Lompat ke isi

Kota

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Cahaya kota-kota dunia dari antariksa. NASA. Oleh Marc Imhoff

Kota (bahasa Inggris: city; bahasa Melayu: bandar) adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Sistem kota adalah sekelompok kota-kota yang saling tergantung satu sama lain secara fungsional dalam suatu wilayah dan berpengaruh terhadap wilayah sekitarnya. Sistem kota berisi tentang distribusi kota, indeks dan keutamaan kota serta fungsi kota.[1] Kota merupakan kawasan pemukiman dengan jumlah penduduk yang relatif besar dan kepadatan penduduk yang tinggi. Selain itu, pemukiman yang ada bersifat tetap dan dihuni oleh masyarakat heterogen.[2] Pembentukan kota merupakan hasil dari perkembangan desa dalam perluasan pemukiman dan peningkatan jumlah penduduk.[3] Kota berfungsi sebagai pusat pemukiman dan aktivitas manusia sehingga keberadaannya menjadi sangat penting bagi wilayah di sekitarnya dalam kegiatan perdagangan, pemerintahan, industri dan kebudayaan.[4] Pemilihan kota sebagai tempat pemukiman dipengaruhi oleh adanya pekerjaan di bidang jasa, transportasi dan manufaktur. Kota juga memiliki kekurangan yaitu biaya hidup dan tingkat kriminalitas yang tinggi.[5]

Pemandangan Kota New York

Pengertian "kota" sebagaimana yang diterapkan di Indonesia mencakup pengertian "town" dan "city" dalam bahasa Inggris. Selain itu, terdapat pula kapitonim "Kota" yang merupakan satuan administrasi negara di bawah provinsi. Artikel ini membahas "kota" dalam pengertian umum (nama jenis, common name). Kota dibedakan secara kontras dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum.[butuh rujukan] Desa atau kampung didominasi oleh lahan terbuka bukan pemukiman. Kota memiliki tiga ciri utama, yaitu memilki kepadatan penduduk yang tinggi, pusat segala kegiatan, dan kegiatan utama non pertanian.

Perencanaan tata ruang

[sunting | sunting sumber]

Teori perencanaan telah berkembang sejak lama dan mengalami banyak perubahan seiring berjalannya waktu. Sedangkan untuk perencanaan sendiri, sejak Patrick Geddes dikutip dalam Rafita (2016) mencetuskannya untuk pertama kali hingga saat ini telah mengalami banyak perubahan. Teori perencanaan mulai berkembang pesat setelah revolusi industri yang mengakibatkan adanya kemunduran kota. Adanya revolusi industri tersebut yang membuat kebutuhan buruh di perkotaan semakin meningkat, dengan begitu akan terjadi degredasi lingkungan yang membuat pakar kota menginginkan suatu reformasi.[6] Revolusi industri sendiri telah menciptakan perubahan yaitu dengan adanya kota-kota industri yang mengakibatkan perpindahan penduduk dari daerah pertanian ke daerah industri. Berpindahnya penduduk dari desa ke kota yang tidak memiliki pengetahuan tentang kehidupan kota inilah yang akan menyebabkan perubahan tatanan kota. Untuk itu, mulai muncul gagasan dari Patrick Geddes tentang analisis terperinci dari pola pemukiman dan lingkungan ekonomi lokal yang merupakan awal dari berkembangnya teori perencanaan.[7]

Perencanaan tata ruang merupakan proses terpadu (bukan produk akhir berhaga mati) b. Perencanaan tata ruang yang menyeluruh dan terpadu mencakup: perencanaan fisik-spasial, perencanaan komunitas, perencanaan sumber daya. c. Perencanaan tata ruang dilakukan berdasarkan kepentingan masyarakat. d. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan berlandaskan pertimbangan sumber daya yang tersedia. e. Rencana tata ruang yang akan disusun merupakan rencana yang diperkirakan dapat diwujudkan.[8] Dari berbagai teori perencanaan yang ada, terdapat salah satu teori yang erat kaitannya dengan penataan wilayah dan kota yaitu teori Archibugi yang memaparkan mengenai penerapan komponen perencanaan wilayah.[9]

Kota Kuopio, Finlandia

Kota yang telah berkembang maju mempunyai peranan dan fungsi yang lebih luas lagi antara lain sebagai berikut:

Ciri-ciri

[sunting | sunting sumber]
Kota Kinabalu, Malaysia

Ciri fisik kota meliputi hal sebagai berikut:

  • Tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan
  • Tersedianya tempat-tempat untuk parkir
  • Terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga

Ciri kehidupan kota adalah sebagai berikut:

  • Adanya pelapisan sosial ekonomi misalnya perbedaan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
  • Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi sosial di antara warganya.
  • Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dengan pertimbangan perbedaan kepentingan, situasi dan kondisi kehidupan.
  • Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
  • Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip ekonomi.
  • Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial disebabkan adanya keterbukaan terhadap pengaruh luar.
  • Pada umumnya masyarakat kota lebih bersifat individu sedangkan sifat solidaritas dan gotong royong sudah mulai tidak terasa lagi. (stereotip ini kemudian menyebabkan penduduk kota dan pendatang mengambil sikap acuh tidak acuh dan tidak peduli ketika berinteraksi dengan orang lain. Mereka mengabaikan fakta bahwa masyarakat kota juga bisa ramah dan santun dalam berinteraksi).

Teori struktur ruang kota

[sunting | sunting sumber]

Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:

  • Teori Konsentris (Burgess, 1925)
Teori Konsentris

Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).

  1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran dan sebagainya.
  2. Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni penduduk miskin. Namun sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
  3. Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's homes.
  4. Zona permukiman kelas menengah (residential zona), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
  5. Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elite, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
  6. Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.
  • Teori Sektoral (Hoyt, 1939)
Teori Sektoral

Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.

  1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
  2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
  3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
  4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
  5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.
  • Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman, 1945)
Teori Inti Berganda

Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.

  1. Pusat kota atau Central Business District (CBD).
  2. Kawasan niaga dan industri ringan.
  3. Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.
  4. Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
  5. Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
  6. Pusat industri berat.
  7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
  8. Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
  9. Upakota (sub-urban) kawasan industri
  • Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955).

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.

  • Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980)

Teori Konsektoral dilandasi oleh struktur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah–daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.

  • Teori Historis (Alonso, 1964)

DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.

  • Teori Poros (Babcock, 1960)

Menitikberatkan pada peranan transportasi dalam memengaruhi struktur keruangan kota. Asumsinya adalah mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk mempunyai intensitas yang sama dan topografi kota seragam. Faktor utama yang memengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang menghubungkan CBD dengan daerah bagian luarnya.Aksesibilitas memperhatikan biaya waktu dalam sistem transportasi yang ada. Sepanjang poros transportasi akan mengalami perkembangan lebih besar dibanding zona di antaranya. Zona yang tidak terlayani dengan fasilitas transportasi yang cepat.

Arsitektur

[sunting | sunting sumber]

Arsitektur kota terdiri dari ruang kota, bangunan, tempat ibadah, tugu dan gedung atau tempat lain yang ada di dalam kota. Bagian utama dari arsitektur kota adalah lingkungan yang memiliki segi fisik dan segi non-fisik. Segi fisik dari arsitektur kota melingkupi bangunan-bangunan, tugu-tugu, ruang-ruang terbuka, dan jalan atau trotoar. Sedangkan segi non-fisik dari arsitektur kota ialah kegiatan sosial, kegiatan budaya, kegiatan keagamaan, dan kegiatan perekonomian serta hubungan seluruh kegiatan tersebut dengan segi fisiknya.[10]

Sudut pandang

[sunting | sunting sumber]

Sudut pandang arsitektur

[sunting | sunting sumber]

Dalam sudut pandang arsitektur, kota dipandang sebagai sebuah arsitektur yang memiliki bentuk fisik yang dapat dilihat dan memiliki konstruksi dari kota sepanjang waktu. Kota dianggap sebagai sebuah karya seni bagi orang yang paham tentang urban artefak dengan tempat, peristiwa dan wujud kota. Konsep kota sebagai sebuah urban artefak memiliki bentuk yang beragam pada setiap zaman dan kehidupan sosial keagamaan. Selain itu, dalam sudut pandang arsitektur, kota dipandang sebagai suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen serta terdiri dari kelompok individu-individu yang beragam dari segi sosial. Keberagaman permukiman tidak dinilai dari bentuk kota tetapi dari suatu fungsi yang menciptakan ruang-ruang yang bermanfaat melalui pengorganisasian ruang dan hierarki tertentu.[11] Sudut pandang arsitektur juga menganggap kota sebagaisekumpulan bangunan dan artefak yang menjadi tempat untuk berhubungan sosial. Kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial-ekonomi yang beragam dan corak kehidupan yang materialistik membuat kota menjadi sistem jaringan kehidupan manusia.[12]

Sudut pandang sosio-spasial

[sunting | sunting sumber]

Sudut pandang kota dari sosio-spasial diperoleh dari perspektif ruang pada ekonomi Marxian. Henri Lefebvre (1991), David Harvey (1985, 2001, 2012), dan Manuel Castells (1977) menulis pengembangan perspektif ekonomi Marxian untuk menjelaskan konsep suatu kota. Relasi kuasa dari aktor-aktor penataan ruang diamati melalui fenomena kontestasi, negosiasi, konsensus, dan konflik di perkotaan. Para aktor yang memengaruhi penataan ruang meliputi pemerintah, masyarakat, dan pasar. Dalam sudut pandang sosio-spasial, keterlibatan pemerintah dengan kepentingan serta kemauan politiknya dipandang sebagai cara mempercepat pengembangan kota. Selain itu, politik pemerintahan juga menjadi alat perubahan kota yang mengacu pada pembangunan global metropolitan. Kota modern merupakan hasil dari perubahan-perubahan tata ruang yang memengaruhi kehidupan setiap warga. Perubahan tata ruang merupakan akibat dari kehadiran investor atau pengembang yang melakukan pembangunan gedung, fasilitas umum, dan ruang publik untuk investasi yang terkait dengan perubahan dan tuntutan ekonomi global.[13]

Masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Perkembangan dari suatu kota dipengaruhi oleh masyarakat yang menjadi pengguna perkotaan. Kota menjadi sangat kompleks karena masyarakat selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan hidup. Pengembangan kota lebih menonjol dibandingkan dengan kawasan luar kota. Selain itu, kehidupan masyarakat perkotaan cenderung lebih menekankan pada segi ekonomi, sehingga kota dianggap sebagai hasil rekayasa manusia untuk rnemenuhi kehidupan ekonomi penggunanya. Masyarakat perkotaan memiliki permasalahan yang sangat kompleks karena kota juga memengaruhi kehidupan di segala bidang kehidupan.[14]

Masyarakat perkotaan cenderung memiliki sifat individual dan heterogen dengan kehidupan yang modern yang dilengkapi dengan berbagai arsitektur dan industri yang canggih. Dalam masyarakat kota terdapat banyak kelompok sosial yang dibedakan berdasarkan profesi.[15] Masyarakat perkotaan memiliki tingkat keberagaman sosial yang tinggi dengan tingkat asoasi yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang banyak. Kontrol sosial di dalam masyarakat perkotaan menggunakan pengawasan yang tidak terlalu ketat sehingga toleransi sosial sangat tinggi. Masyarakat perkotaan lebih mengutamakan prestasi sehingga mobilitas sosial relatif tinggi. Asosiasi di dalam masyarakat perkotaan bersifat sukarela dan cenderung menganut individualisme karena adanya kebebasan dalam pengambilan keputusan secara individu. Selain itu, masyarakat perkotaan cenderung memisahkan diri secara fisik berdasarkan perbedaan kelompok sosial.[16]

Kota terdiri dari masyarakat yang majemuk. Kemajemukan masyarakat dapat diamati secara horizontal dan vertikal.[17] Masyarakat majemuk secara horizontal dikelompokkan berdasarkan etnis, keturunan, bahasa daerah, adat istiadat atau perilaku, agama, pakaian, makanan, dan budaya. Sedangkan secara vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan tingkat ekonomi, pendidikan, kawasan pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosial-politik.[18] Masyarakat perkotaan cenderung menjalani kehidupan dengan sifat yang materialistis.[19]

Dalam suatu kota dikenal istilah warga kota. Kegunaan istilah warga kota adalah untuk menentukan hak-hak yang berhak dimiliki seseorang di dalam suatu kota. Status warga kota tidak menggantikan status warga negara, melainkan menegaskan keluasan statu yang menyempit dari nasional ke lokal. Pemberian status warga kota dimaksudkan untuk keperluan sosial dan bukan untuk keperluan wilayah. Hak atas kota yang dimiliki oleh warga kota merupakan hak untuk membuat berbagai hubungan sosial sebagai penguasa ruang sosialnya dan untuk hidup sesuai keinginannya. Kewargaan kota didasarkan pada beberapa fungsi. Kota menjadi komunitas politik primer yang dihuni masyarakat urban sebagai kriteria keberanggotaan dan basis bagi mobilisasi politik. Fungsi lain kewargakotaan adalah untuk membentuk klaim hak atas pengalaman hidup perkotaan dan berbagai kinerja sebagai warga.[20]

Keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Suatu kota menjadi tempat terbentuknya komunitas keagamaan dari kalangan kelas menengah. Kehidupan keagamaan di dalam perkotaan cenderung sekuler dan tidak peduli dengan agama. Perkotaan tidak terlalu mempertimbangkan aspek keagamaan dalam kegiatan urban. Kota cenderung mengutamakan kegiatan yang bersifat modern dan berkaitan dengan ekonomi yang melibatkan uang untuk perluasan modernitas.[21] Keberadaan kelas menengah di dalam kota membentuk kesalehan agama secara masif. Masyarakat kelas menengah cenderung hidup dengan yang berlandaskan kepada kemampuan ekonomi, sehingga membentuk gaya hidup masyarakat umum. Gaya hidup masyarakat kelas menengah turut memengaruhi gaya hidup masyarakat kelas bawah melalui peniruan.[22]

Bentuk kota

[sunting | sunting sumber]

Pada masa kerajaan kuno hingga abad pertengahan, bentuk kota mengikuti pola spasial. Bentuk kota spasial digunakan oleh kerajaan-kerajaan yang ada di Mesir, Yunani, Romawi, dan China. Ciri utama dari bentuk kota spasial ialah adanya adanya pembatas berbentuk benteng dan pintu gerbang masuk. Kota benteng umumnya dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat yang mempunyai pengaruh yang besar bagi keberlangsungan suatu kerajaan.[23] Benteng memiliki dinding-dinding pembatas yang membentuk pola spasial pada kota dan memisahkan kota dengan wilayah lain. Wilayah kota ditandai dengan adanya pintu gerbang yang menjadi akses untuk keluar dan masuk ke dalam kota. Pembangunan kota pada masa kerajaan-kerajaan dipusatkan pada keamanan, sehingga musuh tidak dapat memasuki wilayah kekuasaannya dengan mudah saat perang terjadi.[24]

Fragmen spasial

[sunting | sunting sumber]

Bentuk kota fragmen spasial merupakan modifikasi dari bentuk fisik kota spasial. Konsep dasar dari bentuk kota fragmen spasial didasarkan pada komunitas gerbang. Pada bentuk kota fragmen spasial, benteng-benteng di bagi menjadi kawasan-kawasan yang terpisah secara keruangan satu sama lain. Pembagian spasial kota ini terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja dan membagi kawasan dalam beberapa kelompok manusia. Pemisahan kawasan-kawasan di kota merupakan akibat dari ketidak-adilan bentuk kota spasial dalam bidang sosial. Komunitas gerbang membentuk kota fragmen spasial menjadi beberapa jenis pemukiman yaitu rumah bandar, apartemen, maupun super-blok. Permukiman komunitas gerbang berbentuk skala besar dengan infrastruktur yang mandiri. Berbagai kegiatan keagamaan, kesehatan, ekonomi, olahraga, dan pendidikan dilakukan di dalam kawasan. Dukungan kegiatan berupa keberadaan jalan, air bersih, drainase, tempat pembuangan akhir, sekolah, listrik, pusat kesehatan, pusat perbelanjaan, pusat olahraga, dan tempat ibadah. Pemisahan diri kawasan komunitas gerbang terjadi karena adanya kemandirian dan kesanggupan untuk mengurus segala kebutuhan tanpa bantuan pihak luar. Selain itu, kawasan komunitas gerbang tidak terlalu terikat oleh aturan yang ditetapkan oleh otoritas lokal.[25]

Pemukiman

[sunting | sunting sumber]

Pemukiman elite

[sunting | sunting sumber]

Gagasan bentuk kota pada kerajaan-kerajaan diterapkan kembali pada pola pemukiman kota modern dengan sedikit perubahan. Pola pemukiman elite di kota berkembang seiring globalisasi. Para pengembang kota membuat pemukiman-pemukiman dengan model yang dipilih sendiri. Konsep yang umum ditemukan adalah pembatasan kawasan pemukiman dengan dinding pagar dan pintu gerbang sebagai jalur keluar masuk-kawasan. Keamanan dibentuk melalui keberadaan pos satuan pengamanan, portal, palang pintu, dan atribut penanda seperti “dilarang masuk” atau “tamu harap lapor”. Permukiman dengan pembatasan kawasan dan pemberian tanda keamanan disebut sebagai komunitas berpagar atau komunitas pintu gerbang.[26]

Pemukiman kumuh

[sunting | sunting sumber]

Pemukiman kumuh adalah tempat tinggal bagi sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah. Kualitas perumahan yang ada di pemukiman kumuh sangat buruk dan pelayanan dasar disediakan dengan jumlah yang sangat sedikit. Pemukiman kumuh mewakili kemiskinan kota dengan sangat jelas. Kata permukiman kumuh diartikan sebagai lingkungan perumahan yang baik tetapi mengalami penurunan kualitas akibat meningkatnya kepadatan penduduk yang merupakan masyarakat berpendapatan rendah.[27] Di kota, pemukiman kumuh terbentuk di kota yang masih menerapkan sistem kepemilikan tradisional dan adat maupun pada pemukiman yang bersaing dalam ekonomi skala besar. Masyarakat berpendapatan rendah tidak mampu membeli rumah di suatu perumahan karena peningkatan harga sewa atau harga jual yang tdak terjangkau. Satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh masyarakat berpendapatan rendah adalah membangun, membeli atau menyewa tempat tinggal yang relatif sempit dengan kualitas konstruksi yang buruk dan penyediaan pelayanan minimum di permukiman informal. Pilihan ini didasarkan pada penghematan biaya dan waktu yang berkaitan dengan kedekatan tempat tinggal dari sumber pekerjaan di kota. Kepadatan penduduk di pemukiman kumuh menciptakan lingkungan yang tidak sehat.Selain itu, pemukiman kumuh umumnya dibangun di lahan yang berbahaya karena rentan terdampak bencana alam, berada di jalur kereta api, pinggir jalan atau pinggir sungai.[28]

Pengembangan

[sunting | sunting sumber]

Setiap kota memiliki aspek kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. Segala kepentingan manusia dipusatkan pelaksanaannya di dalam kota. Pengembangan kota-kota cenderung menjadi besar bila memiliki kegiatan ekonomi yang berjalan dengan baik. Kota-kota kecil yang ada di sekitar kota besar akan memiliki ketergantungan dalam mempertahankan kehidupan ekonominya.[29]

Urbanisasi

[sunting | sunting sumber]

Urbanisasi adalah proses migrasi dari pedesaan ke perkotaan yang didorong oleh berbagai faktor politik, ekonomi, dan budaya. Sampai abad ke-18, ada keseimbangan antara populasi pertanian pedesaan dan kota-kota yang memiliki pasar dan manufaktur skala kecil.[30][31] Dengan adanya revolusi pertanian dan industri, penduduk perkotaan mulai bertumbuh pesat, baik melalui migrasi maupun melalui ekspansi demografi. Di Inggris proporsi penduduk yang tinggal di kota melonjak dari 17% pada tahun 1801 menjadi 72% pada tahun 1891.[32] Pada tahun 1900, 15% dari populasi dunia tinggal di kota.[33] Daya tarik budaya kota juga berperan dalam menarik penduduk.[34]

Urbanisasi dengan cepat menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika dan sejak tahun 1950-an juga terjadi di Asia dan Afrika. Divisi Kependudukan dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa, melaporkan pada tahun 2014 bahwa untuk pertama kalinya lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di kota.[35][a]

Grafik yang menunjukkan urbanisasi dari tahun 1950 diproyeksikan hingga 2050.[43]

Amerika Latin adalah benua yang paling urban, dengan empat perlima penduduknya tinggal di kota, termasuk seperlima dari populasi yang dikatakan tinggal di kawasan kumuh (favela, poblaciones callampas, dll.).[44] Batam, Indonesia, Mogadishu, Somalia, Xiamen, Tiongkok dan Niamey, Niger, termasuk dalam kota-kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 5-8%.[45] Secara umum, negara-negara-negara maju di "Global Utara" tetap lebih urban daripada negara-negara berkembang di "Global Selatan"—tetapi perbedaannya terus menyusut karena urbanisasi terjadi lebih cepat di negara-negara berkembang. Asia adalah benua dengan jumlah penduduk kota terbesar: lebih dari dua miliar dan terus bertambah.[31] PBB memperkirakan tambahan 2,5 miliar penduduk kota (dan penduduk desa yang berkurang 300 juta) di seluruh dunia pada tahun 2050, dengan 90% dari ekspansi penduduk perkotaan terjadi di Asia dan Afrika.[35][46]

Peta yang menunjukkan daerah perkotaan dengan setidaknya satu juta penduduk pada tahun 2006.

Megakota, kota-kota dengan populasi jutaan, telah bertambah menjadi puluhan, muncul terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.[47][48] Globalisasi ekonomi mendorong pertumbuhan kota-kota ini, karena aliran modal asing baru menyebabkan industrialisasi yang cepat, serta relokasi bisnis besar dari Eropa dan Amerika Utara, menarik imigran dari segala penjuru.[49] Jurang yang dalam membagi kaya dan miskin di kota-kota ini, yang biasanya memiliki elit super kaya yang tinggal di komunitas bergerbang dan sejumlah besar orang yang tinggal di perumahan di bawah standar dengan infrastruktur yang tidak memadai dan kondisi yang buruk.[50]

Kota-kota di seluruh dunia telah berkembang secara fisik seiring dengan pertumbuhan populasi, dengan peningkatan luas permukaannya, dengan penciptaan gedung-gedung tinggi untuk penggunaan perumahan dan komersial, dan dengan pengembangan di bawah tanah.[51][52]

Urbanisasi dapat menciptakan permintaan yang cepat untuk pengelolaan sumber daya air, karena sumber air tawar yang sebelumnya baik menjadi digunakan secara berlebihan dan tercemar, dan volume air limbah mulai melebihi tingkat yang dapat dikelola.[53]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Intellectuals such as H.G. Wells, Patrick Geddes and Kingsley Davis foretold the coming of a mostly urban world throughout the twentieth century.[36][37] The United Nations has long anticipated a half-urban world, earlier predicting the year 2000 as the turning point[38][39] and in 2007 writing that it would occur in 2008.[40] Other researchers had also estimated that the halfway point was reached in 2007.[41] Although the trend is undeniable, the precision of this statistic is dubious, due to reliance on national censuses and to the ambiguities of defining an area as urban.[36][42]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Muta'ali, Lutfi (2015). Teknik Analisis Ragional untuk Perencanaan Wilayah, Tata Ruang, dan Lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Gegrafi (BPFG) Universitas Gajah Mada. 
  2. ^ Jamaluddin 2017, hlm. 35.
  3. ^ Jamaluddin 2017, hlm. 41-42.
  4. ^ Jamaluddin 2017, hlm. 52-53.
  5. ^ Murdiyanto, E. (2008). Sosiologi Perdesaan (PDF). Yogyakarta: Wimaya Press. hlm. 204. ISBN 978-979-8918-88-9. 
  6. ^ Prihatin, Daryanti, dan Pramadha 2019, hlm. 21.
  7. ^ Prihatin, Daryanti, dan Pramadha 2019, hlm. 21-22.
  8. ^ Prihatin, Daryanti, dan Pramadha 2019, hlm. 22.
  9. ^ Prihatin, Daryanti, dan Pramadha 2019, hlm. 23.
  10. ^ Mulyadi 2018, hlm. 1-2.
  11. ^ Mulyadi 2018, hlm. 8.
  12. ^ Mulyadi 2018, hlm. 8-9.
  13. ^ Sumandiyar, dkk. 2020, hlm. 1.
  14. ^ Mulyandari 2011, hlm. 1.
  15. ^ Pandaleke, Alfien (2015). Sosiologi Perkotaan. Bogor: Maxindo Internasional. hlm. 5. ISBN 978-602-72508-0-2. 
  16. ^ Jamaludin, A. N. (2015). Sosiologi Perdesaan (PDF). Bandung: CV. Pustaka Setia. hlm. 22–23. ISBN 978-979-076-550-4. 
  17. ^ Mumtazinur 2019, hlm. 73.
  18. ^ Mumtazinur 2019, hlm. 74.
  19. ^ Mumtazinur 2019, hlm. 116.
  20. ^ Sumandiyar, dkk. 2020, hlm. 26.
  21. ^ Faiz 2018, hlm. 254.
  22. ^ Faiz 2018, hlm. 255.
  23. ^ Umar 2018, hlm. 5-6.
  24. ^ Umar 2018, hlm. 6.
  25. ^ Umar 2018, hlm. 7.
  26. ^ Umar 2018, hlm. 6-7.
  27. ^ UNESCAP dan UN-HABITAT 2008, hlm. 2.
  28. ^ UNESCAP dan UN-HABITAT 2008, hlm. 4.
  29. ^ Mulyandari 2011, hlm. 1-2.
  30. ^ The Urbanization and Political Development of the World System:A comparative quantitative analysis. History & Mathematics 2 (2006): 115–153 Diarsipkan 18 May 2019 di Wayback Machine..
  31. ^ a b William H. Frey & Zachary Zimmer, "Defining the City"; in Paddison (2001).
  32. ^ Christopher Watson, "Trends in urbanization Diarsipkan 2016-03-05 di Wayback Machine.", Proceedings of the First International Conference on Urban Pests Diarsipkan 2017-10-10 di Wayback Machine., ed. K.B. Wildey and William H. Robinson, 1993.
  33. ^ Annez, Patricia Clarke; Buckley, Robert M. (2009). "Urbanization and Growth: Setting the Context" (PDF). Dalam Spence, Michael; Annez, Patricia Clarke; Buckley, Robert M. Urbanization and Growth. ISBN 978-0-8213-7573-0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 May 2017. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  34. ^ Moholy-Nagy (1968), pp. 136–137. "Why do anonymous people—the poor, the underprivileged, the unconnected—frequently prefer life under miserable conditions in tenements to the healthy order and tranquility of small towns or the sanitary subdivisions of semirural developments? The imperial planners and architects knew the answer, which is as valid today as it was 2,000 years ago. Big cities were created as power images of a competitive society, conscious of its achievement potential. Those who came to live in them did so in order to participate and compete on any attainable level. Their aim was to share in public life, and they were willing to pay for this share with personal discomfort. 'Bread and games' was a cry for opportunity and entertainment still ranking foremost among urban objectives.
  35. ^ a b Somini Sengupta, "U.N. Finds Most People Now Live in Cities Diarsipkan 5 July 2017 di Wayback Machine."; New York Times, 10 July 2014. Referring to: United Nations Department of Economic and Social Affairs, Population Division; World Urbanization Prospects: 2014 Revision Diarsipkan 2018-07-06 di Wayback Machine.; New York: United Nations, 2014.
  36. ^ a b Neil Brenner & Christian Schmid, "The 'Urban Age' in Question Diarsipkan 11 July 2017 di Wayback Machine."; International Journal of Urban and Regional Research 38(3), 2013; DOI:10.1111/1468-2427.12115.
  37. ^ McQuillin (1937/1987), §1.55.
  38. ^ "Patterns of Urban and Rural Population Growth Diarsipkan 2018-11-13 di Wayback Machine.", Department of International Economic and Social Affairs, Population Studies No. 68; New York, United Nations, 1980; p. 15. "If the projections prove to be accurate, the next century will begin just after the world population achieves an urban majority; in 2000, the world is projected to be 51.3 per cent urban."
  39. ^ Edouart Glissant (Editor-in-Chief), UNESCO "Courier" ("The Urban Explosion Diarsipkan 12 June 2017 di Wayback Machine."), March 1985.
  40. ^ "World Urbanization Prospects: The 2007 Revision" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 August 2011. Diakses tanggal 29 June 2017. 
  41. ^ Mike Hanlon, "World Population Becomes More Urban Than Rural Diarsipkan 28 June 2017 di Wayback Machine."; New Atlas, 28 May 2007.
  42. ^ Graeme Hugo, Anthony Champion, & Alfredo Lattes, "Toward a New Conceptualization of Settlements for Demography Diarsipkan 29 July 2020 di Wayback Machine.", Population and Development Review 29(2), June 2003.
  43. ^ "United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2014). World Urbanization Prospects: The 2014 Revision, CD-ROM Edition". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-06. 
  44. ^ Paulo A. Paranagua, "Latin America struggles to cope with record urban growth Diarsipkan 17 May 2016 di Wayback Machine." (), The Guardian, 11 September 2012. Referring to UN-Habitat, The State of Latin American and Caribbean Cities 2012: Towards a new urban transition Diarsipkan 2018-11-13 di Wayback Machine.; Nairobi: United Nations Human Settlements Programme, 2012.
  45. ^ Helen Massy-Beresford, "Where is the fastest growing city in the world? Diarsipkan 15 May 2017 di Wayback Machine."; The Guardian, 18 November 2015.
  46. ^ Mark Anderson & Achilleas Galatsidas, "Urban population boom poses massive challenges for Africa and Asia Diarsipkan 10 October 2017 di Wayback Machine." The Guardian (Development data: Datablog), 10 July 2014.
  47. ^ Kaplan et al. (2004), p. 15. "Global cities need to be distinguished from megacities, defined here as cities with more than 8 million people. […] Only New York and London qualified as megacities 50 years ago. By 1990, just over 10 years ago, 20 megacities existed, 15 of which were in less economically developed regions of the world. In 2000, the number of megacities had increased to 26, again all except 6 are located in the less developed world regions."
  48. ^ Frauke Kraas & Günter Mertins, "Megacities and Global Change"; in Kraas et al. (2014), p. 2. "While seven megacities (with more than five million inhabitants) existed in 1950 and 24 in 1990, by 2010 there were 55 and by 2025 there will be—according to estimations—87 megacities (UN 2012; Fig. 1). "
  49. ^ Frauke Kraas & Günter Mertins, "Megacities and Global Change"; in Kraas et al. (2014), pp. 2–3. "Above all, globalisation processes were and are the motors that drive these enormous changes and are also the driving forces, together with transformation and liberalisation policies, behind the economic developments of the last c. 25 years (in China, especially the so-called socialism with Chinese characteristics that started under Deng Xiaoping in 1978/1979, in India essentially during the course of the economic reform policies of the so-called New Economic Policy as of 1991; Cartier 2001; Nissel 1999). Especially in megacities, these reforms led to enormous influx of foreign direct investments, to intensive industrialization processes through international relocation of production locations and depending upon the location, partially to considerable expansion of the services sector with increasing demand for office space as well as to a reorientation of national support policies—with a not to be mistaken influence of transnationally acting conglomerates but also considerable transfer payments from overseas communities. In turn, these processes are flanked and intensified through, at times, massive migration movements of national and international migrants into the megacities (Baur et al. 2006).
  50. ^ Shipra Narang Suri & Günther Taube, "Governance in Megacities: Experiences, Challenges and Implications for International Cooperation"; in Kraas et al. (2014), p. 196.
  51. ^ Stephen Graham & Lucy Hewitt, "Getting off the ground: On the politics of urban verticality Diarsipkan 10 October 2017 di Wayback Machine.; Progress in Human Geography 37(1), 2012; DOI:10.1177/0309132512443147.
  52. ^ Eduardo F.J. de Mulder, Jacques Besner, & Brian Marker, "Underground Cities"; in Kraas et al. (2014), pp. 26–29.
  53. ^ Karen Bakker, "Archipelagos and networks: urbanization and water privatization in the South"; The Geographical Journal 169(4), December 2003; DOI:10.1111/j.0016-7398.2003.00097.x. "The diversity of water supply management systems worldwide—which operate along a continuum between fully public and fully private—bear witness to repeated shifts back and forth between private and public ownership and management of water systems."

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  1. Faiz, Abd. Aziz (2018). Muslimah Perkotaan (PDF) (edisi ke-4). Yogyakarta: SUKA-Press. ISBN 978-602-1326-53-4. 
  2. Jamaluddin, A. N. (2017). Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Probelmatikanya (PDF). Bandung: CV. Pustaka Setia. ISBN 978-979-076-518-4. 
  3. Mulyadi, Lalu (2018). Persepsi Masyarakat terhadap Arsitektur Kota Kediri, Jawa Timur (PDF). Malang: CV. Dream Litera Buana. ISBN 978-602-5518-38-6. 
  4. Mulyandari, Hestin (2011). Pengantar Arsitektur Kota. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta. ISBN 978-979-29-1749-9. 
  5. Mumtazinur (2019). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (PDF). Banda Aceh: Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia (LKKI) Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. ISBN 978-602-50172-4-7. 
  6. Prihatin, S.D., Daryanti, S., Pramadha, R.A. (ed) (2019). Aplikasi Teori Perencanaan: Dari Konsep ke Realita (PDF). Sleman: CV. Buana Grafika. ISBN 978-623-7358-33-6. 
  7. Sumandiyar, dkk. (2020). Sosiologi Perkotaan: Kapitalisasi Ruang dan Marginalisasi Sosial (PDF). Kendari: Literacy Institute. ISBN 978-602-5722-41-7. 
  8. Umar, Fitrawan (2018). Masa Depan Kota dan Lingkungan (PDF). Makassar: Penerbit CV. Loe. ISBN 978-602-5862-08-3. 
  9. UNESCAP dan UN-HABITAT (2008). Perumahan bagi kaum miskin di kota-kota Asia: Perumahan untuk MBR: Memberi Tempat yang Layak bagi Kaum Miskin Kota (PDF). Bangkok: United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. ISBN 978-92-113-1947-7. 

Bibliografi

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]