Lompat ke isi

Suku Betawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Budaya Betawi)
Betawi
Orang Betawi
Pengantin Betawi dengan mengenakan pakaian tradisional.
Jumlah populasi
6.807.968 (2010)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia
 DKI Jakarta2.700.722[1]
 Jawa Barat2.664.143[2]
 Banten1.365.614[2]
 Jawa Tengah9.519[2]
 Kalimantan Timur4.080[2]
Bahasa
Agama
Islam Sunni (97,1%)
Kekristenan (2,2%)
Buddha (0,6%), dan lainnya (dibawah 0,1%)[3]
Kelompok etnik terkait

Suku Betawi (bahasa Betawi: Orang Betawi) adalah kelompok etnis Austronesia yang merupakan penduduk asli kota Jakarta dan sekitarnya.[4] Kemunculan Betawi pertama kali pada abad ke-17 sebagai suatu komunitas dari berbagai etnis nusantara yang datang dan menetap di Batavia.[5][6]

Suku ini terbentuk melalui proses asimilasi dari berbagai budaya, termasuk Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Ambon, Manado, Makassar, Arab, Tionghoa, India, dan Eropa, sehingga menciptakan identitas budaya yang unik.[7]

Etimologi

Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia" yang lama kelamaan berubah menjadi "Batavi", dari kata "Batawi" lalu kemudian berubah menjadi "Betawi" (disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal). Secara historis, suku Betawi merupakan masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru. Suku Betawi terlahir karena adanya percampuran genetik atau akulturasi budaya antara masyarakat yang mendiami Batavia. setelah adanya percampuran budaya, adat-istiadat, tradisi, bahasa, dan yang lainnya, akhirnya dibuat sebuah komunitas besar di Batavia. Komunitas ini lama kelamaan melebur menjadi suku dan identitas baru yang dinamakan Betawi.[8] Penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku diawali dengan pendirian sebuah organisasi bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[9]

Sedangkan menurut penuturan sejarawan Betawi Ridwan Saidi, ada beberapa acuan mengenai asal mula kata Betawi:

  • "Pitawi" (bahasa Melayu-Polinesia Purba) yang artinya larangan.[10] Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batujaya. Sejarawan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan Candi Batujaya di Karawang merupakan sebuah kota suci yang tertutup, sementara Karawang merupakan Kota yang terbuka.[a]
  • "Betawi" (Bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang.[11] Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi,[12] yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
  • Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kukuh[13] Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut "Kayu Bekawi". Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.

Ada kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan benar. Menurut Ridwan Saidi pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krukut, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar di Sulawesi Selatan, melainkan diambil dari jenis rerumputan.[14]

Sejarah

Periode sebelum masehi

Sejarah penduduk asli Jakarta (dahulu bernama Sunda Kalapa) diawali pada masa zaman batu yang menurut sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Arkeolog Uka Tjandarasasmita dalam monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran" (1977) secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada abad ke-5. Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru (3.500–3.000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Bekasi, dan Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia yang menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.[15]

Sementara Yahya Andi Saputra, seorang alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia, berpendapat bahwa penduduk asli Jakarta adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya, bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Ia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

  • Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.
  • Kedua, kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar.
  • Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.

Dahulu, penduduk asli Jakarta berbahasa Sunda Kuno. Jadi, penduduk asli Jakarta telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu dan bersuku Sunda.[16]

Periode setelah masehi

Periode awal

Abad ke-2

Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat Kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan China telah maju. Bahkan, pada tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Tiongkok.

Abad ke-5

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi sungai Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan Kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi sungai Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibu kota kerajaan di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termasyhur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan mereka punya kagumbiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

Abad ke-7

Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatra. Mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadramaut, Yaman. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya' dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.

Abad ke-10

Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan orang Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Tiongkok ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kuno sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Periode kolonialisasi Eropa

Abad ke-16
Grup tari Topeng Betawi saat masa kolonial Hindia Belanda. Ini adalah salah satu pengaruh budaya Sunda

Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.

Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kalapa dari koalisi Pajarjaran dan Portugis. Derah tersebut diubah namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Kemudian dimulailah islamisasi masyarakat sehingga saat itu masyarakat Jakarta berbudaya dan berbahasa jawa sama seperti wilayah pesisir lainnya yaitu Serang, Indramayu dan Cirebon. Itulah sebabnya hingga kini masih tersisa kosakata dan budaya jawa pada suku betawi.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC memaksa penduduk menggunakan bahasa melayu pasar. Selain itu VOC juga banyak mendatangkan bawahan dari luar pulau. Sejak saat itulah bahasa betawi menjadi kreol melayu.

VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[17] Itulah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690.

Abad ke-19

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, sejarahwan Australia, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad ke-19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari:

  • Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  • Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  • Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  • Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.

Mengikuti kajian Castles, antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

Abad ke-20
Ondel-Ondel menghiasi jalan selama festival selamatan saat peresmian sayap baru Hotel Des Indes, 1923. Kesenian ondel-ondel pada zaman dahulu disebut barongan. Ini adalah salah satu pengaruh budaya Jawa-Bali, dilihat dari bentuk topengnya yang cenderung mirip dengan barong, tidak seperti sekarang yang sudah dirubah dan dimodernisasi. Pada zaman dahulu ondel-ondel dipercaya bisa mengusir roh jahat.

Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanah Abang dan seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.

Setelah kemerdekaan

Orkestra tanjidor merayakan Tahun Baru Imlek, 1977. Ini adalah salah satu pengaruh budaya Portugis

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir.

Seni dan kebudayaan

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke-11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa di mana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Suku Betawi, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Bugis, dan lainnya. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, Belanda, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa

Bahasa Betawi dituturkan dalam dan sekitar Jakarta modern (bew). Secara tradisional, Bahasa Betawi Tengahan atau Bahasa Betawi dialek Jakarta terdaftar sebagai Bahasa Melayu lebih tepatnya Bahasa Melayu Kreol dikarenakan banyak kosakata serapan, kemiripan, beberapa kesamaan atau pengaruh kuat dari Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dengan bentuk baku yang cenderung diakhiri dengan vokal 'é' tinggi/e talling. Bahasa Betawi dialek Tengahan tidak begitu beragam kosakatanya dibandingkan dengan Bahasa Betawi dialek Pinggiran yang lebih terasa keberagaman kosakatanya karena banyak serapan dari Bahasa Sunda & sebagian Bahasa Jawa serta beberapa kosakata serapan dari Bahasa lainnya. Para pakar/peneliti menyebutkan bahwa Bahasa Betawi ialah sebuah dialek dari bahasa Melayu yang biasa disebut Bahasa Melayu dialek Jakarta/Melayu Batavia, namun hal ini tak sepenuhnya benar karena Bahasa Betawi yang memiliki kedekatan/kekerabatan dengan Bahasa Melayu ialah hanya dialek Tengahan/Jakarta sedangkan untuk dialek Pinggiran lebih dekat dan berkerabat dengan Bahasa Sunda & Jawa. Bahasa Betawi dapat dikatakan sebuah rumpun dari Bahasa Melayu ataupun disebut sebagai Bahasa dagang/Melayu Kreol. Secara historis, Bahasa Betawi tercipta karena adanya percampuran antar Bahasa yang ada di Batavia pada masa lalu sehingga terbentuklah Bahasa Betawi yang beragam kosakata dan dialeknya.

Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi dialek Tengahan, Bahasa Melayu Dialek Jakarta, atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.[18]

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto-Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatra. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya-Kediri yang dimediasi oleh Tiongkok yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda di wilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[19] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah sering kali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin Sueb, Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Musik

Gambang Kromong.

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir". Pengaruh budaya Jawa dengan sedikit unsur Sunda didalamnya juga ada dalam kebudayaan Betawi, seperti: pementasan wayang

Tari dan drama

Ondel-Ondel Betawi.

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi,[20] Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda,[21] Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama tradisional Betawi antara lain lenong dan tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.[22]

Cerita rakyat

Silat Betawi.

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau Si Jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".[23] Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.

Rumah tradisional

Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya. Terdapat pula rumah tradisional lain seperti rumah panggung Betawi.

Suku Betawi di Jakarta mengenal tradisi "Bikin Rume" yang dilakukan ketika hendak membangun rumah.

Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam. Angropolog Fachry Ali dari IAIN Pekalongan menyatakan Islam sebagai salah satu sumber identitas dan budaya Betawi, sehingga tidak bisa dipisahkan.[24] Forum Betawi Rempug (FBR) menyatakan salah satu etos organisasi mereka tiga S: Sholat, Silat dan Sekolah.[25] Akademisi luar negeri seperti Susan Abeyasekere dari Monash University juga menyetujui, orang Betawi sering menunjukan identitas islamnya dalam karya tulisan mereka.[26]

Walau begitu ada pula komunitas kecil Betawi yang menganut Kekristenan yakni Katolik dan Protestan. Salah satu komunitas ini adalah dari Kampung Tugu, Jakarta Utara. Mereka menyatakan mereka keturunan campuran antara penduduk lokal dengan Mardijkers, bangsa Portugis ataupun Belanda.[27]

Selain itu ada pula komunitas Kampung Sawah. Meester Anthing menjadi orang Protestan pertama yang mencampurkan ritus-ritus budaya dengan kekristenan yang menitikberatkan pada ngelmu dan hal-hal mistik lainnya dan mendirikan jemaat disana. Namun lambat laun komunitas ini terpecah menjadi tiga pada tahun 1895. Fraksi pertama dibawah guru Laban dan berpusat di Kampung Sawah Barat, fraksi kedua kelompok Yoseh yang berpusan di Kampung Sawah Timur, dan fraksi ketiga yang dipimpin Guru Nathanael yang kemudian memeluk Katolik cikal bakal Paroki Santo Servatius Kampung Sawah.[28][29]

Perilaku dan sifat

Pakaian tradisional Betawi yang dikenal sebagai Baju Demang atau Ujung Serong

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012.

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dengan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri. Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi terhadap generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Profesi

Sebelum era Orde Baru, profesi orang Betawi terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kamboja Jepang, dan lain-lain) dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Si Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustaz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang dikenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Tokoh

Mohammad Hoesni Thamrin, pahlawan nasional dari Betawi.

Kuliner

Masakan

Masakan khas Betawi antara lain gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto Betawi, ayam sampyok, kerak telor, asinan Betawi, soto tangkar dan nasi uduk.[30]

Kue-kue

Kue-kue khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue geplak, dodol betawi, dan roti buaya.[kue pancong]

Minuman

Minuman khas Betawi contohnya adalah es selendang mayang, es goyang, dan bir pletok.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, Dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia". Badan Pusat Statistik. 2010. Diakses tanggal 18 Juli 2017. 
  2. ^ a b c d "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010" (PDF). demografi.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 23, 36–41. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-07-12. Diakses tanggal 17 Oktober 2021. 
  3. ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies, p. 270 (based on 2010 census data).
  4. ^ Knorr, Jacqueline (2014). Creole Identity in Postcolonial Indonesia. Volume 9 of Integration and Conflict Studies. Berghahn Books. hlm. 91. ISBN 9781782382690. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-11. Diakses tanggal 2018-05-26. 
  5. ^ No Money, No Honey: A study of street traders and prostitutes in Jakarta by Alison Murray. Oxford University Press, 1992. Glossary page xi
  6. ^ Dina Indrasafitri (26 April 2012). "Betawi: Between tradition and modernity". The Jakarta Post. Jakarta. 
  7. ^ Maulana, Doni (2018-04-18). "Betawi, Suku". Data dan Informasi (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-10. 
  8. ^ "Debunking the 'native Jakartan myth'". The Jakarta Post. Jakarta. 7 November 2011. 
  9. ^ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.
  10. ^ Asal Usul Kata Betawi, Strategi Tahi Pasukan Belanda Yang Heroik amp.kompas.com.
  11. ^ Etimologi dari Giwang menurut Kamus Daerah - Kamus Bahasa Daerah Online Berbagai Bahasa Daerah di Indonesia :
    1. Giwang (bhs. Sunda) Artinya: kerabu, subang. (bhs. Indonesia)
    2. Giwangkara (bhs. Sunda)
    Artinya: matahari. (bhs. Indonesia)
    3. Giwang (bhs. Sunda)
    Artinya: gewang giwang 1 kurabu 2 (halus) suweng, giwang 1 giwang (bhs. Indonesia)
  12. ^ Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalan kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
  13. ^ Fillet, GJ, 1888. Plaaantkundig Woordenboek van Nederlandsch - Indie. Amsterdam : J.H. de Bussy
  14. ^ ""Dari Gagang Keris Menjadi Betawi"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-07. Diakses tanggal 2013-01-01. 
  15. ^ ""Siapa dan Darimanakah Orang Betawi"". Diakses tanggal 2013-01-01. 
  16. ^ ""Penduduk Asli Betawi"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-31. Diakses tanggal 2013-01-01. 
  17. ^ "Ensiklopedi Jakarta: Cornelis Chastelein". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-17. Diakses tanggal 2011-09-03. 
  18. ^ Setiono Sugiharto (21 Juni 2008). "The perseverance of Betawi language in Jakarta". The Jakarta Post. Jakarta. 
  19. ^ Three Old Sundanese Poems. KITLV Press. 2007. 
  20. ^ "Jakarta Traditional Dance – Betawi Mask Dance". Indonesia Travel Guide. 4 Agustus 2015. 
  21. ^ "Yapong Dance, Betawi Traditional Dance". Indonesia Tourism. 27 Maret 2013. 
  22. ^ "Lenong". Encyclopedia of Jakarta. Pemprov DKI Jakarta. 13 Oktober 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-13. 
  23. ^ Indra Budiari (13 Mei 2016). "Betawi 'pencak silat' lays low among locals". The Jakarta Post. Jakarta. 
  24. ^ Arti Agama Islam bagi Orang Betawi. NU Online. Retrieved March 29, 2021.
  25. ^ Farish A. Noor. (2012). The Forum Betawi Rempug (FBR) of Jakarta: an ethnic‑cultural solidarity movement in a globalising Indonesia. (RSIS Working Paper, No. 242). Singapore: Nanyang Technological University.
  26. ^ Jakarta: A History. By Susan Abeyasekere. Singapore: Oxford University Press, 1987.
  27. ^ "Betawi or not Betawi?". The Jakarta Post. Jakarta. 26 Agustus 2010. 
  28. ^ Firdaus, Randy Ferdi (2015-12-20). "Betawi rasa Kristiani di Kampung Sawah Bekasi". merdeka.com. Diakses tanggal 2023-01-12. 
  29. ^ Ramadhian, Nabilla (2022-12-27). "Cerita di Balik Jemaat Misa Natal Gereja Kampung Sawah yang Pakai Baju Adat Betawi Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-01-12. 
  30. ^ Indah Setiawati (8 November 2013). "Weekly 5: A crash course in Betawi cuisine". The Jakarta Post. Diakses tanggal 5 August 2016. 

Catatan kaki

  1. ^ Pernyataan Ridwan Saidi dalam tulisan ini belum menjelaskan konteks Karawang yang tertutup dan terbuka apakah dalam konteks kurun waktu yang sama atau periode berbeda.

Bacaan lanjutan

  • Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol. I, Ithaca: Cornell University April 1967
  • Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, hlm. 78–159
  • Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, hlm. 203–221
  • Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
  • Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
  • Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
  • Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengembangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976

Pranala luar