Lompat ke isi

Oerip Soemohardjo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Urip Sumohardjo)
Oerip Soemohardjo
Foto buram seorang pria mengenakan peci
Potret Oerip, ca 1947
Kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat Ke-1
Masa jabatan
12 November 1945 – November 1948
Pelaksana: 5 Oktober – 12 November 1945
PresidenSoekarno
Perdana MenteriSutan Syahrir
Amir Syarifudin
Mohammad Hatta
Sebelum
Pendahulu
Kantor didirikan
Pengganti
Letjen Soedirman
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Muhammad Sidik

(1893-02-22)22 Februari 1893
Purworejo, Hindia Belanda
Meninggal17 November 1948(1948-11-17) (umur 55)
Yogyakarta, Indonesia
MakamTaman Makam Pahlawan Kusumanegara
Suami/istri
Rohmah Soebroto
(m. 1926)
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1914–1939, 1942, 1945–1948
Pangkat
Pertempuran/perangPerang Dunia II
Revolusi Nasional Indonesia
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia (anumerta, 1964)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Jenderal TNI (Anumerta) Raden Oerip Soemohardjo (EYD: Raden Urip Sumoharjo; 22 Februari 1893 – 17 November 1948) adalah seorang jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Lahir di Purworejo, Hindia Belanda, Oerip kecil adalah anak nakal yang sudah memperlihatkan kemampuan memimpin sejak usia dini. Orangtuanya menginginkan dirinya untuk mengikuti jejak kakeknya sebagai bupati, oleh sebab itu, setamat sekolah dasar, ia dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang. Ibunya wafat saat ia menjalani tahun kedua di sekolah, dan Oerip berhenti sekolah untuk mengikuti pelatihan militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta). Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tentara pemerintah kolonial Belanda. Bertugas selama hampir 25 tahun, ia ditempatkan di tiga pulau berbeda dan dipromosikan beberapa kali, dan akhirnya menjadi perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.

Raden Oerip Soemohardjo mengundurkan diri dari jabatannya sekitar tahun 1938 setelah berselisih dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Oerip dan istrinya, Rohmah, kemudian pindah ke sebuah desa di dekat Yogyakarta. Di sana, mereka membangun sebuah vila dan kebun bunga yang luas. Setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda pada bulan Mei 1940, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Ketika Kekaisaran Jepang menduduki Hindia dua tahun kemudian, Oerip ditangkap dan ditahan di kamp tawanan perang selama tiga setengah bulan. Ia melalui sisa masa pendudukan Jepang di vilanya.

Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Oerip ditetapkan sebagai kepala staf dan pemimpin sementara angkatan perang yang baru dibentuk. Oerip berupaya untuk menyatukan kekuatan kelompok-kelompok militer yang terpecah-pecah di Indonesia. Pada 12 November 1945, Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu. Oerip tetap menjabat sebagai kepala staf, dan mereka berdua sama-sama mengawasi pembangunan angkatan perang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Merasa muak atas kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap militer dan manuver politik yang terjadi di tubuh militer, Oerip akhirnya mengundurkan diri pada awal 1948. Mengidap lemah jantung, kondisi kesehatannya memburuk dan ia wafat karena serangan jantung beberapa bulan kemudian. Berpangkat letnan jenderal pada saat kematiannya, Oerip secara anumerta dipromosikan menjadi jenderal penuh. Ia menerima beberapa penghargaan dari pemerintah Indonesia, termasuk gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964.

Kehidupan awal

Rumah keluarga Soemohardjo di Sindurjan.

Oerip Soemohardjo lahir dengan nama Muhammad Sidik ("Muhammad Kecil"[1]) di rumah keluarganya di Sindurjan, Purworejo, Hindia Belanda, pada tanggal 22 Februari 1893.[2] Ia adalah putra pertama dari pasangan Soemohardjo, seorang kepala sekolah dan putra tokoh Muslim setempat, dan istrinya, [a] putri dari Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, bupati Trenggalek;[4] pasangan ini kemudian memiliki dua putra lagi, Iskandar dan Soekirno,[5] serta tiga orang putri.[6] Putra-putranya sebagian dibesarkan oleh pembantu, dan pada usia muda Sidik mulai menunjukkan kualitas pemimpin, ia memimpin kelompok anak-anak di lingkungannya ketika memancing dan bermain sepak bola. Ketiga saudara ini bersekolah di sekolah untuk suku Jawa yang dikepalai oleh ayah mereka, oleh sebab itu mereka menerima perlakuan khusus. Hal ini menyebabkan mereka menjadi nakal dan berpuas diri.[5]

Pada tahun kedua sekolahnya, Sidik jatuh dari pohon kemiri dan kehilangan kesadaran.[7][8] Setelah sadar, ibunya mengirim surat kepada Widjojokoesoemo, mengungkapkan bahwa nama Sidik adalah penyebab perilaku buruknya.[b] Sebagai balasan, Widjojokoesoemo menyarankan bahwa Sidik harus diganti dengan Oerip, yang berarti "hidup".[11] Saat ia sembuh, keluarganya memutuskan untuk menamainya kembali dengan nama Oerip, meskipun kelakuannya tetap saja buruk. Ia kemudian dikirim ke Sekolah Putri Belanda (Europese Lagere Meisjesschool); sekolah untuk putra sudah penuh dan orangtuanya berharap bahwa sekolah putri akan meningkatkan kemampuan Oerip dalam berbahasa Belanda, juga mengubah temperamennya.[7] Setelah belajar satu tahun di sekolah putri, Oerip menjadi lebih kalem, ia lalu dikirim ke sekolah Belanda untuk putra.[12] Meskipun demikian, nilai akedemiknya tetap buruk.[13] Pada tahun terakhirnya di sekolah dasar, ia sering mengunjungi teman ayahnya, seorang mantan tentara yang pernah bertugas di Aceh selama dua puluh tahun, untuk mendengarkan cerita dari pria tua itu. Hal ini kemudian menginspirasi Oerip untuk bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[14]

Setelah lulus ujian calon pegawai negeri[15] dan persiapan selama beberapa bulan, Oerip pindah ke Magelang pada tahun 1908 untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (Opleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren, atau OSVIA);[16] orangtuanya ingin Oerip menjadi bupati seperti kakeknya.[17] Setahun kemudian, adik-adiknya menyusulnya ke OSVIA.[18] Setelah ibunya meninggal dunia pada tahun 1909, Oerip tenggelam dalam depresi selama berbulan-bulan[6] dan berubah menjadi penyendiri.[19]

Pada tahun terakhirnya di OSVIA, Oerip memutuskan untuk mendaftar ke akademi militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta). Ia berangkat ke sana langsung dari Magelang, dan mengatakan kepada adik-adiknya untuk memberitahu ayah mereka, yang tidak setuju dengan pilihan putranya.[6][20] Soemohardjo pada awalnya berusaha untuk membujuk putranya agar kembali ke OSVIA dengan memberinya uang 1.000 gulden, tetapi akhirnya menyetujui pilihan Oerip untuk masuk akademi militer.[21] Setelah pelatihan, yang menurutnya menyenangkan, Oerip lulus dari akademi militer pada bulan Oktober 1914 dan menjadi letnan dua di KNIL.[2][22][23]

KNIL

Setelah mengunjungi ayahnya di Purworejo selama beberapa hari, Oerip kembali ke Meester Cornelis, tempat ia menjabat di Batalion XII.[24] Meskipun ia adalah pria terkecil dan satu-satunya pribumi di unitnya,[25] ia diserahi jabatan pemimpin.[24] Satu setengah tahun kemudian, ia dikirim ke Banjarmasin, Borneo.[2][24] Setelah melewati masa-masa berpatroli di belantara Puruk Cahu dan Muara Tewe, ia dikirim ke Tanah Grogot, kemudian ke Balikpapan. Saat ditempatkan di sana, Oerip dipromosikan menjadi letnan satu, tetapi menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda karena ia berasal dari kalangan pribumi. Di Banjarmasin, ia meyakinkan komandannya untuk mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan perwira non-Belanda bergabung dengan tim sepak bola, dan pada tahun 1917 ia telah menerima status hukum yang sama dengan tentara Belanda.[2][26] Setelah Balikpapan, Oerip dikirim ke Samarinda, Tarakan, dan terakhir ke Malinau.[26]

Di Malinau, Oerip berpatroli di perbatasan Kerajaan Sarawak (kini bagian dari Malaysia) yang dikuasai oleh Hindia Belanda dan Inggris; ia juga bertugas mencegah konflik dan pengayauan antar suku Dayak.[27] Suatu hari, tujuh tahun setelah tiba di Borneo, Oerip baru saja selesai berpatroli dan menemukan rumahnya sudah dibakar. Atas rekomendasi seorang dokter, Oerip kembali ke Jawa, melalui Tarakan dan Surabaya, dan tiba di Cimahi. Di Cimahi, Oerip mengistirahatkan diri selama beberapa bulan.[28]

Setelah pulih total, pada tahun 1923 Oerip ditempatkan di kampung halamannya, Purworejo. Pada September 1925, Oerip dipindahkan ke Magelang dan bertugas di Maréchaussée te Voet, sebuah unit militer bentukan KNIL.[29] Meski awalnya Oerip diketahui adalah pria yang kerap menghindari wanita, di bawah tekanan untuk segera menikah, Oerip berkenalan dengan Rohmah Soebroto, putri dari Soebroto, mantan guru bahasa Jawa dan Melayu-nya, yang juga kerabat jauh tokoh emansipasi wanita Kartini. Sejoli ini bertunangan pada tanggal 7 Mei 1926 dan menikah pada 30 Juni pada tahun yang sama.[30][31][32] Di Magelang, Oerip menggunakan nama ayahnya sebagai nama belakang untuk berurusan dengan Belanda.[c] Setelah itu, ia mulai menyebut dirinya dengan nama lengkap Oerip Soemohardjo, meskipun orang lain terus memanggilnya Oerip.[33]

Setahun setelah pernikahannya, Oerip dan istrinya ditempatkan di Ambarawa. Di sana, Oerip ditugaskan untuk membangun kembali unit KNIL yang telah dibubarkan sebelumnya.[33] Sambil melatih prajurit lokal menggantikan komandan Belanda yang belum tiba, Oerip dipromosikan menjadi kapten.[34] Setelah komandan Belanda tiba, pada Juli 1928 Oerip diberi cuti satu tahun, yang ia manfaatkan untuk melakukan perjalanan wisata ke seluruh Eropa bersama istrinya. Sekembalinya ke Hindia, ia ditempatkan di Meester Cornelis.[35]

Di Meester Cornelis, Oerip mulai menjalankan latihan militer; saat ditempatkan di sana, ayahnya meninggal dunia.[34] Pada 1933, ia dikirim ke Padang Panjang di Sumatra untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. Di Padang Panjang, ia melalui hari-harinya tanpa banyak peristiwa, dan bulan Juli 1935 ia diberi cuti untuk bepergian ke Eropa sekali lagi.[36] Oerip juga dipromosikan menjadi mayor pada saat itu, yang menjadikannya sebagai perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.[37] Setahun kemudian, setelah kembali ke Hindia, ia ditempatkan di Purworejo.[38] Pada pertengahan 1938, setelah berselisih dengan bupati setempat,[d] Oerip dipindahkan ke Gombong; ia menolaknya, dan kemudian keluar dari KNIL dan pindah ke rumah mertuanya di Yogyakarta.[39][40]

Warga sipil dan pendudukan Jepang

Di Yogyakarta, Oerip yang tidak bekerja menghabiskan waktunya dengan berkebun anggrek. Setiba di Yogyakarta, istrinya membeli sebuah vila di Gentan, di sebelah utara kota. Meskipun vilanya kecil, pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas 2 hektare (4,9 ekar) untuk berkebun bunga,[41] dengan biaya hidup berasal dari uang pensiun Oerip di KNIL.[42] Di vilanya, yang bernama KEM (Klaarheid en Moed, atau "Kemurnian dan Keberanian"), Oerip kerap menerima tamu, baik yang berasal dari kalangan militer maupun warga sipil. Lewat tamu-tamu ini, ia menerima informasi mengenai peristiwa terkini dan memberikan saran tentang masalah-masalah militer dan politik.[43] Pada tahun 1940, pasangan ini mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan di Semarang.[44]

Tak lama kemudian, pada tanggal 10 Mei 1940, setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di Bandung.[45] Di sana, ia menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor.[46] Setelah itu, Oerip bersama keluarganya dipindahkan ke Cimahi, dan ia ditugaskan untuk membangun depo batalion baru. beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia pada tahun 1941 untuk berjaga-jaga jika Kekaisaran Jepang menyerang, tetapi Oerip tetap berada di Cimahi.[45]

Setelah Jepang menduduki Hindia pada awal 1942, Oerip ditangkap dan dijebloskan ke kamp penahanan tawanan perang di Cimahi. Setelah dibebaskan tiga setengah bulan kemudian, Oerip menolak untuk membentuk pasukan kepolisian baru yang disponsori oleh Jepang, dan kembali ke KEM.[47][48] Di KEM, ia dan istrinya menyewa sawah dan menanaminya dengan padi sambil terus melanjutkan kegiatan berkebun.[49] Untuk melindungi lahan mereka, Oerip melindungi tanah dan rumahnya dengan pagar bambu yang tinggi.[50] Meskipun tak lagi aktif di militer, Oerip sesekali juga menerima tamu mantan anggota KNIL di vilanya, termasuk Abdul Haris Nasution dan Sunarmo, yang membawa kabar terkini mengenai peristiwa yang terjadi di luar desa. Pasangan ini terus melanjutkan aktivitas mereka sebagai warga sipil, kadang diganggu dan diawasi oleh orang Jepang dan orang Indonesia yang pro-Jepang, sampai pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945, yang menandakan bahwa Jepang akan segera mundur dari Indonesia.[49] Selama periode ini, Oerip mulai mengalami masalah jantung.[51]

Revolusi Nasional Indonesia dan kematian

Markas TKR pertama di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Dharma Wiratama.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarganya meninggalkan KEM dan pindah ke rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.[52] Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan pada tanggal 23 Agustus, Oerip memimpin sekelompok komandan militer mengajukan petisi untuk membentuk formasi militer nasional.[53][54] Sementara itu, kelompok terpisah yang dipimpin oleh politisi Oto Iskandar di Nata menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Para pemimpin politik, yang terdiri dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, sepakat untuk berunding; BKR akhirnya ditetapkan sebagai organisasi kepolisian, tetapi sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik Pembela Tanah Air (PETA) maupun Heihō.[53]

Pada 14 Oktober 1945 – sembilan hari setelah Tentara Keamanan Rakyat didirikan secara resmi – Oerip ditetapkan sebagai Kepala Staf dan panglima sementara, dan segera berangkat menuju Jakarta.[e] Dalam rapat kabinet keesokan harinya,[55] Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta,[f] dalam persiapan untuk menghadapi serangan yang mungkin akan dilancarkan oleh pasukan Belanda untuk merebut kembali Hindia.[57] Ia berangkat ke Yogyakarta pada 16 Oktober, dan tiba keesokan harinya. Oerip pertama-tama mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka, yang digunakannya sampai Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX menyumbangkan tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.[58]

Karena BKR tersebar di bawah pimpinan para komandan independen di seluruh negeri, angkatan perang yang baru dibentuk, Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia), berupaya untuk merangkul perwira pribumi yang berasal dari mantan anggota KNIL.[57] Namun, para perwira ini dipandang dengan penuh kecurigaan oleh para nasionalis Indonesia karena pernah bertugas di angkatan perang Belanda. Sementara itu, jajaran anggota TKR diambil dari sejumlah kelompok, termasuk mantan tentara PETA, para pemuda, dan BKR.[55][59] Meskipun Oerip berhasil memusatkan komando, pada kenyataannya hierarki angkatan perang bersifat kedaerahan dan sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.[60]

Sesuai keputusan pemerintah pada tanggal 20 Oktober, Oerip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang Soeprijadi. Namun, Soeprijadi tidak muncul untuk mengemban tugas-tugasnya. Soeprijadi adalah seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap pasukan Jepang di Blitar pada bulan Februari 1945, dan diyakini sudah tewas.[g] Posisi Soeljohadikosomo juga tak terisi, dan pemimpin gerilya Moestopo menyatakan dirinya sebagai Menteri Pertahanan. Dengan demikian, Oerip merasa agak diawasi dan ditekan untuk segera membentuk struktur militer yang stabil.[61] Pada tanggal 2 November, ia menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia: Didi Kartasasmita di Jawa Barat, Soeratman di Jawa Tengah, Muhammad di Jawa Timur, dan Soehardjo Hardjowardojo di Sumatra; masing-masing komandan ini diberi pangkat mayor jenderal.[62] Oerip juga mulai menyalurkan senjata ke berbagai unit TKR. Ia mengambil alih senjata yang disita dari Jepang dan medistribusikannya sesuai kebutuhan.[63] Namun, hasilnya kurang sesuai dengan yang ia harapkan. PETA telah dikelola secara kedaerahan pada masa pendudukan Jepang, dan para anggotanya tidak bersedia menerima kepemimpinan pusat.[64]

Seorang pria memakai peci menatap lurus ke depan
Jenderal Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR pada tanggal 12 November 1945. Ia menjadikan Oerip sebagai kepala staff.

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Jenderal Soedirman – komandan Divisi V Purwokerto yang hanya memiliki dua tahun pengalaman militer dan 23 tahun lebih muda dari Oerip – terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu.[65] Pada tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara. Komandan divisi Sumatra semuanya sepakat untuk memilih Soedirman;[66] Oerip tidak terpilih karena beberapa komandan divisi mencurigai riwayat hidupnya dan sumpah yang ia ucapkan kepada Belanda saat ia lulus di KNIL.[67] Soedirman terkejut dengan hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, tetapi para peserta pertemuan tidak mengizinkan; Oerip sendiri merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas angkatan perang. Soedirman tetap mempertahankan Oerip dan mengangkatnya sebagai kepala staf dengan pangkat letnan jenderal.[68] Sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai panglima besar, Oerip secara de jure tetap menjadi pemimpin, tetapi wartawan Salim Said menulis bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuan berbahasa Indonesia-nya yang buruk, dan perintahnya sering kali ditolak kecuali jika telah disetujui oleh Soedirman.[h][69]

Setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada 18 Desember, ia mulai berupaya untuk mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang, sedangkan Oerip bertugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.[70][68] Banyak rincian-rincian, seperti pemberlakuan seragam tentara, ia limpahkan penanganannya kepada komandan daerah.[i] Namun, untuk menangani masalah-masalah penting, ia mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah untuk membentuk polisi militer dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.[68]

Bersama-sama, Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi ketidaksepahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Sementara itu, pemerintah mengganti nama angkatan perang sebanyak dua kali pada bulan Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada 23 Februari 1946, Oerip ditunjuk untuk mengepalai Panitia Besar Reorganisasi Tentara, yang dibentuk melalui keputusan presiden. Setelah berunding selama empat bulan, pada 17 Mei panitia menyerahkan rekomendasi kepada Presiden Soekarno. Oerip ditugaskan untuk menangani proses perampingan angkatan perang, sedangkan Menteri Pertahanan diberi kekuasaan birokrasi yang lebih besar. Soedirman tetap dipertahankan sebagai panglima angkatan perang.[71][72]

Setelah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mulai membentuk kelompok-kelompok pro-kiri dalam tubuh militer, Oerip mulai curiga[73] dan mengecam upaya pemerintah yang memanfaatkan militer untuk kepentingan politik.[74] Meskipun demikian, ia dan Soedirman terus berupaya untuk memastikan bahwa pasukan paramiliter (laskar), yang muncul dari kalangan masyarakat umum, adalah bagian dari militer. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 3 Juni 1947, ketika pemerintah mengumumkan untuk mempersatukan laskar dan TRI menjadi organisasi militer baru bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sementara itu, Oerip mendirikan sebuah akademi militer di Yogyakarta.[73]

Untuk memenuhi ancaman Belanda, Oerip berniat untuk menyerang Belanda di saat mereka masih menyusun kekuatan, namun rencana ini digagalkan oleh upaya pemerintah dalam diplomasi. Oerip sendiri lebih menyukai taktik gerilya ketimbang konflik militer resmi, ia pernah bercerita kepada bawahannya bahwa serangan terbaik bisa dilakukan dengan seratus penembak jitu yang bersembunyi di belakang garis musuh.[75] Oerip dengan lantang menentang hasil Perjanjian Renville; perjanjian tersebut menyebabkan ditariknya 35.000 tentara Indonesia dari Jawa Barat dan diresmikannya Garis Van Mook, yang memisahkan wilayah kekuasaan Belanda dan Indonesia.[76] Ia memandang perjanjian tersebut, yang disahkan pada 17 Januari 1948, sebagai taktik mengulur-gulur yang memberi Belanda kesempatan untuk memperkuat pasukannya.[77] Sementara itu, Amir Sjarifuddin – yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri – mulai merekrut tentara yang berhaluan kiri.[78] Muak dengan sikap pemerintah yang menurutnya kurang percaya pada militer, Oerip mengajukan pengunduran dirinya,[79] namun tetap bertugas sebagai penasihat Menteri Pertahanan sekaligus Wakil Presiden, Muhammad Hatta.[j][80]

Makam Oerip di Yogyakarta.

Setelah beberapa bulan berada dalam kondisi lemah dan menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay,[81] pada malam 17 November 1948 Oerip ambruk dan wafat di kamarnya di Yogyakarta akibat serangan jantung. Setelah disemayamkan selama semalam, ia dikebumikan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Semaki dan secara anumerta dipromosikan sebagai jenderal.[2][80][82] Saat Soedirman mengancam akan mengundurkan diri pada tahun 1949, ia menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah selama revolusi-lah yang menyebabkan kematian Oerip, dan juga penyebab penyakit TBC yang diidapnya.[83] Oerip meninggalkan seorang istri dan putri angkat bernama Abby. Abby meninggal dunia karena malaria pada Januari 1951,[84] dan Rohmah wafat pada tanggal 29 Oktober di Semarang; ia dimakamkan di Ungaran.[31]

Pengaruh

Oerip dalam perangko Indonesia 1993

Oerip menerima sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah secara anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960),[2] Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967),[85] dan Bintang Kartika Eka Pakçi Utama (1968).[k][2] Pada tanggal 10 Desember 1964, Oerip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Soedirman juga dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh keputusan yang sama.[89]

Pada tanggal 22 Februari 1964, akademi militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk dirinya, dan menggambarkan Oerip sebagai "seorang putra Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta."[90] Gereja Katolik di akademi tersebut juga menyimpan piala dari Paus Paulus VI yang dibawa oleh Kardinal Monsinyur Darmojuwono pada natal 1964, yang bertuliskan "In memori ducis militum Benedicti Oerip Soemohardjo pro Aede sacra Pro aede sacra, Academiae militaris, Indonesianae, D.D., Anno MCMLXIV"[91][92] dan sejak tahun 1965 disimpan sebagai dedikasi untuk Oerip, yang berawal dari perbincangan antara Rohmah dan teman misionarisnya.[93] Beberapa jalan juga dinamakan untuk menghormati Oerip, termasuk di kampung halamannya Purworejo, [94] di Yogyakarta,[95] dan di ibu kota Jakarta.[96]

Catatan

  1. ^ Namanya tidak disebutkan.[3]
  2. ^ Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa sebuah nama jika menunjukkan harapan yang terlalu tinggi bisa menimbulkan dampak negatif pada anak, secara umum dipercayai akan membuat anak sakit-sakitan.[9] Brigadir Jenderal Slamet Rijadi juga diubah namanya untuk alasan yang sama saat ia masih muda.[10]
  3. ^ Nama keluarga disyaratkan oleh Belanda untuk urusan-urusan seperti pembelian tanah.[33]
  4. ^ Bupati Purworejo tidak diizinkan masuk ke pesta perayaan ulang tahun penobatan Ratu Wilhelmina.[39][40]
  5. ^ Batavia berganti nama menjadi Jakarta setelah invasi Jepang.[52]
  6. ^ Oerip pada awalnya menyarankan Purwokerto sebagai markas, tetapi akhirnya memilih Yogyakarta karena fasilitasnya yang lebih baik dan terjaminnya dukungan dari penguasa setempat. [56]
  7. ^ Sejarawan Amrin Imran berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi mungkin adalah cara untuk mengetahui apakah ia masih hidup atau tidak; diperkirakan bahwa ia mungkin akan menghubungi pemerintah di Jakarta untuk mengambil alih jabatan ini jika ia masih hidup.[61]
  8. ^ Oerip fasih berbahasa Belanda dan Jawa, namun sangat buruk dalam berbahasa Indonesia, yang telah menjadi bahasa utama pada abad ke-20 (Said 1991, hlm. 50).
  9. ^ Pada saat itu, Angkatan Perang Indonesia belum memiliki sumber daya untuk memberlakukan standar seragam secara nasional.[68]
  10. ^ Sjariffudin dipaksa mengundurkan diri karena ketidaksetujuan publik atas hasil Perjanjian Renville [78]
  11. ^ Bintang Sakti adalah tanda kehormatan militer tingkat tinggi bagi yang menunjukkan keberanian melampaui panggilan tugas.[86]. Bintang Mahaputra adalah tanda kehormatan tingkat tinggi bagi orang-orang yang telah membantu pembangunan Indonesia, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau secara luas diakui atas pengorbanan mereka bagi negara.[87] Bintang Republik Indonesia adalah tanda kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil; hanya delapan tokoh yang telah menerima kelas Adipurna.[85][88] Bintang Kartika Eka Pakçi Utama adalah tanda kehormatan militer tingkat rendah yang dianugerahkan kepada orang-orang yang telah membantu pembangunan tentara melampaui panggilan tugas. Utama adalah kelas tertinggi.[86]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ Zoetmulder et al. 2006, hlm. 1085.
  2. ^ a b c d e f g Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo.
  3. ^ Imran 1983, hlm. 3.
  4. ^ Imran 1983, hlm. 2.
  5. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 13–15.
  6. ^ a b c Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 30–36.
  7. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 18–19.
  8. ^ Imran 1983, hlm. 7.
  9. ^ Andayani 2006, hlm. 169.
  10. ^ Pour 2008, hlm. 15–16.
  11. ^ Imran 1983, hlm. 6–7.
  12. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 20.
  13. ^ Imran 1983, hlm. 16.
  14. ^ Imran 1983, hlm. 23–25.
  15. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 21.
  16. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 23–26.
  17. ^ Imran 1983, hlm. 14.
  18. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 27.
  19. ^ Imran 1983, hlm. 20.
  20. ^ Imran 1983, hlm. 21.
  21. ^ Imran 1983, hlm. 26.
  22. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 37–39.
  23. ^ Imran 1983, hlm. 27.
  24. ^ a b c Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 39–43.
  25. ^ Imran 1983, hlm. 28.
  26. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 44–47.
  27. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 47–48.
  28. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 50–52.
  29. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 53–55.
  30. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 57–58.
  31. ^ a b Tempo 1977, Meninggal Dunia.
  32. ^ Imran 1983, hlm. 35.
  33. ^ a b c Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 59.
  34. ^ a b Imran 1983, hlm. 36.
  35. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 60–62.
  36. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 63–67.
  37. ^ Anderson 2005, hlm. 233–234.
  38. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 69.
  39. ^ a b Imran 1983, hlm. 38.
  40. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 72–73.
  41. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 74–75.
  42. ^ Imran 1983, hlm. 47.
  43. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 76–77.
  44. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 78–79.
  45. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 80–81.
  46. ^ Imran 1983, hlm. 53.
  47. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 83.
  48. ^ Imran 1983, hlm. 54–55.
  49. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 84–87.
  50. ^ Imran 1983, hlm. 58.
  51. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 109.
  52. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 89.
  53. ^ a b Anderson 2005, hlm. 103–106.
  54. ^ Imran 1983, hlm. 63.
  55. ^ a b Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 99–100.
  56. ^ Said 1991, hlm. 28.
  57. ^ a b Anderson 2005, hlm. 232–234.
  58. ^ Imran 1983, hlm. 67–68.
  59. ^ Anderson 2005, hlm. 235–237.
  60. ^ Anderson 2005, hlm. 240.
  61. ^ a b Imran 1983, hlm. 71–72.
  62. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 101.
  63. ^ Sardiman 2008, hlm. 126.
  64. ^ Said 1991, hlm. 31.
  65. ^ Nasution 2011, hlm. 196.
  66. ^ Sardiman 2008, hlm. 132.
  67. ^ Sardiman 2008, hlm. 133.
  68. ^ a b c d Imran 1983, hlm. 74–79.
  69. ^ Said 1991, hlm. 50.
  70. ^ Anderson 2005, hlm. 245.
  71. ^ Anderson 2005, hlm. 372–373.
  72. ^ Imran 1983, hlm. 80–81.
  73. ^ a b Imran 1983, hlm. 82–84.
  74. ^ Said 1991, hlm. 46.
  75. ^ Imran 1983, hlm. 85.
  76. ^ Adi 2011, hlm. 79–80.
  77. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 104.
  78. ^ a b Imran 1980, hlm. 42–45.
  79. ^ Imran 1983, hlm. 87.
  80. ^ a b KR 1948, Let. Djen. Urip Meninggal.
  81. ^ Imran 1983, hlm. 88.
  82. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 108–111.
  83. ^ McGregor 2007, hlm. 129.
  84. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 120.
  85. ^ a b Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia.
  86. ^ a b UU No. 20/2009, hlm. 4, 10, 23.
  87. ^ UU No. 20/2009, hlm. 4, 9, 23.
  88. ^ Saragih 2012, SBY bestows honors.
  89. ^ Sekretariat Negara Republik Indonesia, Daftar Nama Pahlawan.
  90. ^ Soemohardjo-Soebroto 1973, hlm. 135–136.
  91. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Matanasi 2020
  92. ^ Imran 1983, hlm. 120.
  93. ^ Imran 1983, hlm. 90.
  94. ^ Google Maps, Purworejo.
  95. ^ Google Maps, Yogyakarta.
  96. ^ Google Maps, Jakarta.
Daftar pustaka