulu') atau kronik, sebuah langgam penulisan sejarah yang diilhami tradisi serupa di Gowa dan Bone.[187][190] Namun, tidak seperti attoriolong di negeri-negeri tetangga yang lazimnya disusun hingga usai tanpa banyak penambahan lanjutan, attoriolong di Wajo senantiasa dikembangkan dalam upaya menulis sejarah lengkap.[191] Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ, sumber utama sejarah Wajo pada masa modern awal, tergolong sangat panjang dan mendetail bila dibandingkan dengan kronik Bugis pada umumnya yang hanya berisi ringkasan riwayat pemerintahan setiap penguasa. Menurut tradisi, kronik ini disusun oleh Ranreng Béttémpola La Sangaji berdasarkan kumpulan catatan sejarah pada masa pemerintahan Arung Matoa La Mappajung (menjabat 1764–1767),[192] walaupun sepertinya naskahnya terus-menerus disempurnakan dengan penambahan dan pembaruan hingga menjadi versi yang lazim dikenal saat ini.[191]
Arsitektur dan pola permukiman
[sunting | sunting sumber]Perekonomian
[sunting | sunting sumber]Sebagian besar rakyat Wajo mendiami kawasan tepi danau yang subur di pedalaman semenanjung.[193] Sebagaimana masyarakat Bugis lainnya, kebanyakan dari mereka mencari penghidupan dengan bercocok tanam; beras dan jagung adalah dua jenis tumbuhan utama yang dibudidayakan oleh orang Wajo. Selain menjadi petani, banyak pula orang Wajo yang menjadi nelayan, baik yang wilayah tangkapannya di perairan pedalaman atau di sekitar wilayah pantai.[194]
Wajo juga memiliki tradisi berniaga yang paling kuat di antara orang-orang Bugis. Wilayah pedalaman subur di pusat Wajo terhubung dengan laut melalui Sungai Cenrana yang dapat dilalui kapal besar (walaupun sejak abad ke-19 sungai ini berangsur-angsur mendangkal[195]). Keadaan geografis ini mendukung keterlibatan aktif orang Wajo dalam perdagangan maritim[196] berdasarkan siklus angin musiman.[197] Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Wajo ke berbagai negeri (baik yang berasal dari tanah air maupun diperoleh dalam pelayaran) mencakup beras, kain, rempah, intan, emas, hingga kemenyan arab. Sementara, komoditas yang dibawa pulang ke Wajo antara lain mencakup beragam tekstil asal India dan Eropa, senjata api, perabotan, bijih besi, candu, serta tembakau. Selain barang, terdapat pula bukti perdagangan hewan ternak terutama dengan Kalimantan Timur, serta perdagangan budak untuk memenuhi permintaan di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Batavia.[198][199] Mata uang yang lazim digunakan hingga abad ke-19 adalah koin perunggu, baik yang diproduksi di Tiongkok, Singapura, atau Batavia.[200]
Sebagian besar pedagang Bugis rantau sejak akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 berasal dari Wajo.[201][202] Pada masa ini, pedagang Bugis, termasuk yang berasal dari Wajo, bertindak sebagai perantara bagi pedagang dari negeri-negeri besar dan kecil di kawasan Asia Tenggara Maritim.[73][203] Perniagaan orang-orang Wajo menjangkau hampir seluruh pusat perdagangan di kawasan ini,[193] baik yang dekat di Sulawesi,[l] Kalimantan,[m] dan Nusa Tenggara,[n] maupun yang jauh di Papua, Sumatra, Semenanjung Malaya, Sulu, bahkan Kamboja.[73][201][204][205] Jaringan perdagangan Wajo berkembang pesat selama abad ke-18 dan 19 hingga mampu menyaingi perdagangan Belanda;[206][207] perniagaan tekstil VOC bahkan mengalami penurunan tajam akibat "penyelundupan" tekstil India oleh pedagang-pedagang Wajo yang mampu menghindari penegakan aturan monopoli.[208][209] Pedagang-pedagang Wajo juga sering kali berkolaborasi dengan Inggris yang merupakan saingan Belanda. Pada tahun 1824, bandar Inggris di Singapura disinggahi oleh 90 kapal dagang dari Wajo, dan jumlah ini bertambah menjadi 120 pada tahun berikutnya.[209] Menurut laporan John Crawfurd, pada tahun 1820-an saja jumlah perantau Wajo di Singapura telah mencapai sekitar 2.000 hingga 3.000 jiwa.[193] Kehadiran pedagang-pedagang Wajo merupakan salah satu kunci utama keberhasilan komersial Singapura sebagai bandar persinggahan.[209] Ekspansi perdagangan Wajo pada abad ke-18 dan 19 juga berdampak pada meningkatnya kemakmuran di tanah Wajo, serta menyokong pertumbuhan penduduk pada permukiman berbasis niaga di sepanjang jalur pelayaran menuju laut.[210]
Perniagaan Wajo dapat berkembang dengan baik karena dukungan dari pemerintah di Wajo serta komunitas-komunitas Wajo di perantauan.[211] Praktik-praktik perniagaan Wajo, menurut sejarawan Hans Hägerdal, dapat dianggap sebagai paralel dari konsep "kapitalisme dagang" yang berkembang di Eropa.[212] Pemimpin-pemimpin dari komunitas Wajo di perantauan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan kepentingan mereka. Salah satu konferensi pemimpin rantau pada sekitar awal abad ke-18 menghasilkan kodifikasi hukum yang mengatur perdagangan dan pelayaran orang-orang Wajo, atau yang lazim dikenal sebagai Undang-Undang Amanna Gappa.[213][o] Hukum ini utamanya ditujukan untuk menetapkan praktik bisnis yang adil: bahasannya mencakup masalah seperti peminjaman modal (uang maupun barang), pembagian untung-rugi, warisan, hak-hak penumpang kapal dagang, hingga perlindungan properti.[215] Aturan-aturan ini menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian konflik antar pedagang-pedagang Wajo.[216] Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, hukum semacam ini "sangat tidak lazim, kalau tidak dapat dikatakan unik, untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara pada masa modern awal".[217][p] Catatan Wajo dari abad ke-18 menyebutkan bahwa para pelanggar hukum ini mendapatkan hukuman yang keras, sehingga tampaknya hukum ini berlaku dengan efektif kala itu.[216]
Pemerintah Wajo menyokong perdagangan di perantauan dengan berbagai bentuk kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi di tanah air. Pada awal abad ke-18, misalnya, Arung Matoa La Saléwangeng memerintahkan para petani untuk menyisihkan sebagian beras hasil panen mereka untuk disimpan di dalam lumbung yang dikelola pemerintah. Beras ini kemudian digunakan untuk memberi makan orang-orang yang membutuhkan serta sebagai cadangan pangan dalam masa paceklik. Sebagian pendapatan pajak dalam bentuk uang juga disisihkan sebagai dana yang dimiliki secara bersama. Dana ini dapat digunakan untuk keperluan investasi dalam bidang pertanian dan perdagangan, atau untuk keperluan jaminan sosial.[76] Pemerintah dapat meminjamkan dana tersebut kepada rakyat yang ingin memulai usaha, dengan syarat, pinjaman tersebut dikembalikan berikut sepertiga dari keuntungan mereka. Hasil keuntungan ini kemudian digunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan gudang senjata serta renovasi masjid negara. Sistem ini memungkinkan rakyat Wajo dengan sumber daya terbatas untuk ikut terlibat dalam perniagaan, sekaligus memanfaatkan kekuatan ekonomi mereka untuk kemaslahatan masyarakat Wajo secara keseluruhan.[77][218][219]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Keterangan
[sunting | sunting sumber]- ^ Juga dieja Wajoʼ, Wajok, atau Wajoq (Bugis: ᨓᨍᨚ, translit. wajo [ˈwa.ɟoʔ]). Hentian glotal dalam bahasa Bugis dan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya dieja secara bervariasi dengan ⟨q⟩, ⟨k⟩, ⟨ʼ⟩, atau dibiarkan tidak ditulis. Artikel ini menggunakan ⟨ʼ⟩ untuk merepresentasikan hentian glotal, ⟨e⟩ untuk bunyi pepet, dan ⟨é⟩ untuk [e] dalam bahasa Bugis. Pengecualian diberikan bagi beberapa nama tempat yang sudah lazim dikenal dengan ejaan tertentu dalam bahasa Indonesia, semisal ⟨Wajo⟩ alih-alih ⟨Wajoʼ⟩, dan ⟨Bone⟩ alih-alih ⟨Boné⟩.
- ^ Kisah asal-usul Wajo ini kontras dengan mitos pendirian negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya, yang umumnya diawali dengan kedatangan tomanurung ('ia yang turun').[16][17]
- ^ Umumnya diidentifikasi sebagai tumbuhan dari genus Macaranga.[18]
- ^ Juga dikenal sebagai La Tenriba atau La Tenribabbareng dalam beberapa naskah.[19]
- ^ Ahli bahasa dan sejarawan Jacobus Noorduyn (1972) menyebut 1737–1754 sebagai masa jabatannya,[81] tetapi menurut sejarawan Andi Zainal Abidin (1985) dan Kathryn Wellen (2014), ia dilantik sebagai arung matoa pada tanggal 6 November 1736.[82][83]
- ^ Juga dikenal sebagai La Manang.[82]
- ^ Kutipan asli: "The powers of these pangawas, or tribunes of the people, is considerable. With them only it rests to summon a meeting of the council of forty. They possess the right of veto to the appointment of an aru matoah. Their command alone is a legal summons to war, no chief or body having right, or even authority, to call the freemen to the field."[152]
- ^ Kutipan asli: "The traditional rulers did not have the power to act on their own initiative without the approval of the Dutch administration; the colonial civil servants lacked authority over the population, and were dependent on the cooperation of the local aristocracy to ensure compliance of the people to government orders."[158]
- ^ Kutipan asli: "[Wajo] offers more evidence than any other pre-modern Asian society so far analysed for institutionalised freedoms [...]"[159]
- ^ Untuk pembagian tingkatan yang lebih detail, baca artikel Pelras (1971) dan Bab II dalam disertasi Lineton (1975a).[167][168]
- ^ Kutipan asli: "All the offices of state [...] are open to women; and they actually fill the important post of government; four out of the six great chiefs of Wajo being at present females. These ladies appear in public like the men; ride, rule, and visit even foreigners, without the knowledge or consent of their husbands."[178]
- ^ Contohnya Makassar, Mandar, dan Buton.
- ^ Contohnya Banjarmasin, Pagatan, Paser, dan Berau.
- ^ Contohnya Bali, Lombok, dan Sumbawa.
- ^ Amanna Gappa sendiri merupakan pemimpin (matoa) komunitas rantau Wajo di Makassar kala itu, menjabat 1697–1723.[214]
- ^ Kutipan asli: "Such a law code is highly unusual, if not unique, for early modern insular Southeast Asia."[217]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Sitiran
[sunting | sunting sumber]- ^ Duli (2010), hlm. 144.
- ^ Abidin (1985), hlm. 498.
- ^ a b c Pelras (1996), hlm. 176–177.
- ^ a b c Wellen (2014), hlm. 22.
- ^ Wellen (2018), hlm. 50.
- ^ Wellen (2018), hlm. 49–50.
- ^ Pelras (1996), hlm. 177–178.
- ^ Wellen (2014), hlm. 23–24.
- ^ a b c d e f Wellen (2014), hlm. 23.
- ^ Druce (2009), hlm. 34–36.
- ^ Pelras (1996), hlm. 100–103.
- ^ Pelras (1996), hlm. 98–100.
- ^ Wellen (2014), hlm. 27.
- ^ Abidin (1985), hlm. 348, 359.
- ^ a b Wellen (2014), hlm. 24.
- ^ Pelras (1971), hlm. 178.
- ^ Hafid (2016), hlm. 510, 515.
- ^ Abidin (1985), hlm. 403.
- ^ Abidin (1985), hlm. 399.
- ^ a b Abidin (1983), hlm. 477–478.
- ^ Wellen (2014), hlm. 25, 114.
- ^ Abidin (1983), hlm. 478.
- ^ Halim (2016), hlm. 196–197.
- ^ Wellen (2014), hlm. 174.
- ^ Abidin (1983), hlm. 479–482.
- ^ Abidin (1985), hlm. 575.
- ^ a b c Wellen (2014), hlm. 28.
- ^ Pelras (1996), hlm. 112–113.
- ^ a b Druce (2009), hlm. 228.
- ^ Andaya (1981), hlm. 21.
- ^ a b Pelras (1996), hlm. 113–114.
- ^ Caldwell & Wellen (2017), hlm. 306, 319.
- ^ Andaya (1981), hlm. 22.
- ^ Pelras (1996), hlm. 114.
- ^ Andaya (1981), hlm. 24.
- ^ Andaya (1981), hlm. 23.
- ^ Pelras (1996), hlm. 116, 131–132.
- ^ Andaya (1981), hlm. 30.
- ^ Pelras (1996), hlm. 132–133.
- ^ a b c d e Wellen (2014), hlm. 29.
- ^ Andaya (1981), hlm. 30–31.
- ^ Druce (2009), hlm. 249.
- ^ Andaya (1981), hlm. 31.
- ^ Wellen (2014), hlm. 29, 177.
- ^ Andaya (1981), hlm. 33.
- ^ Pelras (1996), hlm. 136–137.
- ^ a b Andaya (1981), hlm. 37–38.
- ^ Abidin (1985), hlm. 576.
- ^ Pelras (1996), hlm. 140–141.
- ^ Andaya (1981), hlm. 40.
- ^ Andaya (1981), hlm. 39–40.
- ^ Pelras (1996), hlm. 142.
- ^ Andaya (1981), hlm. 41–42.
- ^ Pelras (1996), hlm. 142–143.
- ^ Wellen (2014), hlm. 29–30.
- ^ Andaya (1981), hlm. 42–43.
- ^ a b Wellen (2014), hlm. 30.
- ^ Andaya (1981), hlm. 45–47.
- ^ Andaya (1981), hlm. 49.
- ^ Andaya (1981), hlm. 50–52.
- ^ Andaya (1981), hlm. 54.
- ^ Andaya (1981), hlm. 55.
- ^ Andaya (1981), hlm. 56–59, 66.
- ^ Wellen (2014), hlm. 31–32.
- ^ Andaya (1981), hlm. 37, 1242126, 138.
- ^ Wellen (2014), hlm. 33–35.
- ^ Andaya (1981), hlm. 140–141.
- ^ Wellen (2014), hlm. 36.
- ^ a b c Andaya (1981), hlm. 143.
- ^ Wellen (2014), hlm. 37–38.
- ^ Andaya (1981), hlm. 142–143, 190–192, 205.
- ^ Wellen (2009), hlm. 38, 82.
- ^ a b c Lineton (1975b), hlm. 178.
- ^ a b c Wellen (2009), hlm. 82.
- ^ a b Duli (2010), hlm. 144–145.
- ^ a b c Wellen (2009), hlm. 82–83.
- ^ a b Noorduyn (1955), hlm. 126.
- ^ Wellen (2014), hlm. 30, 69.
- ^ Wellen (2014), hlm. 137.
- ^ Wellen (2018), hlm. 56.
- ^ a b c Noorduyn (1972), hlm. 61.
- ^ a b c Abidin (1985), hlm. 577.
- ^ Wellen (2014), hlm. 145.
- ^ Wellen (2014), hlm. 135–137, 144, 159.
- ^ a b Wellen (2018), hlm. 57.
- ^ Wellen (2014), hlm. 137, 158–159.
- ^ Wellen (2014), hlm. 145–150.
- ^ Patunru (1983), hlm. 62–64.
- ^ Wellen (2014), hlm. 150–153.
- ^ Wellen (2018), hlm. 59–60.
- ^ Wellen (2014), hlm. 154.
- ^ Patunru (1983), hlm. 64.
- ^ Patunru (1983), hlm. 65–66.
- ^ Wellen (2018), hlm. 61.
- ^ a b c d e Patunru (1983), hlm. 66.
- ^ Wellen (2018), hlm. 61–62.
- ^ Wellen (2014), hlm. 155.
- ^ Wellen (2018), hlm. 66, 69.
- ^ Wellen (2018), hlm. 67–69.
- ^ Pelras (1993), hlm. 149.
- ^ a b c Druce (2020), hlm. 87.
- ^ a b c Patunru (1983), hlm. 68.
- ^ Druce (2020), hlm. 86–88.
- ^ Patunru (1983), hlm. 69.
- ^ Pelras (1996), hlm. 273.
- ^ Harvey (1974), hlm. 46.
- ^ Harvey (1974), hlm. 48–50.
- ^ Harvey (1974), hlm. 49–50, 52.
- ^ a b c Patunru (1983), hlm. 71.
- ^ Patunru (1983), hlm. 72–73.
- ^ a b Patunru (1983), hlm. 73–75.
- ^ a b Lineton (1975a), hlm. 119–120.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 46–47.
- ^ Patunru (1983), hlm. 75.
- ^ Harvey (1974), hlm. 110–111.
- ^ Harvey (1974), hlm. 116–117, 125–126.
- ^ Patunru (1983), hlm. 76.
- ^ Harvey (1974), hlm. 139–140, 143–148, 155–157.
- ^ a b Patunru (1983), hlm. 77.
- ^ Harvey (1974), hlm. 148, 156–157.
- ^ Patunru (1983), hlm. 76–77.
- ^ Harvey (1974), hlm. 157.
- ^ Patunru (1983), hlm. 78.
- ^ a b Lineton (1975a), hlm. 116.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 23–24.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 49.
- ^ Patunru (1983), hlm. 80.
- ^ Harvey (1974), hlm. 382.
- ^ Patunru (1983), hlm. 82.
- ^ a b Pelras (1971), hlm. 170.
- ^ Patunru (1983), hlm. 17.
- ^ Abidin (1985), hlm. 465, 535.
- ^ Halim (2016), hlm. 193–194.
- ^ Patunru (1983), hlm. 19.
- ^ Mundy (1848), hlm. 62.
- ^ Abidin (1985), hlm. 385.
- ^ Pelras (1971), hlm. 175–176.
- ^ Pelras (1996), hlm. 178–179.
- ^ a b c Abidin (1983), hlm. 482.
- ^ a b Henley & Caldwell (2019), hlm. 245.
- ^ a b Pelras (1996), hlm. 178.
- ^ Abidin (1985), hlm. 485.
- ^ Noorduyn (1955), hlm. 62, 165.
- ^ Abidin (2017), hlm. 158.
- ^ a b Mundy (1848), hlm. 63.
- ^ Wellen (2014), hlm. 23, 165.
- ^ Pelras (1971), hlm. 172.
- ^ Hafid (2016), hlm. 513, 516.
- ^ Abidin (2017), hlm. 151, 153.
- ^ Wellen (2014), hlm. 23, 175.
- ^ Wellen (2018), hlm. 51.
- ^ a b Mundy (1848), hlm. 62–63.
- ^ Henley & Caldwell (2019), hlm. 246.
- ^ Pelras (1971), hlm. 174.
- ^ Pelras (1971), hlm. 173.
- ^ a b Harvey (1974), hlm. 64.
- ^ Pelras (1996), hlm. 275–276.
- ^ a b Harvey (1974), hlm. 99.
- ^ a b Reid (2016), hlm. 313.
- ^ Reid (1998), hlm. 148.
- ^ Abidin (1985), hlm. 433, 447–448.
- ^ Henley & Caldwell (2019), hlm. 247.
- ^ a b Pelras (1971), hlm. 174–175.
- ^ Reid (1998), hlm. 148–149.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 87, 121.
- ^ Pelras (1971), hlm. 185.
- ^ Pelras (1971).
- ^ Lineton (1975a).
- ^ a b Lineton (1975a), hlm. 84–85.
- ^ a b Pelras (1971), hlm. 184.
- ^ a b Lineton (1975a), hlm. 85–86.
- ^ a b Pelras (1971), hlm. 186.
- ^ Matthes (1869), hlm. 30.
- ^ Wellen (2014), hlm. 176.
- ^ Mundy (1848), hlm. 74.
- ^ a b Henley & Caldwell (2019), hlm. 250.
- ^ Druce (2020), hlm. 85–86.
- ^ a b c Mundy (1848), hlm. 75.
- ^ Friberg & Friberg (1985), hlm. 24, 29.
- ^ Wellen (2014), hlm. 109–110.
- ^ Mundy (1848), hlm. 113, 118–119.
- ^ a b Wellen (2014), hlm. 113.
- ^ Caldwell (1988), hlm. 169–171.
- ^ Pelras (1996), hlm. 96–97.
- ^ Caldwell (1995), hlm. 402–403.
- ^ Wellen (2014), hlm. 112.
- ^ a b Wellen (2014), hlm. 13.
- ^ Koolhof (1999), hlm. 378–379, 385.
- ^ Tol (2020), hlm. 65–66, 69–71.
- ^ Wellen (2021), hlm. 1042.
- ^ a b Wellen (2021), hlm. 1046.
- ^ Wellen (2014), hlm. 13, 172.
- ^ a b c Lineton (1975a), hlm. 17.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 20.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 45–46.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 16–17.
- ^ Pelras (1996), hlm. 307.
- ^ Pelras (1996), hlm. 307–308, 311.
- ^ Wellen (2014), hlm. 70–71.
- ^ Mundy (1848), hlm. 118.
- ^ a b Reid (1998), hlm. 147.
- ^ Pelras (1996), hlm. 254.
- ^ Pelras (1996), hlm. 313.
- ^ Pelras (1996), hlm. 254, 266.
- ^ Wellen (2014), hlm. 70.
- ^ Ammarell (2002), hlm. 57.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 18.
- ^ Wellen (2014), hlm. 85.
- ^ a b c Druce (2020), hlm. 82–83.
- ^ Lineton (1975a), hlm. 19.
- ^ Wellen (2014), hlm. 67–68.
- ^ Hägerdal (2015), hlm. 51.
- ^ Wellen (2014), hlm. 64–65.
- ^ Noorduyn (2000), hlm. 476, 479.
- ^ Wellen (2009), hlm. 84–90.
- ^ a b Wellen (2014), hlm. 71.
- ^ a b Wellen (2009), hlm. 84.
- ^ Wellen (2009), hlm. 82–83, 97.
- ^ Wellen (2014), hlm. 76.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Abidin, Andi Zainal (1983). "The emergence of early kingdoms in South Sulawesi: A preliminary remark on governmental contracts from the thirteenth to the fifteenth century". Southeast Asian Studies. 20 (4): 455–491.
- ——— (1985). Wajo' pada abad XV–XVI: Suatu penggalian sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari lontara. Bandung: Penerbit Alumni. OCLC 12901929.
- ——— (2017). Capita selecta: Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: Social Politic Genius. ISBN 9786026183323.
- Ammarell, Gene (2002). "Bugis migration and modes of adaptation to local situations". Ethnology. 41 (1): 51–67. doi:10.2307/4153020. JSTOR 4153020.
- Andaya, Leonard Y. (1981). The heritage of Arung Palakka: A history of South Sulawesi (Celebes) in the seventeenth century. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 9789024724635.
- Bulbeck, Francis David; Caldwell, Ian (2000). Land of iron: The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi project (OXIS). Hull: University of Hull Centre for South-East Asian Studies. ISBN 9780903122115.
- Caldwell, Ian (1988). South Sulawesi A.D. 1300–1600: Ten Bugis texts (Tesis disertasi PhD). Canberra: Australian National University.
- ——— (1995). "Power, state and society among the pre-Islamic Bugis". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 151 (3): 394–421. doi:10.1163/22134379-90003038. JSTOR 27864678.
- ———; Wellen, Kathryn Anderson (2017). "Finding Cina: A new paradigm for early Bugis history". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 173 (2–3): 296–324. doi:10.1163/22134379-17302004 .
- Duli, Akin (2010). "Peranan Tosora sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wajo abad XVI–XIX". Walennae. 12 (2): 143–158. doi:10.24832/wln.v12i2.237.
- Druce, Stephen C. (2009). The lands west of the lakes: A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Leiden: Brill. ISBN 9789004253827.
- ——— (2020). "Of native concerns: Brooke, the Bugis and Borneo". Dalam Ooi Keat Gin. Borneo and Sulawesi: Indigenous peoples, empires and area studies. London: Routledge. hlm. 78–93. ISBN 9780429430602.
- Fadillah, Mohammad Ali; Mahmud, Muhammad Irfan; Hakim, Budianto (2020). "The core of Wajo Confederation: Archaeological survey in Tosora, Cinnotabi, and Lamasewanua". Walennae. 18 (2): 131–148. doi:10.24832/wln.v18i2.496.
- Friberg, Timothy; Friberg, Barbara (1985). "Geografi dialek Bahasa Bugis". Lontara. 24 (28): 20–47.
- Hafid, Rosdiana. "Budaya politik Kerajaan Wajo". Walasuji: Jurnal Sejarah dan Budaya. 7 (2): 505–520. doi:10.36869/wjsb.v7i2.147.
- Hägerdal, Hans (2015). "The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora (review)". HumaNetten. 35: 50–52.
- Halim, Wahyuddin (2016). "Eksplorasi atas praktik dan nilai-nilai demokrasi dalam Kerajaan Wajo' abad ke-15/16 dan kompatibilitasnya dengan sistem demokrasi modern". Masyarakat dan Budaya. 18 (2): 187–202. doi:10.14203/jmb.v18i2.410.
- Harvey, Barbara Sillars (1974). Tradition, Islam and rebellion: South Sulawesi 1950-1965 (Tesis disertasi PhD). Cornell University.
- Henley, David; Caldwell, Ian (2019). "Precolonial citizenship in South Sulawesi". Citizenship Studies. 23 (3): 240–255. doi:10.1080/13621025.2019.1603271 .
- Koolhof, Sirtjo (1999). "The 'La Galigo': A Bugis encyclopedia and its growth". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 155 (3): 362–387. doi:10.1163/22134379-90003869.
- Lineton, Jacqueline (1975a). An Indonesian society and its universe: A study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and their role within a wider social and economic system (Tesis disertasi PhD). School of Oriental and African Studies, University of London.
- ——— (1975b). "Pasompe' Ugi': Bugis migrants and wanderers". Archipel. 10: 173–201. doi:10.3406/arch.1975.1248.
- Matthes, Benjamin Frederik (1869). Over de Wadjorezen met hun handels- en scheepswetboek. Makassar: P. van Hartrop.
- Mundy, Rodney, ed. (1848). Narrative of events in Borneo and Celebes, down to the occupation of Labuan: From the diaries of James Brooke, Esq. 1. London: John Murray.
- Noorduyn, Jacobus (1955). Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo’: Buginese historiografie. ‘s-Gravenhage: H. L. Smits.
- ——— (1972). "Arung Singkang (1700-1765): How the victory of Wadjo' began" (PDF). Indonesia. 13 (13): 61–68. doi:10.2307/3350682. JSTOR 3350682.
- ——— (2000). "The Wajorese merchants community in Makassar". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (3): 473–498. doi:10.1163/22134379-90003836.
- Patunru, Abdurrazak Daeng (1983) [1964]. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. OCLC 215821862.
- Pelras, Christian (1971). "Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo'". Archipel. 1: 169–191. doi:10.3406/arch.1971.930.
- ——— (1993). "Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South-Sulawesi" (PDF). Indonesia. 57 (1): 133–154. doi:10.2307/3351245. JSTOR 3351245.
- ——— (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631172314.
- Reid, Anthony (1998). "Merdeka: The concept of freedom in Indonesia". Dalam David Kelly; Anthony Reid. Asian freedoms: The idea of freedom in East and Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 141–160. ISBN 9780521637572.
- ——— (2016). "The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora (review)". Journal of Southeast Asian Studies. 47 (2): 312–315. doi:10.1017/S002246341600014X.
- Sutherland, Heather (2015). "Pursuing the invisible: Makassar, city and systems". Dalam David Henley; Henk Schulte Nordholt. Environment, trade and society in Southeast Asia: A longue durée perspective. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 300. Leiden dan Boston: Brill. hlm. 133–148. ISBN 9789004288058.
- Tobing, Philip O. L. (1977) [1961]. Hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
- Tol, Roger (2020). "Pengembaraan La Galigo ke Washington D.C.: Memperkenalkan Husin bin Ismail". Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 93 (317): 65–72. doi:10.1353/ras.2020.0030.
- Wellen, Kathryn Anderson (2009). "Credit among the early modern To Wajoq". Dalam David Henley; Peter Boomgaard. Credit and debit in Indonesia: From peonage to pawnshop, from kongsi to cooperative. Leiden: KITLV Press. hlm. 102–123. ISBN 9789067183505.
- ——— (2014). The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora. DeKalb: Northern Illinois University Press. ISBN 9780875807126.
- ——— (2018). "La Maddukelleng and civil war in South Sulawesi". Dalam Michael Charney; Kathryn Wellen. Warring societies of pre-colonial Southeast Asia: Local cultures of conflict within a regional context. Studies on Asian Topics. 62. Kopenhagen: NIAS Press. hlm. 47–71. ISBN 9788776942281.
- ——— (2021). "Recollections of a lost kingdom: The varied interactions between history and memory in South Sulawesi, Indonesia". Memory Studies. 14 (5): 1035–1060. doi:10.1177/1750698020982037.