Lompat ke isi

Belas kasih (Buddhisme)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Terjemahan dari
karuṇā
Indonesiabelas kasih; belas kasihan; welas asih
Inggriscompassion
Tionghoa慈悲
(Pinyincíbēi)
Jepang慈悲
(rōmaji: jihi)
Korea
Tibetanསྙིངརྗེ
Bengaliকরুণা
(kôruṇa)
Myanmarကရုဏာ
(MLCTS: ɡəjṵnà)
Thaiกรุณา
(RTGS: karuna)
Vietnamtừ bi, từ ái, bác ái, từ tâm, nhân từ
Khmerករុណា
(UNGEGN: kârŭna)
Sinhalaකරුණා
Tamilகருணை
(karuai)
Daftar Istilah Buddhis

Belas kasih, belas kasihan, atau welas asih (Pali: karuṇā; Sanskerta: करुण, karuṇā) merupakan suatu konsep penting dalam semua aliran Buddhisme.[1] Karuṇā (belas kasih) adalah salah satu dari empat sifat luhur (Brahmavihāra), bersama dengan cinta kasih (mettā), simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkhā). Dalam ajaran Buddha, keempat sifat ini harus dikembangkan dan dipancarkan ke segala arah untuk menyucikan pikiran, menghindari akibat buruk, serta membawa kebahagiaan.

Bagi penganut aliran Theravāda, pengembangan sifat karuṇā merupakan cara untuk mencapai kehidupan yang bahagia saat ini dan kelahiran kembali di surga. Buddha diyakini memilih untuk mengajarkan Dhamma karena belas kasih terhadap makhluk hidup. Karuṇā juga dianggap sebagai faktor mental indah dalam tradisi Abhidhamma, dengan karakteristik untuk mengembangkan kualitas yang melenyapkan penderitaan untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain. Dalam kitab Visuddhimagga, karuṇā digambarkan sebagai harapan untuk menghilangkan ketidaksejahteraan dan penderitaan (ahita-dukkha-apanaya-kāmatā) dari orang lain, dengan "musuh jauh" berupa kekejaman dan "musuh dekat" berupa dukacita sentimental.

Bagi penganut aliran Mahāyāna, karuṇā merupakan prasyarat untuk menjadi seorang Bodhisatwa. Karuṇā, bersama kebijaksanaan (prajñā), menjadi dasar jalan Bodhisatwa. Karuṇā dianggap sebagai motivasi utama untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan. Bodhisatwa Awalokiteswara adalah perwujudan belas kasih dalam tradisi Mahāyāna. Teks penting seperti Bodhisattvacaryāvatāra karya Shantideva mengajarkan meditasi karuṇā dengan menekankan kesamaan semua makhluk dalam mencari kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Praktik karuṇā mengarahkan seseorang untuk mengatasi pandangan egois dan mengembangkan kebajikan demi kesejahteraan semua makhluk.

Konsep karuṇā juga digunakan dalam berbagai konteks di luar Buddhisme. Karuṇā merupakan konsep spiritual penting dalam agama India lainnya, seperti Hinduisme, Sikhisme, dan Jainisme. Karuṇā juga merupakan nama depan yang umum di seluruh India, dan digunakan dalam berbagai karya sastra.

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Dalam Buddhisme Theravāda, karuṇā adalah salah satu dari empat "kediaman luhur" (brahmavihāra), bersama dengan cinta kasih (Pāli: mettā), simpati ( mudita), dan keseimbangan batin (upekkhā).[2] Dalam Tripitaka Pali, Buddha Gotama menganjurkan pengembangan empat kondisi mental yang bajik ini baik bagi para perumah tangga maupun para biksu-biksuni.[3] Ketika seseorang mengembangkan keempat keadaan ini, Sang Buddha menasihatinya untuk memancarkannya ke segala arah, seperti dalam frasa kanonis umum berikut mengenai karuṇā:

Ia terus-menerus meliputi arah pertama—begitu pula arah kedua, ketiga, dan keempat—dengan perhatian-penuh yang dipenuhi dengan karuṇā. Dengan demikian, ia terus-menerus meliputi atas, bawah, & sekeliling, di mana-mana & dalam seluruh alam semesta yang meliputi segalanya dengan perhatian-penuh yang dipenuhi dengan belas kasih: berlimpah, luas, tak terukur, bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat.[4]

Praktik seperti ini diyakini dapat menyucikan pikiran seseorang, menghindari akibat-akibat buruk, menuntun pada kebahagiaan dalam kehidupan sekarang, dan, jika ada kelahiran kembali karena kekuatan karma di masa depan, menghasilkan kelahiran di alam surga.[5]

Dalam Tripitaka Pali, Buddha juga digambarkan memilih untuk mengajar Dhamma “atas dasar belas kasihan terhadap makhluk hidup.”[6]

Abhidhamma Piṭaka

[sunting | sunting sumber]

Menurut tradisi Abhidhamma aliran Theravāda, karuṇā merupakan salah satu faktor mental indah, sebagai bagian dari kategori faktor mental "tanpa-batas". Faktor mental karuṇā (belas kasih) dibedakan dari faktor mental adosa (suatu faktor mental yang, jika dikembangkan secara maksimal, dapat mengarah pada cinta kasih atau mettā) dan faktor mental mudita (simpati) karena ciri dan objek yang diambil. Faktor mental belas kasih (karuṇā) perlu mengambil makhluk-makhluk menderita sebagai objeknya, sedangkan faktor mental simpati (mudita) perlu mengambil makhluk-makhluk bahagia sebagai objeknya.[7]

Karuṇā, sebagai suatu faktor mental, didefinisikan dalam empat batasan:[7]

  • Karakteristik (lakkhaṇa): mengembangkan kualitas [yang] melenyapkan penderitaan (dukkhāpanayanākārappavattilakkhaṇa).
  • Fungsi (rasa): tidak tahan melihat penderitaan makhluk lain (paradukkhāsahanarasa).
  • Manifestasi (paccupaṭṭhāna): tiadanya kekejaman (avihiṃsāpaccupaṭṭhāna).
  • Sebab-terdekat (padaṭṭhāna): melihat keadaan makhluk-makhluk yang tidak terlindung [oleh buah dari perbuatan baik] (anāthabhāvadassanapadaṭṭhāna).

Visuddhimagga

[sunting | sunting sumber]

Kitab komentar untuk Suttanipāta dan kitab Visuddhimagga menjelaskan bahwa karuṇā adalah harapan untuk menghilangkan ketidaksejahteraan dan penderitaan (ahita-dukkha-apanaya-kāmatā) dari orang lain, sedangkan mettā adalah harapan untuk mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan (hita-sukha-upanaya-kāmatā) bagi orang lain.[8] Selain itu, kitab Visuddhimagga juga menjelaskan "musuh jauh" (dūrapaccatthika) dan "musuh dekat" (āsannapaccatthika) dari setiap sifat dalam Brahmavihāra:[9]

Empat sifat luhur dalam Buddhisme Theravāda
Sutta Abhidhamma Visuddhimagga
Sifat luhur (brahmavihāra) Faktor mental (cetasika) Musuh dekat (āsannapaccatthika) Musuh jauh (dūrapaccatthika)
cinta kasih (mettā) tanpa-kebencian (adosa) nafsu (rāga) niat jahat (byāpāda)
belas kasih (karuṇā) belas kasih (karuṇā) dukacita (domanassa) kekesalan/kekejaman (vihesā/vihiṃsā)[10]
simpati (mudita) simpati (mudita) sukacita (somanassa) ketidaksenangan (arati)
ketenangan (upekkhā) keseimbangan batin (tatramajjhattatā) ketidaktahuan (aññāṇa) nafsu dan antipati (rāgapaṭighā)

"Musuh jauh" karuṇā adalah kekejaman, suatu kondisi pikiran yang jelas-jelas bertentangan. “Musuh dekat” (kualitas yang secara dangkal menyerupai karuṇā, tetapi sebenarnya secara halus berlawanan dengannya) adalah perasaan dukacita sentimental (domanassa): di sini, seseorang juga ingin menghilangkan penderitaan, tetapi dilandasi alasan yang sebagian bersifat egois (melekat) sehingga bukan merupakan motivasi yang murni.[9]

Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Dalam Buddhisme Mahāyāna, karuṇā adalah salah satu dari dua kualitas, bersama dengan kebijaksanaan yang tercerahkan (bahasa Sansekerta : prajñā), yang harus dikembangkan di jalan Bodhisatwa. Menurut sarjana Rupert Gethin, pengembangan karuṇā hingga menjadi prajñā adalah salah satu faktor pembeda antara cita-cita Arahat Theravāda dan cita-cita Bodhisatwa Mahāyāna:

Bagi para penganut Mahāyāna... jalan menuju tingkat arhat nampaknya ternoda oleh keegoisan yang tersisa karena kurangnya motivasi dari belas kasih agung (mahākaruṇā) seorang Bodhisatwa, dan pada akhirnya satu-satunya cara yang sah dalam praktik Buddhis adalah jalan Bodhisatwa.[11]

Di seluruh dunia Mahāyāna, Awalokiteswara (Sanskerta: Avalokiteśvara; Tionghoa: Guan Yin; Jepang: Kannon; Tibet: Chenrezig) adalah seorang Bodhisatwa yang merepresentasikan karuṇā.

Pada bagian Intermediate dari Tahapan Meditasi oleh Kamalaśīla, ia menulis:

Tergerak oleh belas kasih [karuṇā], para Bodhisatwa bertekad untuk membebaskan semua makhluk hidup. Kemudian, dengan mengatasi pandangan yang mementingkan diri sendiri, mereka terlibat dengan penuh semangat dan terus-menerus dalam praktik yang sangat sulit untuk mengumpulkan kebajikan dan kebijaksanaan. Setelah memasuki praktik ini, mereka pasti akan melengkapi pengumpulan kebajikan dan kebijaksanaan. Mencapai pengumpulan kebajikan dan kebijaksanaan itu seperti memiliki kemahatahuan itu sendiri di telapak tangan Anda. Oleh karena itu, karena belas kasih adalah satu-satunya akar kemahatahuan, Anda harus membiasakan diri dengan praktik ini sejak awal.[12]

Buddhisme Tibet

[sunting | sunting sumber]

Dalam Buddhisme Tibet, salah satu teks paling berwenang mengenai jalan Bodhisatwa adalah Bodhisattvacaryāvatāra karya Shantideva. Pada bagian kedelapan yang berjudul Meditative Concentration, Shantideva menggambarkan meditasi pada karuṇā sebagai berikut:

Berusahalah untuk merenungkan kesamaan diri Anda dan orang lain. Dalam suka dan duka, semua orang sama; Maka, jadilah pelindung bagi semua orang, seperti halnya bagi diri Anda sendiri. Tangan dan anggota tubuh lainnya banyak dan berbeda. Akan tetapi, semuanya adalah satu--tubuh yang harus dijaga dan dilindungi. Demikian pula, makhluk yang berbeda, dalam suka dan duka, sama seperti saya, semuanya menginginkan kebahagiaan. Rasa sakit saya ini tidak menimpa atau menyebabkan ketidaknyamanan pada tubuh orang lain, tetapi rasa sakit ini sulit saya tanggung karena saya melekat dan menganggapnya sebagai milik saya sendiri. Dan rasa sakit makhluk lain tidak saya rasakan, tetapi, karena saya menganggapnya sebagai milik saya sendiri, penderitaan mereka adalah milik saya dan karenanya sulit untuk ditanggung. Dan karenanya saya akan menghilangkan rasa sakit orang lain, karena itu hanyalah rasa sakit, sama seperti rasa sakit saya sendiri. Dan orang lain akan saya bantu dan manfaatkan, karena mereka adalah makhluk hidup, seperti tubuh saya. Karena saya dan makhluk lain, dalam menginginkan kebahagiaan, sama dan serupa, apa perbedaan yang membedakan kita, sehingga saya harus berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan saya sendiri?[13]

Agama darmik lainnya

[sunting | sunting sumber]

Hinduisme

[sunting | sunting sumber]

Dalam agama Hindu, karuṇā merupakan salah satu kebajikan dan kualitas mendasar yang harus dikembangkan oleh seorang pencari spiritual. Banyak dewa Hindu digambarkan sebagai perwujudan karuṇā.[14] Karuṇā sering dikaitkan dengan nilai-nilai kebajikan lain, seperti "maitrī" (cinta kasih) dan "ahiṁsa" (tanpa kekerasan). Bersama-sama, nilai-nilai ini membentuk dasar kehidupan yang baik dan memuaskan secara spiritual. Kata ini berasal dari bahasa Sanskerta kara, yang berarti “melakukan” atau “membuat”,[15] yang menunjukkan bentuk kasih berbasis tindakan, bukan rasa kasihan (pity) atau kesedihan (sadness) yang diasosiasikan dengan kata tersebut dalam bahasa Inggris. Dalam mitologi Hindu, konsep "karuṇā" atau tindakan penuh belas kasih tertanam kuat dan sering digambarkan melalui cerita, karakter, dan ajaran.[16] Kisah masing-masing awatara dalam jajaran dewa Hindu merupakan perwujudan belas kasih ilahi. Misalnya, dalam kitab tandava Shiva, Shiva digambarkan sebagai Karunavataram, yang berarti perwujudan belas kasih.[17]

Karuṇā adalah salah satu dari sembilan rasa utama (prinsip estetika) dalam seni dan sastra klasik India.[18] "Karuṇā Rasa," atau sentimen belas kasih, merupakan tema utama dalam Ramayana, salah satu epos utama India. Narasi dimulai dengan kisah resi Valmiki yang mengamati sebuah insiden tragis yang melibatkan sepasang burung krauncha (burung bangau sarus), dan menetapkan nada emosional untuk kisah epik tersebut.[19] Menyaksikan burung jantan dibunuh oleh seorang pemburu, dengan meninggalkan pasangannya dalam penderitaan, Valmiki tergerak untuk mengutuk pemburu itu melalui sebuah syair spontan, yang akhirnya menjadi sloka (syair) pertama Ramayana. Momen ini, yang dipenuhi dengan kesedihan dan belas kasih, tidak hanya mengawali penulisan cerita epik tersebut, tetapi juga secara simbolis menggambarkan narasi utama tentang cinta, kehilangan, dan perpisahan yang dialami oleh para tokoh utama, Rama dan Sita, yang mewujudkan esensi dari "Karuṇā Rasa."[20] Setelahnya, dewa Brahma memerintahkan Valmiki untuk menulis cerita Rama, dan mengungkapkan seluruh kisah kepadanya.

Karya dasar Yoga, Yoga Sutra karya Patanjali—kompilasi lengkap kata-kata mutiara Sanskerta yang menjelaskan teori dan praktik yoga—secara khusus menekankan konsep karuṇā.

Ayat maitrī-karuṇā-muditopekṣaṇāṃ sukha-duḥkha-puṇyāpuṇya-viṣayāṇāṃ bhāvanātaś citta-prasādanam menganjurkan pengembangan cinta kasih (maitrī), belas kasih (karuṇā), simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upeksha) dalam menanggapi dualitas kehidupan: kebahagiaan (sukha) dan penderitaan (duhkha), serta kebajikan moral (punya) dan keburukan (apunya). Praktik ini, menurut Patanjali, berperan penting dalam mencapai keadaan ketenangan mental (chittaprasadanam), yang menggarisbawahi dimensi psikologis dan etika yang tidak terpisahkan dari kerangka filosofis yoga.

Karuṇā dikaitkan dengan praktik belas kasih Jain. Misalnya, karuṇā adalah salah satu dari empat refleksi persahabatan universal—bersama dengan persahabatan (bahasa Sanskerta: maitrī), penghargaan (pramoda), dan keseimbangan batin (madhyastha)—yang digunakan untuk menghentikan (samvara) masuknya karma.[21]

Kegunaan lain

[sunting | sunting sumber]

Nama depan

[sunting | sunting sumber]

Karuṇā adalah nama depan yang umum di seluruh India, digunakan untuk kedua jenis kelamin.

Dalam sastra

[sunting | sunting sumber]

Dalam novel Island karya Aldous Huxley, konsep "karuṇā" sangat penting bagi etos filosofis dan spiritual masyarakat yang digambarkan dalam buku tersebut.[22] Dalam novel tersebut, karuṇā menggambarkan cita-cita kecerdasan emosional dan kehidupan yang penuh empati, yang kontras dengan sikap yang lebih mementingkan diri sendiri dan materialistis yang terlihat di dunia Barat. Konsep ini menjadi inti praktik dan pandangan dunia penduduk Pala, pulau fiksi yang terletak di antara Kepulauan Andaman dan Sumatra. Huxley menggunakan burung jalak di seluruh novel sebagai motif berulang untuk memperkuat pentingnya perhatian dan belas kasih dalam masyarakat Pala. Burung-burung tersebut dilatih untuk mengulang kata "karuṇā" pada saat-saat penting, seperti saat-saat stres, konflik, atau timbulnya potensi kekerasan. Pengulangan kata tersebut berfungsi untuk mengingatkan penduduk pulau (dan pembaca) untuk mendekati situasi-situasi tersebut dengan pengertian dan empati.

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Terkait dengan kata tersebut dalam bahasa Sanskerta, lihat "karuṇā" dalam rujukan (Monier-Williams 1964), bentuk kata benda dari kata tersebut didefinisikan sebagai "pity (rasa kasihan), compassion (belas kasih)".

     • Untuk kata tersebut dalam bahasa Pali, lihat "karuṇā". Diarsipkan 2012-07-11 di Archive.is dalam rujukan (Rhys Davids & Stede 1921–25), didefinisikan sebagai "pity (rasa kasihan), compassion (belas kasih)".

     • Para cendekiawan, penerjemah, dan penafsir kontemporer secara konsisten menerjemahkan kata tersebut sebagai “compassion”, bukan “pity”. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam rujukan (diurutkan secara kronologis) (Warder 2004), (Buddhaghosa 1999), (Saddhatissa 2003), (Thanissaro 1994), (Salzberg 1995), (Gethin 1998), dan (Bodhi 2000).
  2. ^
  3. ^ For instance, in the Kālāmā Sutta (AN 3.65), the Buddha speaks of all Noble Disciples (Ariya-Savaka) developing the brahmaviharas. (Thanissaro 1994)
  4. ^ (Thanissaro 1994). The "four directions" refer to east, south, west, and north.
  5. ^ (Thanissaro 1994). In regards to in which heavenly realm a frequent karuṇā-dweller will be reborn, (Thanissaro 2006) identifies it as the realm of radiant (abhassara) devas, whose lifespans last two eons.
  6. ^ In Pali, sattesu... kāruññataṃ paṭicca, found in DN 3.6 (regarding Vipassī Buddha), MN 26.21 and SN 6.1, see, e.g., (Bodhi 2000, hlm. 233, 430, n. 362); and (Thanissaro 1997). Several other references in the Pali Canon to the Buddha's acting out of "compassion" are not related directly to karuṇā but to the synonymous anukampā, which is also defined as "mercy" in (Rhys Davids & Stede 1921–25, hlm. 34).
  7. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  8. ^ Sn-A 128 (disitasi oleh (Rhys Davids & Stede 1921–25, hlm. 197); lihat pula, (Buddha Dharma Education Association & BuddhaNet). Demikian pula dengan kitab Visuddhimagga IX.105–109 pascakanonis, memberikan penjelasan lebih lanjut, seperti dengan metafora yang menggambarkan mettā sebagai harapan seorang ibu agar anaknya (sehat) tumbuh besar dan karuṇā sebagai harapan seorang ibu agar anaknya yang sakit bisa sembuh, (Buddhaghosa 1999, hlm. 313–14).
  9. ^ a b
  10. ^ www.wisdomlib.org (2014-08-03). "Vihesa, Vihesā: 2 definitions". www.wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-09-20. 
  11. ^ (Gethin 1998, hlm. 228)
  12. ^ (Gyatso & Kamalashila 2019, hlm. 42–43)
  13. ^ (Shantideva 2011, hlm. 122–123)
  14. ^ Karuna hinduismpedia [pranala nonaktif]
  15. ^ "What is Karuna? - Definition from Yogapedia". 
  16. ^ "Karuna, Karuṇā, Karuṇa: 44 definitions". 21 June 2008. 
  17. ^ Bhandari, N. B. (2022). The Outlook: Journal of English Studies. Outlook, 13, 100-114.
  18. ^ Schwartz, Susan L. Rasa: Performing the divine in India. Columbia University Press, 2004.
  19. ^ Hammer, Niels (2009). "Why Sārus Cranes Epitomize Karuṇarasa in the Rāmāyaṇa". Journal of the Royal Asiatic Society. 19 (2): 187–211. JSTOR 27756045. 
  20. ^ "Inseparable in virtue". The Hindu. 20 August 2018. 
  21. ^ (Shah). Regarding samvara, see "Release from karmas". From a comparative religion perspective, cf. Buddhism's four brahmavihara; for instance, maitri is often identified as a Sanskrit correlate of the Pali mettā—(Rhys Davids & Stede 1921–25, hlm. 540), entry for "Mettā".
  22. ^ Huxley, Aldous. "Island." Harper & Brothers, 1962.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]