Lompat ke isi

Syarif Kasim II dari Siak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Sultan Syarif Kasim II)
Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Kasim II
Sultan Syarif Kasim II
Sultan Siak Sri Inderapura 12
Masa jabatan
1915 – 1946
Informasi pribadi
Lahir1 Desember 1893
Siak Sri Inderapura
Meninggal23 April 1968(1968-04-23) (umur 74)
Indonesia Pekanbaru, Riau
Suami/istriTengku Agung Syarifah Latifah (1912-1929)
Tengku Maharatu Syarifah Fadlun (1930-1950)
Orang tua
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Sultan Syarif Kasim II bin Sultan Syarif Hasyim adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak Sri Indrapura sekaligus penguasa terakhir Kesultanan Siak sebelum Kerajaaan Melayu itu bergabung kedalam wilayah Indonesia.

Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden atau € 69 juta euro pada tahun 2011).[3] Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatra Timur lainnya untuk turut memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II dan UIN SUSKA di Pekanbaru.

Terlahir dengan nama Tengku Putra Said Kasim. Setelah ayahandanya mangkat, naiklah Tengku Said Kasim menggantikan bapaknya pada usia 21 tahun, bergelarkan Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin (tahun 1915-1946).

Tersohor dengan nama Sultan Syarif Kasim setelah naik tahta, tetapi karena kakek baginda juga bernama Sultan Syarif Kasim, supaya tak meragukan, disematkanlah sebutan Sultan Syarif Kasim I untuk datuknya, dan Sultan Syarif Kasim II untuk cucunya.

Sultan Syarif Kasim II bin Sultan Syarif Hasyim bin Sultan Syarif Kasim I bin Tengku Said Muhammad bin Tengku Busu Said Ahmad bin Syarif Usman

Pemikiran

[sunting | sunting sumber]

Tengku Said Kasim adalah seorang yang sangat antikolonial dan menolak bekerjasama dengan Belanda yang terlalu ikut campur mengenai politik istana.

Beliau ingin mempelajari politik dan pemerintahan yang diterapkan Belanda agar kelak bisa melawannya. Untuk itu beliau menimba ilmu di sekolah Tinggi Belanda di Betawi, dengan pimpinan seorang Guru Besar Prof. Dr. Hazeu.

Kepemimpinan

[sunting | sunting sumber]

Pada masa kekuasaannya, Kesultanan Siak telah dicengkeram beberapa kekuatan kolonial global yang silih berganti memengaruhi Kesultanan Siak.

Setelah beliau ditabalkan menjadi sultan menggantikan sang ayahandaya, baginda Sultan segera melakukan banyak perobahan demi melawan siasat Pemerintah Belanda saat itu yang sedang melakukan politik alih kekuasaan didaerah kerajaan-kerajaan Melayu, sehingga pada akhirnya Raja hanya sebagai lambang saja, sedangkan daulat dan wewenang Raja-Raja itu diambil oleh Gouvernement.

Perubahan itu dimulai dari mereformasi bidang pendidikan. Sekolah rakyat dibangunnya, didatangkanlah guru dari langkat. Sekolah dibagi 2 kelas menjadi Sekolah Dasar Kelas Satu dan Sekolah Dasar Kelas Dua.

Baginda juga mendirikan sebuah Internat (sekolah yang sekaligus menyediakan pondokan bagi pelajarnya) di Kota Siak Sri Indrapura. Siapapun dapat mengikuti pendidikan tanpa ada persyaratan biaya.

Baginda sediakan pondokan, beras, lauk pauk, segala macam hal asalkan bersedia belajar.

Dalam pendidikan Islam baginda turut mendirikan sekolah Agama Islam bernama Madrasatul Tahfiqiyah Hasyimiyah yang dibangun tahun 1919. Baginda juga mendirikan perguruan Islam khusus wanita bernama Madratunnisa Hasyimiyah.

Gurunya didatangkan dari berbagai tempat, dari Mesir, Padang Panjang, Aceh dan Langkat. Encik Rahmah Al-Yunusiah memimpin perguruan itu.

Diantaranya juga beberapa orang putra-putri Siak yang dikirim Baginda belajar keluar daerah melanjutkan pendidikannya dengan diberi biaya oleh kerajaan.

Dalam pemerintahan beliau adakan Kadi Besar di ibu kota kerajaan, dan ditiap tiap Distrik diadakan Imam Wilayah.

Istana yang ditinggalkan ayahandanya direhab akibat dari kerusakan besar, disamping didirka Mesjid baru di bekas Mesjid lama yang didirikan oleh datuknya, Sultan Syarif Kasim I.

pada tahun 1928, Hak Hutan Tanah kepunyaan Suku-suku dibawah kekuasaan Datuk-Datuk dihapuskan, dan diganti dengan uang sekaligus melalui Sultan Siak. Semua Datuk datuk baik kepala suku, maupun kepala Hinduk hinduk dan batiın dalam kerajaan Siak dibayar hak hutan tanahnya sekaligus. Ada yang menerima 1500 gulden, dan paling tinggi 10.000 gulden.

Ini terjadi kepada Datuk Dewa Pahlawan Kepala Suku Tujuh Hinduk di Bataian, sedangkan Datuk Laksamana Raja di Laut Bukit Batu tak mau menerima penggantian itu, dia menolak mentah-mentah.

Akhirnya Belanda untung tidak mengeluarkan uang penggantian sebanyak 50.000 untuk Datuk Laksamana.

Sedangkan politik penguasaan Belanda berjalan terus, kemudian di tahun itu juga ditiap Daerah diadakan belanda Boswesen untuk memungut cukai hasil hutan di seluruh Kerajaan Siak. Alasan Pemerintahan Belanda melakukan pengambilan alihan Hak Hutan Tanah itu, ialah untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kepentingan Rakyat banyak. Sultan tak percaya.

Perobahan ini menimbulkan ketegangan antara wakil Belanda dengan sultan, sehingga sewaktu Belanda diserang oleh Nazi Jerman 10 Mei 1940, hal itu dimanfaatkan Baginda dengan tidak menyetujui keinginan Belanda yg ingin membentuk Badan Pertahanan (staatswag) di Kerajaan Siak.

Hak milik atas tanah diberikan kepada Rakyat (hak Egendom) sedangkan kepada Bangsa asing hanya diberikan hak sewa.

Mengenai Heerendiensten (terkenal dengan nama Rodi), Baginda meminta Pemerintah Belanda agar tidak ada rakyatnya yang dikenakan kerja Rodi, Belanda mau asalkan bersedia mengganti dengan uang, Baginda pun membayar dengan uang.

Sultan Syarif Kasim II sempat menggunakan Jepang sebagai alat untuk melawan Belanda, sebagaimana dulu, datuknya juga sempat menggunakan Belanda untuk menghancurkan Inggris di selat Melaka, namun tak berlangsung lama, mulut manis Nippon tidak berbuah madu, lebih buruk dari Belanda.

Jepang kemudian menguasai pemerintahan secara struktural di wilayah Siak dengan dalih sebagai sekutu yang harus melindungi rakyat Asia dari jajahan bangsa Eropa.

Perjuangan Pergerakan Kemerdekaan

[sunting | sunting sumber]

Sultan Syarif Kasim II sempat berfirasat di subuh 17 Agustus 1945 bahwa Indonesia sudah merdeka.

Dibawah tekanan Jepang, segala jalur telekomunikasi radio dan surat kabar yang menjadi sumber penghubung dari Riau ke dunia luar dijaga ketat 24 jam. Tak ada berita dari Jakarta yang sampai ke Riau, termasuk berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Baginda mengutus telik sandi ke Jakarta, untuk memastikan firasat beliau benar adanya. Telik sandi itu kembali pada tanggal 28 Oktober 1945, benar bahwa Indonesia sudah merdeka.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan NKRI, Baginda membentuk badan perjuangan, seperti P.R.I. T.K.R, dan menyetujui semua laskar untuk menggunakan alat-alat militer kesultanan Siak peninggalan masa lampau.

Awal tahun 1946 Baginda berangkat ke Medan untuk menemui Mr. Teuku Muhammad Hassan, Gubernur Wilayah Sumatera setelah Indonesia merdeka yang pada waktu itu berkedudukan di Medan.

Di Medan Sultan Syarif Kasim II menyerahkan kedaulatan Kerajaan kepada Republik Indonesia, juga menyerahkan mahkota emasnya kepada Wakil Republik Indonesia itu di Bukit Tinggi, senilai 2 Juta rupiah dulu.

Di Medan baginda merasakan firasat tak enak, seakan tak ingin berlama-lama disini. Baginda pergi ke Pematang Siantar, Teuku Muhammad Hassan juga ikut dalam rombongan Sultan Syarif Kasim II dan keluarga.

Tak lama beberapa saat setelah itu, Revolusi Sosial di Sumatera Timur pecah, yang menjadi sasaran revolusi sosial itu adalah kaum bangsawan, para sultan dan keluarganya. Belanda dapat menduduki Medan, ibukota Provinsi Sumatera. Ibukota Provinsi Sumatera dipindahkan ke Pematang Siantar.

Mengungsi ke Aceh

[sunting | sunting sumber]

Baginda setelah itu ke Kota Raja Aceh. Ketika ingin pulang, orang Aceh tak mengizinkan baginda keluar dari Aceh dalam waktu dekat. Lalu lintas antara Aceh dan Riau sangat berbahaya. Tentara Belanda dan mata-matanya ada dimana-mana. Terlebih sultan membawa serta keluarga kerajaan.

Sehingga sampai agresi pertama (1947) dan kedua (1948) beliau tetap berada di Kota Raja Aceh.

Ketika di Aceh, Sultan Syarif Kasim II turut memberi bantuan sumbangan bersama rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".

Di Siak Belanda membentuk Raad (Pengadilan tertinggi di Kerajaan Belanda), mereka dikirim ke Denhag dan dimanipulasi Belanda sebagai wakil resmi Siak dalam perundingan KMB.

Baginda di Kota Raja mendapat kabar itu, tidak menyetujui adanya Raad Belanda di Siak. Utusan ke KMB itu Baginda katakan tidak sah, tidak mengatasnamakan Siak. Sampai di Denhag utusan itu ditolak masuk perundingan, tidak diterima sebagai utusan Siak. Seterusnya selalu menyerukan melalui RRI Kota Raja agar rakyatnya terus berjuang sampai tercapai kemenangan Indonesia 100%.

Hari Tua dan Kematian

[sunting | sunting sumber]

Setelah Belanda menyerah, Baginda Sultan Syarif Kasim II pindah ke Jakarta dengan mendapat hadiah Rumah tempat tinggal dari Pemerintah, letaknya di Jalan Pesuruan No. 3 Jakarta. Sehari-hari hidup sekeluarga hanya dari hasil Pensiunan sebesar Rp. 4.000. sebulan, sampai tahun 1963.

Selama berada di Jakarta kesehatan beliau mulai menurun dan sering sakit sakitan, akhirnya pindah ke Belakang Padang Kecamatan Batam sampai tahun 1964. Dimasa senjanya, beliau kembali ke Siak tinggal di Istana bersama isterinya yang terakhir Syarifah Fadlun.

Semasa berada kembali di Siak kehidupan Baginda sangat sederhana.

Sultan Syarif Kasim II wafat pada tanggal 23 April 1968 di Rumah Sakit Caltex Rumbai dan di makamkan dengan upacara MIliter di Siak Sri Indrapura.

Silsilah ke Sa'adah Ba'alawi

[sunting | sunting sumber]

Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII)

bin Sultan Syarif Hasyim (Sultan Siak XI)

bin Sultan Syarif Kasim I (Sultan Siak X)

bin Tengku Said Muhammad (Wali Sultan Siak)

bin Tengku Busu Said Ahmad (Yang Dipertuan Tebing Tinggi)

bin Sayyid Usman Syahabuddin

bin Sayyid Abdurrahman

bin Sayyid Sa'id

bin Sayyid Ali

bin Sayyid Muhammad

bin Sayyid Hasan

bin Sayyid Umar

bin Sayyid Hasan

bin Sayyid Ali

bin Sayyid Abu Bakar Assakran

bin Sayyid Abdurrahman Assegaf

bin Sayyid Muhammad Maula ad-Dawilah

bin Sayyid Ali Shohibud Dark

bin Sayyid Alwi Al-Ghoyyur

bin Sayyid Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam

bin Sayyid Ali

bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath

bin Sayyid Ali Khali' Qasam

bin Sayyid Alwi ats-Tsani

bin Sayyid Muhammad

bin Sayyid Alwi al-Awwal

bin Sayyid Ubaidillah (Abdullah)

bin Sayyid Ahmad Al-Muhajjir

bin Sayyid Issa Ar-Rumi

bin Sayyid Muhammad an-Naqib

bin Sayyid Ali al-Uraidhi

bin Sayyid Ja'far ash-Shadiq

bin Sayyid Muhammad al-Baqir

bin Sayyid Ali Zainal Abidin as-Sajjad

bin Sayyidina Husain bin Ali bin Abu Thalib

putra dari Sayyidah Fatimah az-Zahra

bin Rasulullah shalallahu alaihi wasallam

Silsilah ke Syarif Mekkah

[sunting | sunting sumber]

Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII)

bin Sultan Syarif Hasyim (Sultan Siak XI)

bin Sultan Syarif Kasim I (Sultan Siak X)

bin Tengku Said Muhammad (Wali Sultan Siak)

bin Tengku Busu Said Ahmad (Yang Dipertuan Tebing Tinggi)

putra dari Tengku Embung Badariyah (Putri Sultan Siak)

binti Sultan Alamuddin Syah (Sultan Siak IV)

bin Raja Kecik Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Sultan Siak I)

bin Sultan Mahmud Syah II (Sultan Johor Riau X)

bin Sultan Ibrahim Syah (Sultan Johor Riau IX)

bin Raja Bajau (Sultan Pahang XV dan Yamtuan Johor Riau)

putra dari Raja Putri Kamarliah

putri dari Raja Putri Tuah

binti Sultan Muhammad Hassan (Sultan Brunei IX)

bin Sultan Syaiful Rizal (Sultan Brunei VIII)

bin Sultan Abdul Kahar (Sultan Brunei VII)

bin Sultan Bolkiah Shah Alam (Sultan Brunei VI)

bin Sultan Sulaiman al-Qanuni (Sultan Brunei V)

bin Sultan Syarif Ali Al-Akbar (Sultan Brunei IV)

bin Syarif Ajlan Al-Hasani (Syarif Mekkah)

bin Syarif Rumaythah Al-Akbar Al-Hasani (Syarif Mekkah)

bin Syarif Abu Numayy I Al-Hasani (Syarif Mekkah)

bin Syarif Abu Saad Hasan Al-Hasani (Syarif Mekkah)

bin Syarif Ali Al-Hasani (Syarif Mekkah)

bin Syarif Qatada Al-Hasani (Syarif Mekkah)

bin Syarif Idris bin Muta'in Al-Hasani Al-Makki

bin Syarif Muta'in Al-Yanbu’i Al-Makki

bin Syarif Abdul Karim bin Issa

bin Syarif Issa bin Husain Al-Hasani

bin Syarif Husain bin Sulaiman Al-Hasani

bin Syarif Sulaiman bin Ali

bin Syarif Ali bin Abdullah Al-Hasani

bin Syarif Abdullah bin Husain Al-Akbar

bin Syarif Husain bin Muhammad

bin Syarif Muhammad At-Tayyir

bin Syarif Musa Ats-Tsani

bin Syarif Abdullah Al-Rida

bin Syarif Musa Al-Jun

bin Syarif Abdullah Al-Mahdi

bin Syarif Hasan Al-Mutsanna

bin Sayyidina Hasan bin Ali bin Abu Thalib

putra dari Sayyidah Fatimah Azzahra

binti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam

Silsilah ke Raja-Raja Melayu

[sunting | sunting sumber]

Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII)

bin Sultan Syarif Hasyim (Sultan Siak XI)

bin Sultan Syarif Kasim I (Sultan Siak X)

bin Tengku Said Muhammad (Wali Sultan Siak)

bin Tengku Busu Said Ahmad (Yang Dipertuan Tebing Tinggi)

putra dari Tengku Embung Badariyah (Putri Sultan Siak)

binti Sultan Alamuddin Syah (Sultan Siak IV)

bin Raja Kecik Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Sultan Siak I)

bin Sultan Mahmud Syah II (Sultan Johor Riau X)

bin Sultan Ibrahim Syah (Sultan Johor Riau IX)

bin Raja Bajau (Sultan Pahang XV dan Yamtuan Johor Riau)

bin Sultan Abdullah Muayat Syah (Sultan Johor-Riau VI)

bin Sultan Muzaffar Syah II (Sultan Johor-Riau II)

bin Sultan Alauddin Riayat Syah II (Sultan Johor-Riau I)

bin Sultan Mahmud Syah I (Sultan Melaka VIII)

bin Sultan Alauddin Riayat Syah I (Sultan Melaka VII)

bin Sultan Mansur Syah (Sultan Melaka VI)

bin Sultan Muzaffar Syah (Sultan Melaka V)

bin Sultan Muhammad Syah (Sultan Melaka III)

bin Sultan Megat Iskandar Syah (Sultan Melaka II)

bin Parameswara Sultan Iskandar Syah (Pendiri Kerajaan Melaka)

bin Sri Maharaja (Raja Singapura IV)

bin Sri Rana Wikrama (Raja Singapura III)

bin Sri Wikrama Wira (Raja Singapura II)

bin Sang Nila Utama (Raja Bintan & Singapura I)

Silsilah ke Raja-Raja Sriwijaya

[sunting | sunting sumber]

Sultan Megat Iskandar Syah (Sultan Melaka II)

menikah dengan Putri Kamarul Ajaib

binti Sultan Mahmud Jiddah Riayah Saadatussalam

bin Raja Sang Tawal

bin Raja Sakantra

bin Raja Surendra

bin Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa

Referensi

[sunting | sunting sumber]