Penyediaan air dan sanitasi di Indonesia
Indonesia: Air dan Sanitasi | ||
---|---|---|
Data | ||
Ketersediaan pasokan air (secara luas) | 82% (2010) [1] | |
Ketersediaan sanitasi (secara luas) | 54% (2010) [1] | |
Kelangsungan pasokan (%) | Tidak diketahui | |
Konsumsi air rata-rata perkotaan (liter/kapita/hari) | 130 (2004) [2] | |
Tarif air rata-rata perkotaan (US$/m3) | 0.77 (Jakarta, ca. 2008) [3] | |
Jumlah rumah berekening | Tidak diketahui | |
Investasi pasokan air dan sanitasi per tahun | US$2 per kapita (perk. 2005) | |
Sumber pendanaan | Tidak diketahui | |
Lembaga | ||
Desentralisasi ke kotamadya | Substantial | |
Perusahaan air dan sanitasi nasional | Tidak ada | |
Regulator air dan sanitasi | Tidak ada | |
Tugas penetapan kebijakan | Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri | |
Undang-undang sektoral | Tidak | |
Jumlah penyedia jasa kota | 319 | |
Jumlah penyedia jasa desa | Tidak diketahui |
Pasokan air dan sanitasi di Indonesia ditandai oleh minimnya akses dan kualitas layanan. Lebih dari 40 juta orang kekurangan akses sumber air layak dan lebih dari 110 juta orang kekurangan akses sanitasi layak.[1] Hanya 2% orang yang memiliki akses saluran air di perkotaan; angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Polusi air meluas di Bali dan Jawa. Penduduk perempuan di Jakarta membelanjakan US$11 per bulan untuk mendidihkan air. Ini menandakan ada beban besar yang ditanggung oleh penduduk miskin.
Perkiraan investasi publik sebesar US$2 per kapita per tahun pada tahun 2005 tidak cukup untuk memperluas pelayanan dan pengelolaan aset. Selain itu, tanggung jawab berbagai kementerian selalu tumpang tindih. Sejak desentralisasi diterapkan di Indonesia tahun 2001, pemerintah daerah bertanggung jawab atas pasokan air dan sanitasi. Namun, perbaikan akses atau kualitas pelayanan tidak terwujud karena desentralisasi tidak diikuti oleh mekanisme penyaluran anggaran yang memadai. Sarana-prasarana daerah tetap dalam keadaan buruk.
Penyediaan air minum bersih belum menjadi prioritas pembangunan, terutama di tingkat pemerintah provinsi.[4] Kurangnya akses air bersih dan sanitasi masih menjadi tantangan besar, khususnya di permukiman kumuh dan pedesaan. Ini persoalan besar karena ketiadaan air bersih membuat permukiman tidak bersih dan meningkatkan peluang merebaknya penyakit kulit atau penyakit air. Kegagalan pemerintah dalam mendorong perubahan perilaku secara agresif, khususnya di kalangan keluarga berpendapatan rendah dan penduduk kumuh, memperparah dampak air dan sanitasi buruk terhadap kesehatan di Indonesia.[4]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaJMP
- ^ International Benchmarking Network for Water and Sanitation Utilities:Latest IBNET country indicators - Indonesia Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine., retrieved on October 17, 2010
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaIBNET Tariff
- ^ a b UNICEF:UNICEF Indonesia-Overview-Water & Environmental Sanitation Diarsipkan 2017-11-15 di Wayback Machine.. Retrieved February 12, 2012.