Lompat ke isi

Loka (Buddhisme)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Loka dewa)
Candi Borobudur sebagai bentuk penggambaran kosmologi Buddhisme

Dalam Buddhisme, loka (KBBI; diserap dari Sanskerta: लोक; Pali: loka), dunia, alam kehidupan, atau bumi (Pali, Sanskerta: bhūmi atau dhātu) adalah penggambaran alam semesta yang dihuni oleh berbagai jenis makhluk. Sang Buddha menjelaskan bahwa dunia ini sangat luas dengan sistem dunia yang jumlahnya sangat banyak. Bumi bukanlah satu-satunya sistem dunia yang dapat dihuni, dan manusia bukanlah satu-satunya makhluk.[1] Berbagai aliran Buddhis telah mengembangkan berbagai pengelompokkan alam-alam kehidupan yang berbeda-beda.

Secara keseluruhan, berdasarkan penafsiran terhadap Tripitaka Pali dan kitab-kitab komentar (aṭṭhakathā), aliran Theravāda mengidentifikasi tiga puluh satu jenis alam kehidupan atau loka yang diuraikan berdasarkan wujud, karakteristik, dijabarkan bahwa tiga puluh satu loka tidak hanya ada di sistem dunia ini, tetapi juga di antara jutaan sistem dunia atau semesta lainnya. Setiap satu sistem memiliki tiga puluh satu lokanya sendiri.[2] Loka tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yaitu:[3][4][5]

  • 4 loka lingkup-nonmateri (arūpavacara-)
    • 4 loka brahma nonmateri (arūpabrahma-)
  • 16 loka lingkup-materi-halus (rūpavacara-)
    • 16 loka brahma-materi-halus (rūpabrahma-)
  • 11 loka lingkup-indrawi (kāmavacara-)
    • 7 loka lingkup-kebahagiaan-indrawi (kāmasugativacara-)
      • 6 loka surga atau loka dewa (deva-) selain loka brahma
      • 1 loka manusia (manussa-)
    • 4 loka kemalangan (apāya-)

Pengelompokkan alam-alam tersebut juga dapat dijabarkan dalam model klasifikasi lain yang terdiri atas loka surga, manusia, dan kemalangan:

  • 26 loka surga (sagga- atau deva-)
    • 20 loka brahma (brahma-)
      • 4 loka brahma nonmateri (arūpabrahma-)
      • 16 loka brahma-materi-halus (rūpabrahma-)
    • 6 loka surga atau loka dewa (deva-) selain loka brahma
  • 1 loka manusia (manussa-)
  • 4 loka kemalangan (apāya-)

Dalam kitab Visuddhimagga, dijelaskan empat periode perubahan alam semesta, yaitu periode kehancuran (saṁvaṭṭa); periode diam atau stabil dalam keadaan hancur (saṁvaṭṭaṭṭhāyī); periode terbentang, mengembang, atau pembentukan kembali (vivaṭṭa); dan periode kestabilan setelah perkembangan (vivaṭṭaṭṭhāyī).

Klasifikasi tiga puluh satu alam keberadaan dalam kelompok alam surga, alam manusia, dan alam rendah (juga alam nonmateri, alam materi, dan alam kesenangan indrawi) adalah interpretasi umum aliran Theravāda, sedangkan aliran-aliran Buddhis awal juga mengenalkan kategorisasi enam alam: tiga alam baik (surgawi, setengah-dewa, manusia) dan tiga alam buruk (binatang, hantu, neraka). Kitab-kitab Buddhis yang lebih awal juga mengenalkan kategorisasi lima alam, bukan enam alam; ketika digambarkan sebagai lima alam, alam dewa dan alam setengah dewa dianggap sebagai satu jenis alam.[6] Kategorisasi enam alam umum diyakini oleh pengikut Buddhisme Tibet.

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Tiga puluh satu loka

[sunting | sunting sumber]
Ilustrasi tiga puluh satu (31) alam kehidupan atau loka yang meliputi alam brahma, surga, manusia, dan kemalangan (neraka, binatang/hewan, peta/hantu kelaparan, dan asura).

Dalam beberapa literatur Buddhis, tiga puluh satu alam kehidupan atau loka dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yaitu:

  • loka lingkup-nonmateri (arūpavacara-),
  • loka lingkup-materi-halus (rūpavacara-), dan
  • loka lingkup-indrawi (kāmavacara-).[3][4][5]

Loka surga dan loka manusia

[sunting | sunting sumber]

Loka surga (atau dewa) dan manusia terdiri atas loka brahma dan loka yang-penuh-kebahagiaan-indrawi.

Loka brahma

[sunting | sunting sumber]

Loka brahma (brahmaloka) terdiri atas loka brahma-materi-halus (rūpāvacarabhūmi), dan loka brahma-nonmateri (arūpavacarabhūmi). Loka ini merupakan surga tertinggi di sistem kosmologi Buddhis, berkedudukan di atas loka yang-penuh-kebahagiaan (kāmasugatibhūmi), dan berjumlah 20 loka:[3][4][5]

  • 4 loka brahma-nonmateri (arūpavacarabhūmi):
  1. ākāsānañcāyatana
  2. viññāṇānañcāyatana
  3. ākiṁcanyāyatana
  4. nevasaññānāsaññāyatana
  • 16 loka brahma-materi-halus (rūpāvacarabhūmi):
    • 1 loka makhluk-tanpa-batin (asaññasattā)
    • 1 loka buah-besar (vehapphalā)
    • 5 loka kediaman-murni (suddhāvāsā)
      1. aviha
      2. atappa
      3. sudassa
      4. sudassī
      5. akaniṭṭha
    • 9 loka brahma-biasa:
    1. brahmapārisajja
    2. brahmapurohita
    3. mahābrahmā
    4. parittābha
    5. appamāṇābha
    6. ābhassara
    7. parittasubha
    8. appamāṇasubha
    9. subhakiṇha

Loka materi-halus (rūpāvacarabhūmi) disebut demikian karena para brahma yang tinggal di loka-loka ini memiliki tubuh yang sangat halus dan bahkan beberapa jenis materi sudah tidak ada di tubuh mereka. Loka nonmateri (arūpavacarabhūmi) berlokasi di atas loka materi-halus (rūpāvacarabhūmi) dan terdiri dari 4 tingkatan. Loka nonmateri disebut demikian karena makhluk yang terlahir di loka ini tidak memiliki tubuh jasmani sama sekali. Eksistensi kehidupan mereka hanyalah berupa fenomena mental atau batin.[3][4][5]

Loka materi-halus adalah loka kelahiran untuk mereka yang di kehidupan terakhirnya menguasai salah satu dari jhāna materi-halus hingga di detik-detik menjelang kematiannya. Kelahiran di loka ini tidak akan bisa dicapai oleh mereka yang pada awalnya menguasai jhāna materi-halus dan di kemudian hari kehilangan jhāna-nya sebagai akibat kelalaian karena jarang berlatih atau karena terganggu oleh kilesa-kilesa yang kasar. Loka nonmateri merupakan loka untuk mereka yang di kehidupan sebelumnya menguasai jhāna nonmateri hingga di detik-detik menjelang kematiannya. Singkatnya, seseorang perlu melakukan satu dari 8 karma baik yang berat, yaitu pencapaian meditatif:[3][4][5]

  • 4 jhāna materi-halus (rūpāvacarajhāna)
  • 4 jhāna nonmateri (arūpajhāna)

Loka kebahagiaan indrawi

[sunting | sunting sumber]

Enam loka pertama selain loka manusia (manussaloka) dalam kategorisasi loka kebahagiaan indrawi atau loka yang-penuh-kebahagiaan-indrawi (kāmasugatibhūmi) juga termasuk loka para dewa. Loka yang-penuh-kebahagiaan-indrawi (kāmasugatibhūmi) berjumlah 7 loka:[3][4][5]

  • 6 loka surga atau loka dewa (devaloka) selain loka brahma:
    • 1 loka empat-mahāraja (cātummahārājikā)
    • 1 loka tiga-puluh-tiga-dewa (tāvatiṃsa)
    • 1 loka [dewa] Yāmā (yāmā)
    • 1 loka yang-sangat-menyenangkan (tusita)
    • 1 loka yang-gemar-mencipta (nimmānaratī)
    • 1 loka yang-mengendalikan-ciptaan-dewa-lain (paranimmitavasavatti)
  • 1 loka manusia (manussaloka)

Loka-loka tersebut dinamakan “loka yang-penuh-kebahagiaan-indrawi” karena para makhluk yang terlahir di loka-loka tersebut merasakan kebahagiaan dengan bersandar pada pancaindra mereka. Dari tujuh loka tersebut, enam loka yang kedudukannya berada di atas loka manusia adalah alam surga yang posisinya lebih rendah dari alam surga para brahma yang dikenal oleh Buddhisme.[3][4][5]

Pada intinya, sebab-sebab kelahiran di alam surga diuraikan dari penjagaan terhadap moralitas (pañcasīla) Buddhis melalui Sepuluh Jalan Karma Baik (kusalakammapatha):[3][5]

  • Tiga perbuatan baik melalui tubuh (Pāli: kusala kāyakamma)
  1. Menahan diri dari pembunuhan (pāṇātipātā veramaṇī)
  2. Menahan diri dari pencurian (adinnādānā veramaṇī)
  3. Menahan diri dari perzinaan (kāmesumicchācārā veramaṇī)
  • Empat perbuatan baik melalui ucapan (kusala vacīkamma)
  1. Menahan diri dari perkataan tidak benar (musāvādā veramaṇī)
  2. Menahan diri dari ucapan fitnah (pisuṇāya vācāya veramaṇī)
  3. Menahan diri dari ucapan kasar (pharusāya vācāya veramaṇī)
  4. Menahan diri dari omong kosong (samphappalāpā veramaṇī)
  • Tiga perbuatan baik melalui mental (kusala manokamma)
  1. Tiadanya dambaan (anabhijjhā)
  2. Tiadanya niat jahat (abyāpāda)
  3. Pandangan-benar (sammādiṭṭhi)

Selain sepuluh jalan karma baik di atas, juga dikenal sepuluh karma baik lagi, yakni sepuluh landasan perbuatan baik (dasa-puñña-kiriya-vatthu):[3][5]

  1. Bederma (dāna)
  2. Moralitas atau akhlak (sīla)
  3. Meditasi atau pengembangan batin (bhāvanā)
  4. Rasa hormat (apaciti)
  5. Pelayanan (veyyāvacca)
  6. Pelimpahan jasa (pattānuppadāna)
  7. Turut berbahagia atas kebajikan orang lain (abbhanumodanā)
  8. Mengajar Dhamma (desanā)
  9. Mendengarkan Dhamma (dhammasavana)
  10. Meluruskan pandangan (diṭṭhijukamma)

Loka kemalangan

[sunting | sunting sumber]

Loka kemalangan atau tanpa-kebahagiaan (apāya- atau kāmaduggati-), juga dikenal sebagai loka rendah, terdiri atas 4 jenis alam:[3][4][5]

  • Loka neraka (niraya)
  • Loka kerajaan-binatang (tiracchānayoni)
  • Loka hantu-hantu kelaparan atau wilayah-peta (pettivisaya)
  • Loka kumpulan-asura (asurakāya)

Dari empat loka apāya, ada tiga loka yang hidup bersama dengan manusia yaitu binatang, peta, dan kumpulan-asura. Mereka yang ada di neraka hidup dengan lokasi yang berbeda, yakni di inti bumi.[3][4][5]

Makhluk yang terlahir di empat loka ini akan menghabiskan sebagian besar hidupnya loka penderitaan. Walaupun kesadaran yang baik bisa muncul di loka-loka ini, tetapi, disebabkan oleh buah karma buruk yang masak silih berganti, mereka tetap saja kesulitan menjaga batinnya untuk tetap tenang dan damai. Kesulitan, kesakitan, penderitaan, dan kemalangan yang mereka alami di sepanjang kehidupannya jauh lebih banyak dibandingkan dengan kemudahan, keberuntungan, dan kebahagiaan.[3][5]

Seseorang masih mungkin terlahir kembali di empat loka rendah jika belum mencapai tingkat kesucian pertama, yakni sotāpanna. Ada berbagai sebab kelahiran di loka-loka yang menyedihkan. Pada intinya, sebab-sebab tersebut diuraikan dari pelanggaran terhadap moralitas (pañcasīla) Buddhis melalui Sepuluh Jalan Karma Tidak Baik (akusalakammapatha):[3][5]

  1. Pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipāta)
  2. Pencurian (adinnādāna)
  3. Perzinaan (kāmesumicchācāra)
  4. Perkataan tidak benar (musāvāda)
  5. Ucapan fitnah (pisuṇavācā)
  6. Ucapan kasar (pharusavācā)
  7. Omong kosong (samphappalāpa)
  8. Dambaan (abhijjhā)
  9. Niat jahat (vyāpāda)
  10. Pandangan salah (micchādiṭṭhi)

Sebab pasti terlahir di neraka adalah melakukan lima karma yang keji (ānantariyakamma), yakni:[3][5]

  1. Membunuh ibu kandung
  2. Membunuh ayah kandung
  3. Membunuh seorang arahat
  4. Dengan maksud jahat melukai tubuh Tathāgata
  5. Memecah belah Sangha

Selain itu, 3 kelompok pandangan-salah juga bisa menyebabkan kelahiran di neraka Avīci:[3][5]

  1. Pandangan tentang tiadanya dampak dari perbuatan (akiriya diṭṭhi) yang menolak adanya akibat dari karma baik dan karma tidak baik.
  2. Pandangan fatalis tentang tiadanya sebab (ahetuka diṭṭhi) yang menyangkal akar, sebab, dan kondisi. Pandangan ini menolak adanya sebab dari suatu kejadian: semua kejadian muncul karena kebetulan saja—tanpa sebab.
  3. Pandangan nihilis (natthika diṭṭhi) yang menolak baik sebab maupun akibat dari suatu perbuatan.

Periode alam semesta

[sunting | sunting sumber]
Pagoda Wat Arun dibangun untuk menunjukkan kosmologi Buddha

Empat periode perubahan alam semesta menurut kitab Visuddhimagga:

  1. Periode kehancuran (saṁvaṭṭa): dalam periode ini, alam semesta terus menerus mengalami penyusutan (parihāyamāna).
  2. Periode diam atau stabil dalam keadaan hancur (saṁvaṭṭaṭṭhāyī): termasuk ke dalam periode kehancuran—dalam periode ini, alam semesta berada dalam kehancuran dalam jangka waktu yang lama sekali.
  3. Periode terbentang, mengembang, atau pembentukan kembali (vivaṭṭa): alam semesta tumbuh berkembang (vaḍḍhamāna) dalam satu proses yang sangat lama.
  4. Periode kestabilan setelah perkembangan (vivaṭṭaṭṭhāyī): alam semesta berada dalam keadaan seperti ini untuk jangka waktu yang sangat lama.

Satu rentang waktu sejak periode pembentukan hingga kehancuran alam semesta disebut sebagai satu kalpa (Pāli: kappa).

Terbentuknya alam semesta

[sunting | sunting sumber]

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini sangat luas dengan banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ānanda dalam Cūḷanikā Sutta (Aṅguttara Nikāya 3.80):[7]

Dengan demikian, sebuah dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya dan sebuah tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya.

Menurut agama Buddha, manusia pertama bukanlah seorang atau dua orang, tetapi banyak orang. Terjadinya Bumi dan manusia pertama yang tidak melibatkan suatu pencipta dunia diuraikan oleh Sang Buddha dalam Aggañña Sutta, Dīgha Nikāya 27[8] dan Brahmajāla Sutta (Dīgha Nikāya 1).[9] Berikut uraian Aggañña Sutta (Dīgha Nikāya 27):

‘Akan tiba waktunya, Vāseṭṭha, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut. Pada saat penyusutan, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung—dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama. Tetapi cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, dunia ini mulai mengembang lagi. Pada saat mengembang ini, makhluk-makhluk dari alam Brahmā Ābhassara, setelah meninggal dunia dari sana, sebagian besar terlahir kembali di alam ini. Di sini mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung– dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

‘Pada masa itu, Vāseṭṭha, hanya ada air, dan diselimuti kegelapan, kegelapan yang membutakan, tidak ada bulan dan tidak ada matahari yang muncul, tidak ada bintang, siang dan malam tidak dapat dibedakan, tidak juga bulan dan dwi-mingguan, tidak juga tahun atau musim, dan tidak ada laki-laki dan perempuan, makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk. Dan cepat atau lambat, setelah waktu yang sangat lama, tanah yang lezat muncul dengan sendirinya di atas permukaan air di mana makhluk-makhluk itu berada. Terlihat seperti lapisan yang terbentuk sendiri di atas susu panas ketika mendingin. Tanah ini memiliki warna, bau dan rasa. Seperti warna ghee atau mentega kualitas terbaik, dan sangat manis bagaikan madu murni.

...

‘Kemudian beberapa makhluk yang bersifat serakah berkata: “Aku mengatakan, apakah ini?” dan mengecap tanah lezat itu dengan jarinya. Karena melakukan hal itu, ia menjadi menyukai rasa itu, dan ketagihan muncul dalam dirinya. Kemudian makhluk-makhluk lain, mengambil contoh dari makhluk pertama itu, juga mengecap benda itu dengan jari mereka. Mereka juga menyukai rasa itu, dan ketagihan muncul dalam diri mereka. Maka mereka mulai dengan tangan mereka, memecahkan potongan-potongan benda itu untuk dapat memakannya. Dan akibat dari perbuatan ini adalah cahaya tubuh mereka lenyap. Dan sebagai akibat dari lenyapnya cahaya tubuh mereka, bulan dan matahari muncul, malam dan siang dapat dibedakan, bulan dan dwi-mingguan muncul, dan tahun dan musim-musimnya. Sampai sejauh itu dunia berevolusi.

‘Dan makhluk-makhluk itu terus berpesta tanah lezat dalam waktu yang lama, memakan tanah dan mendapatkan nutrisi dari tanah. Dan karena melakukan hal itu, jasmani mereka menjadi lebih kasar, dan perbedaan penampilan mulai terbentuk di antara mereka. Beberapa makhluk terlihat lebih rupawan, sedangkan yang lain terlihat buruk-rupa. Dan yang rupawan merendahkan yang lainnya, berkata: “Kami lebih rupawan daripada mereka.” Dan karena mereka menjadi sombong dan angkuh akan penampilan mereka, tanah yang lezat itu lenyap. Mengetahui hal ini, mereka berkumpul dan meratap: “Oh rasa itu! Oh rasa itu!” Dan masa kini ketika orang mengucapkan: “Oh rasa itu!” ketika mereka mendapatkan sesuatu yang menarik, mereka mengulangi kalimat kuno tanpa menyadarinya.

‘Dan kemudian, ketika tanah yang lezat lenyap, jamurtumbuh, sejenis cendawan. Jamurini memiliki warna, bau dan rasa. Seperti warna ghee atau mentega kualitas terbaik, dan sangat manis bagaikan madu murni. Dan makhluk-makhluk itu mulai memakan jamur itu. Dan hal ini berlangsung selama waktu yang sangat lama. Dan karena mereka terus-menerus memakan jamur, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, dan perbedaan dalam penampilan mereka lebih nyata lagi. Dan mereka yang rupawan merendahkan yang buruk rupa … Dan karena mereka menjadi sombong dan angkuh akan penampilan mereka, jamur manis itu lenyap. Berikutnya, tanaman merambat muncul, menjulur bagaikan bambu …, dan tanaman itu juga sangat manis, bagaikan madu murni.

‘Dan makhluk-makhluk itu mulai memakan tanaman rambat itu. Dan karena mereka terus-menerus memakan tanaman rambat itu, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, dan perbedaan dalam penampilan mereka lebih meningkat lagi … Dan mereka menjadi semakin sombong, dan karena itu tanaman rambat itu lenyap. Mengetahui hal ini, mereka berkumpul dan meratap: “Aduh, tanaman rambat kita lenyap! Apakah yang telah kita hilangkan!” Dan masa kini ketika orang-orang ditanya mengapa mereka bersedih, mereka mengucapkan: “Oh, apakah yang telah kita hilangkan!” mereka mengulangi kalimat kuno tanpa menyadarinya.

‘Dan kemudian, setelah tanaman merambat lenyap, beras muncul di ruang terbuka, bebas dari dedak dan sekam, harum dan berbutiran bersih. Dan apa yang mereka ambil untuk makan malam akan tumbuh lagi dan masak di pagi harinya, dan apa yang mereka ambil untuk sarapan pagi akan masak lagi di malam hari, tidak ada tanda-tanda telah dipanen. Dan makhluk-makhluk ini mulai memakan beras ini, dan hal ini berlangsung selama waktu yang sangat lama. Dan karena mereka melakukan hal itu, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, dan perbedaan dalam penampilan mereka lebih meningkat lagi. Dan yang perempuan menumbuhkan alat kelamin perempuan, dan yang laki-laki menumbuhkan alat kelamin laki-laki. Dan yang perempuan menjadi tertarik dengan laki-laki, dan yang laki-laki tertarik dengan perempuan, nafsu tumbuh, dan tubuh mereka terbakar oleh nafsu. Dan kemudian, karena terbakar oleh nafsu, mereka terlibat dalam aktivitas seksual. Tetapi mereka yang melihat perbuatan itu melemparkan debu, abu atau kotoran sapi kepada mereka, meneriakkan: “Matilah, engkau binatang kotor! Bagaimana mungkin seseorang melakukan hal demikian terhadap orang lain!” seperti di masa kini, ketika seorang menantu perempuan di bawa keluar, beberapa orang melemparkan kotoran padanya, beberapa melemparkan abu, dan beberapa melemparkan kotoran-sapi, tanpa menyadari bahwa mereka mengulangi perilaku kuno. Apa yang dianggap buruk di masa itu sekarang dianggap baik.

‘Dan makhluk-makhluk yang pada masa itu melakukan hubungan seksual tidak diperbolehkan memasuki desa atau kota selama satu atau dua bulan. Oleh sebab itu, mereka yang melakukan perbuatan itu secara berlebihan dalam waktu yang lama mulai membangun rumah agar perbuatan mereka tidak terlihat.

‘Kemudian pikiran ini muncul dalam salah satu dari makhluk itu yang cenderung malas: “Mengapa aku harus bersusah payah mengumpulkan beras di malam hari untuk makan malam dan di pagi hari untuk makan pagi. Mengapa aku tidak mengumpulkan sekaligus untuk dua kali makan?” Dan ia melakukan hal itu. Kemudian makhluk lain mendatanginya dan berkata: “Ayo, mari kita mengumpulkan beras.” “Tidak perlu, temanku, aku telah mengumpulkan cukup untuk dua kali makan.” Kemudian makhluk lain, mengikuti teladannya, mengumpulkan cukup beras untuk dua hari sekaligus, berkata: “Ini cukup.” Kemudian makhluk lain mendatangi makhluk kedua dan berkata: “Ayo, mari kita mengumpulkan beras.” “Tidak perlu, temanku, aku telah mengumpulkan cukup untuk dua hari.” hal yang sama untuk 4, kemudian 8 hari. Akan tetapi, ketika makhluk-makhluk itu membuat lumbung beras dan hidup dari lumbung itu, dedak dan sekam mulai membungkus beras itu, dan ketika dipanen, tidak tumbuh lagi, dan tempat panen mulai terlihat, dan beras tumbuh dalam rumpun-rumpun terpisah.

‘Dan kemudian makhluk-makhluk itu berkumpul dan meratap: “Cara-cara jahat meliputi kita: pada mulanya kita adalah ciptaan-pikiran, makan dari kegembiraan … (semua kejadian diulangi hingga yang terakhir, setiap perubahan dikatakan disebabkan oleh ‘cara jahat dan tidak bermanfaat’) … dan beras tumbuh di rumpun-rumpun terpisah. Mari kita membagi beras ini menjadi lahan-lahan dengan perbatasan.” Dan mereka melakukan hal itu.

‘Kemudian, Vāseṭṭha, satu makhluk yang memiliki sifat serakah, sewaktu melihat lahannya sendiri, mengambil lahan lain yang tidak diberikan kepadanya, dan menikmati buahnya juga. Maka mereka menangkapnya dan berkata: “Engkau telah melakukan kejahatan, mengambil lahan makhluk lain seperti itu! Jangan pernah melakukan hal itu lagi!” “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi”, ia berkata, tetapi ia melakukan hal yang sama untuk kedua kali dan ketiga kalinya. Sekali lagi mereka menangkapnya dan memarahinya, dan beberapa memukulnya dengan tinju mereka, beberapa menggunakan batu, dan beberapa menggunakan tongkat. Dan demikianlah, Vāseṭṭha, mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, dan hukuman berasal-mula.

‘Dan kemudian makhluk-makhluk itu berkumpul dan meratapi munculnya hal-hal jahat di tengah-tengah mereka: mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, dan hukuman. Dan mereka berpikir: “Bagaimana jika kita menunjuk satu makhluk tertentu, yang menunjukkan kemarahan ketika kemarahan diperlukan, mencela mereka yang patut dicela, dan mengusir mereka yang patut diusir! Dan sebagai imbalannya, kita akan menyerahkan sebagian dari beraskita.” Maka mereka mendatangi salah satu di antara mereka yang paling tampan, paling menarik, paling menyenangkan dan memiliki kemampuan, dan memintanya untuk melakukan hal itu untuk mereka dan sebagai imbalannya mereka akan memberikan kepadanya sebagian beras mereka, dan ia menyetujuinya.

‘“Pilihan Penduduk” adalah arti dari Mahā-Sammata, yang merupakan gelar pertamayang diperkenalkan. “Tuan Tanah” adalah arti dari Khattiya, gelar kedua. Dan “Ia Menggembirakan Orang Lain dengan Dhamma” adalah arti dari Rājā, gelar ketiga yang diperkenalkan. Inilah kemudian, Vāseṭṭha, yang menjadi asal-usul dari kasta Khattiya, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama, seperti kita juga, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Kemudian beberapa makhluk ini berpikir: “Hal-hal jahat telah muncul di tengah-tengah para makhluk, seperti mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, hukuman dan pengusiran. Kita harus menyingkirkan hal-hal jahat dan tidak bermanfaat.” Dan mereka melakukan hal itu. “Mereka MenyingkirkanHal-hal Jahat dan Tidak Bermanfaat” adalah arti dari Brahmana, yang merupakan gelar pertama yang diperkenalkan untuk orang-orang demikian. Mereka mendirikan gubuk-gubuk daun di tempat-tempat di dalam hutan dan bermeditasi di dalamnya. Dengan api dipadamkan, dengan penumbuk padi disingkirkan, mengumpulkan dana makanan untuk makan malam dan pagi, mereka pergi ke desa, pemukiman atau ibukota untuk mencari makanan, dan kemudian kembali ke gubuk daun mereka untuk bermeditasi. Orang-orang melihat hal ini dan memperhatikan bagaimana mereka bermeditasi. “Mereka Bermeditasi”adalah arti dari Jhāyaka, yang adalah gelar ke dua yang diperkenalkan.

‘Akan tetapi, beberapa makhluk, tidak mampu bermeditasi di gubuk daun, mereka bertempat tinggal di dekat desa dan pemukiman dan menyusun buku. Orang-orang melihat mereka melihat hal ini dan tidak bermeditasi. “Sekarang Orang-orang Ini Tidak Bermeditasi”adalah arti dari Ajjhāyaka, yang adalah gelar ketiga yang diperkenalkan. Pada masa itu, ini dianggap sebutan yang rendah, tetapi sekarang sebutan ini menjadi lebih tinggi. Inilah kemudian, Vāseṭṭha, yang menjadi asal-usul dari kasta Brahmana, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama seperti mereka, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Dan kemudian, Vāseṭṭha, beberapa dari makhluk-makhluk itu, setelah berpasangan, melakukan berbagai jenis perdagangan, dan kata “Berbagai”ini adalah arti dari Vessa, yang menjadi gelar biasa bagi orang-orang demikian. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Vessa, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama …

‘Dan kemudain, Vāseṭṭha, makhluk-makhluk itu yang tetap melakukan perburuan. “Mereka Yang Rendah Yang Hidup Dari Perburuan”, dan ini adalah arti dari Sudda, yang menjadi gelar biasa bagi orang-orang demikian. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Suddasesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama …

‘Dan kemudian, Vāseṭṭha, beberapa Khattiya tidak puas dengan Dhamma-nya sendiri, meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, berpikir: “Aku akan menjadi seorang petapa.” Dan seorang Brahmana melakukan hal yang sama, seorang Vessa juga melakukan hal yang sama, dan juga seorang Sudda. Dari empat kasta ini, muncullah kasta petapa.

Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama seperti mereka, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Dan, Vāseṭṭha, seorang Khattiya yang menjalani kehidupan yang burukdalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan salah akan, sebagai akibat dari pandangan dan perbuatan salah itu, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam sengsara, bertakdir buruk, mengalami kejatuhan, di neraka. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Sebaliknya, seorang Khattiya yang menjalani kehidupan yang baik dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan benar akan, sebagai akibat dari pandangan dan perbuatan benar itu, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam bahagia, di alam surga. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Dan seorang Khattiya yang telah melakukan kedua jenis perbuatan itu, dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan campuran akan, sebagai akibat dari pandangan dan perbuatan campuran itu, saat hancurnya jasmani setelah kematian, mengalami kesenangan dan kesakitan. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Dan seorang Khattiya yang terkendali dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang mengembangkan tujuh prasyaratpencerahan, akan mencapai Parinibbānadalam kehidupan ini juga. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Dan, Vāseṭṭha, siapapun di antara empat kasta, sebagai seorang bhikkhu, menjadi seorang Arahant yang telah menghancurkan kekotoran, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkanbeban, telah mencapai tujuan tertinggi, telah menghancurkan belenggu penjelmaan, dan menjadi terbebaskan melalui pandangan terang tertinggi—ia dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara mereka sesuai Dhamma dan bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Vāseṭṭha, adalah Brahmā Sanankumāra yang mengucapkan syair ini:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta;

Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

Syair ini dinyanyikan dengan benar, tidak salah, diucapkan dengan benar, tidak salah, berhubungan dengan manfaat, bukan tidak berhubungan. Dan Aku juga mengatakan hal ini, Vāseṭṭha:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta;

Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

Demikianlah Sang Bhagavā berbicara, dan Vāseṭṭha dan Bhāradvāja senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.

Kiamat atau hancur leburnya Bumi dijelaskan dalam Sattasūriya Sutta (Aṅguttara Nikāya 7.66).[10] Menurut Buddhisme, kiamat disebabkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya, dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini, muncullah matahari yang kedua. Lalu, dengan berselangnya suatu masa yang lama, matahari ketiga muncul. Kemudian, matahari keempat hingga ketujuh muncul secara bertahap. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.

“Para bhikkhu, fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak kekal; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak stabil; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak dapat diandalkan. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, Sineru, raja pegunungan, adalah 84.000 yojana panjangnya dan 84.000 yojana lebarnya; terbenam 84.000 yojana di dalam samudra raya dan menjulang 84.000 yojana di atas samudra raya.

(1) “Akan tiba waktunya, para bhikkhu, ketika hujan tidak turun selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun. Ketika hujan tidak turun, maka benih-benih kehidupan dan tumbuh-tumbuhan, tanaman obat-obatan, rerumputan, dan pepohonan besar di dalam hutan menjadi layu dan mengering dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(2) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke dua muncul. Dengan munculnya matahari ke dua, maka sungai-sungai kecil dan danau-danau mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(3) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tiga muncul. Dengan munculnya matahari ke tiga, maka sungai-sungai besar—Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(4) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke empat muncul. Dengan munculnya matahari ke empat, maka danau-danau besar dari mana sungai-sungai besar itu berasal—Anotatta, Sīhapapāta, Rathakāra, Kaṇṇamuṇda, Kunāla, Chaddanta, dan Mandākinī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(5) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke lima muncul. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga seratus yojana, dua ratus yojana… tiga ratus yojana … tujuh ratus yojana. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tinggi tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … lima pohon palem … empat pohon palem … tiga pohon palem … dua pohon palem … hanya satu pohon palem. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tujuh depa … enam depa … lima depa … empat depa … tiga depa … dua depa … satu depa … setengah depa … setinggi pinggang … setinggi lutut … semata kaki. Bagaikan di musim gugur, ketika hujan turun dengan butiran-butiran besar, maka air menggenang di jejak kaki sapi di sana-sini, demikian pula air yang tersisa di samudra raya akan menggenang di sana sini [dalam kolam-kolam] yang berukuran sebesar jejak kaki sapi. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga sendi-sendi jari tangan. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(6) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke enam muncul. Dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Bagaikan api pengrajin tembikar, ketika dinyalakan, pertama-tama berasap, berpijar, dan menyala, demikian pula dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(7) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tujuh muncul. Dengan munculnya matahari ke tujuh, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, meledak terbakar, menyala dengan terang, dan menjadi sebuah kumpulan api yang besar. Ketika bumi ini dan Sineru menyala dan terbakar, apinya tertiup angin, menjulang hingga ke alam brahmā. Ketika kehancuran sedang berlangsung dan dikuasai oleh kumpulan besar panas, maka gunung yang puncaknya setinggi seratus yojanamenjadi hancur; gunung yang puncaknya dua ratus yojana… tiga ratus yojana … empat ratus yojana … lima ratus yojana menjadi hancur.

“Ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Seperti halnya, ketika ghee atau minyak terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Demikian pula ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, siapakah kecuali mereka yang telah melihat kebenaran akan berpikir atau percaya: ‘Bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, akan terbakar, hancur, dan menjadi tidak ada lagi’?

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Sunetta memiliki ratusan murid yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia sedang mengajar, mereka yang sepenuhnya memahami ajarannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam brahmā. Tetapi mereka yang tidak sepenuhnya memahami ajarannya, beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang menguasai ciptaan para deva lain; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tusita; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Yāma; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tāvatiṁsa; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang dipimpin] oleh empat raja dewa. Beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para khattiya makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para brahmana makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para perumah tangga makmur.

“Kemudian, para bhikkhu, Guru Sunetta berpikir: ‘Tidaklah selayaknya jika aku mencapai alam tujuan masa depan yang persis sama dengan para muridku. Biarlah aku mengembangkan cinta kasih lebih jauh lagi. Kemudian selama tujuh tahun Guru Sunetta mengembangkan pikiran cinta kasih. Sebagai konsekuensinya, selama tujuh kappa penghancuran dan pengembangan dunia ia tidak kembali ke alam ini. Ketika dunia sedang hancur, ia mengembara di [alam] cahaya gemerlap. Ketika dunia sedang mengembang, ia terlahir kembali di dalam sebuah istana Brahmā yang kosong.

“Di sana ia adalah Brahmā, Brahmā Agung, penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, Maha Kuasa. Ia menjadi Sakka, penguasa para deva, sebanyak tiga puluh enam kali. Ratusan kali ia menjadi raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, seorang penakluk yang kekuasaannya merentang hingga empat penjuru, seorang yang telah mencapai stabilitas dalam negerinya, yang memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang merupakan pahlawan-pahlawan, yang perkasa, mampu menggilas bala tentara musuh-musuh mereka. Ia menguasai setelah menaklukkan bumi ini hingga sejauh batas samudra, bukan dengan kekuatan dan senjata melainkan dengan Dhamma.

“Para bhikkhu, walaupun ia memiliki umur yang sedemikian panjang dan berlanjut selama waktu yang lama, Guru Sunetta masih belum terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan. Ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memahami empat hal. Apakah empat ini? Perilaku bermoral yang mulia, konsentrasi yang mulia, kebijaksanaan yang mulia, dan kebebasan yang mulia.

“Perilaku bermoral yang mulia, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Konsentrasi yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebijaksanaan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebebasan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran penjelmaan telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut:

“Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan,

dan kebebasan yang tidak terlampaui: hal-hal ini Sang Gotama yang termasyhur telah dipahami oleh diriNya sendiri. “Setelah secara langsung mengetahui hal-hal ini, Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Sang Guru, pembuat-akhir penderitaan,

Seorang dengan penglihatan, telah mencapai nibbāna.”

Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Aliran-aliran Buddhisme Tibet umumnya meyakini sistem kategorisasi enam alam yang terdiri atas tiga alam baik (surgawi, setengah-dewa, manusia) dan tiga alam buruk (binatang, hantu, neraka). Kategorisasi ini juga sudah ada sejak masa aliran-aliran Buddhis awal. Selain itu, kitab-kitab Buddhis yang lebih awal juga mengenalkan kategorisasi lima alam, bukan enam alam; ketika digambarkan sebagai lima alam, alam dewa dan alam setengah dewa dianggap sebagai satu jenis alam.[6] Pengelompokkan ini masih digunakan oleh beberapa aliran Mahāyāna dan Vajrayāna.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Mahāthera, Nārada (1995). Sang Buddha dan ajaran-ajaranNya. Yayasan Dhammadipa Arama. 
  2. ^ Jinavamsa (2001). The Thirty-one Planes of Existence: (as Transcribed from Bhante Suvanno's Cassette Recording) (dalam bahasa Inggris). Inward Path. ISBN 978-983-9439-57-1. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Kheminda, Ashin (2020-02-01). KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94011-0-8. 
  4. ^ a b c d e f g h i Na-Rangsi, Sunthorn (2006). The Four Planes of Existence in Theravada Buddhism (dalam bahasa Inggris). Buddhist Publication Society. ISBN 978-955-24-0287-6. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Jinavamsa (2001). The Thirty-one Planes of Existence: (as Transcribed from Bhante Suvanno's Cassette Recording) (dalam bahasa Inggris). Inward Path. ISBN 978-983-9439-57-1. 
  6. ^ a b Buswell, Robert E. (2004). Encyclopedia of Buddhism. New York: Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 711–712. ISBN 978-0-02-865718-9. 
  7. ^ Anggara, Indra. "AN 3.80: Cūḷanikāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  8. ^ Anggara, Indra. "DN 27: Aggaññasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  9. ^ Anggara, Indra. "DN 1: Brahmajālasutta—Indra Anggara". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  10. ^ Anggara, Indra. "AN 7.66: Sattasūriyasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]