Lompat ke isi

Sejarah Ortodoks Oriental

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ortodoks Oriental adalah persekutuan Gereja-Gereja Timur yang hanya mengamini ajaran-ajaran ketiga konsili oikumene yang pertama, yaitu Konsili Nikea I, Konsili Konstantinopel I, dan Konsili Efesus. Gereja-Gereja ini menolak dogma-dogma yang diajarkan Konsili Kalsedon. Itulah sebabnya Gereja-Gereja tersebut juga disebut Gereja-Gereja Timur Lama atau Gereja-Gereja Nonkalsedon.

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Sejarah Ortodoks Oriental bermula semenjak lahirnya Kekristenan.[1]

Peran misioner

[sunting | sunting sumber]

Gereja-Gereja Ortodoks Oriental memiliki peran misioner yang besar pada tahap-tahap awal pertumbuhan Kekristenan, dan berperan besar dalam sejarah Mesir.[2]

Skisma Kalsedon

[sunting | sunting sumber]
Ikon Kubti Santo Antonius dan Santo Paulus

Menurut hukum kanon Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Konsili Nikea I (mendahului skisma) memberikan status batrik kepada Uskup Roma, Uskup Aleksandria, Uskup Efesus (kemudian hari dipindahkan ke Konstantinopel), dan Uskup Antiokhia, yakni uskup di keempat pusat rasuli purba Kekristenan. Tiap-tiap batrik bertanggung jawab atas uskup-uskup dan gereja-gereja di wilayah kewenangannya masing-masing di dalam ruang lingkup Gereja katolik sejagat (kecuali Batrik Yerusalem yang berdiri sendiri, lepas dari yang lain), dengan Uskup Roma sebagai "orang yang dituakan di antara rekan-rekan yang sederajat" selaku pengganti Petrus dan pengemban jabatan pelayanan Petrus di ranah persatuan dan kewenangan.

Skisma yang memisahkan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dari Gereja yang selebihnya terjadi pada abad ke-5. Salah satu sebabnya adalah penolakan Dioskorus, Batrik Aleksandria, untuk menerima dogma kristologis Konsili Kalsedon tentang dwikodrat Yesus (ilahi dan insani). Gereja-Gereja Oriental mengamini ajaran tentang dwikodrat Kristus, tetapi mati-matian menegaskan bahwa kedua kodrat tersebut manunggal tak terpisahkan. Batrik Dioskorus hanya bersedia menerima frasa "dari dua kodrat" dan menentang frasa "dalam dua kodrat." Bagi para petinggi Gereja yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin Ortodoks Oriental, maklumat Kalsedon tersebut pada hakikatnya setali tiga uang dengan Nestorianisme, paham yang mereka tolak. Di lingkungan Perguruan Teologi Aleksandria, muncul paham Miafisitisme yang menganjurkan suatu rumusan yang mengutamakan kemanunggalan inkarnasi di atas segala-galanya.

Itulah sebabnya Gereja-Gereja Ortodoks Oriental kerap disebut monofisit, kendati mereka menolak disebut demikian, lantaran sebutan itu berkaitan erat dengan paham Monofisitisme yang diajarkan Etikes. Mereka lebih suka disebut Gereja-Gereja "Nonkalsedon" atau "Miafisit". Gereja-Gereja Ortodoks Oriental menolak apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran bidat Monofisit dari Etikes dan Nestorius, maupun takrif Diofisit dari Konsili Kalsedon. Akibatnya, batrik-batrik Oriental diekskomunikasi oleh Uskup Roma dan Uskup Konstantinopel pada tahun 451, sehingga skisma tersebut menjadi resmi sifatnya.

Sekalipun penting, kristologi bukanlah satu-satunya alasan yang mendorong para rohaniwan Koptik dan Suryani untuk menolak Konsili Kalsedon. Pelbagai isu politik, gerejawi, kekaisaran sedang hangat diperdebatkan pada masa itu.[3]

Upaya islah yang kandas

[sunting | sunting sumber]
Severus dari Antiokhia

Pada tahun 482, Kaisar Zeno berusaha merukunkan silang pendapat Kristologis di antara pihak pendukung dan pihak penentang Takrif Kalsedon dengan mengeluarkan maklumat kaisar yang dikenal dengan nama Henotikon, tetapi ikhtiar tersebut lebih dilandasi kepentingan politik dan pada akhirnya gagal mewujudkan islah yang sejati dan sesungguhnya.[4]

Pada tahun-tahun sesudah terbitnya Henotikon, Batrik Konstantinopel secara resmi masih bersekutu dengan batrik-batrik Nonkalsedon di Aleksandria, Antiokhia, dan Yerusalem, sementara Batrik Roma tidak bersekutu dengan batrik-batrik Nonkalsedon dan merenggang dalam persekutuannya dengan Batrik Konstantinopel (lih. skisma Akasian). Baru pada tahun 518, Yustinus I, Kaisar Romawi Timur yang baru (yang menerima Takrif Kalsedon), mewajibkan segenap Gereja di Kekaisaran Romawi untuk menerima keputusan-keputusan Konsili Kalsedon. Kaisar Yustinus memerintahkan supaya semua uskup Nonkalsedon diganti, termasuk Batrik Antiokhia dan Batrik Aleksandria.[3]

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus I (tahun 527–565), muncul ikhtiar-ikhtiar islah yang baru, antara lain Konsili Konstantinopel II. Salah seorang teolog Ortodoks Oriental yang terkemuka pada masa itu adalah Severus dari Antiokhia. Meskipun kaisar sudah berulang kali mempertemukan para pemuka Ortodoks Oriental dan Ortodoks Timur, mufakat tak kunjung tercapai. Perpecahan terbukti sudah paripurna, dan pada masa itu pula dibentuk struktur-struktur gerejawi paralel di seluruh kawasan Timur Dekat. Pemuka Ortodoks Oriental yang terkemuka pada pertengahan abad ke-6 adalah Yakub Baradaeus, tokoh yang dihormati sebagai pemimpin teologis segolongan umat Kristen yang sejak saat itu dikenal dengan sebutan umat Kristen "Yakubi".[3]

Di antara Romawi Timur dan Persia

[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke-6 dan ke-7, perang yang kerap berkecamuk antara Kekaisaran Romawi Timur dan Kekaisaran Sasani (Persia) di seantero Timur Tengah sangat berdampak terhadap peri kehidupan semua orang Kristen di kawasan itu, termasuk orang-orang Kristen Ortodoks Oriental, khususnya di Armenia, Suriah, dan Mesir. Keberdaulatan singkat Persia atas seantero kawasan itu semasa [[|Perang Romawi–Persia#Perang Bizantium–Sassaniyah|Perang Romawi Timur–Sasani tahun 602–628]] kian memperlebar jarak yang memisahkan komunitas-komunitas Ortodoks Oriental di kawasan itu dari pemerintah Kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel. Keterpisahan tersebut tidak kunjung membaik sesudah Romawi Timur mendaulat kembali kawasan itu, sekalipun Kaisar Heraklius sudah berusaha menguatkan kendali politik atas kawasan itu lewat upaya penyatuan kembali komunitas-komunitas Kristen yang terbelah. Demi mencapai suatu kompromi kristologis antara pihak Ortodoks Oriental dan pihak Ortodoks Timur, ia mendukung paham monoenergisme dan monotelitisme, tetapi islah yang dicita-citakannya tak kunjung sampai.[3]

Penaklukan dan pascapenaklukan Arab

[sunting | sunting sumber]

Tantangan Islamisasi

[sunting | sunting sumber]

Menyusul Penaklukan Muslim atas Timur Tengah pada abad ke-7, dimulailah suatu proses Islamisasi berangsur yang memengaruhi semua orang Kristen di kawasan itu, termasuk umat Ortodoks Oriental. Komunitas-komunitas Ortodoks Oriental, terutama komunitas-komunitas Suryani dan Kubti, sedikit demi sedikit tergantikan oleh komunitas-komunitas Muslim. Meskipun demikian, masih tersisa kelompok-kelompok kecil yang terus melestarikan iman dan budaya Kristen mereka.[5]

Penaklukan dan sistem milet Usmani

[sunting | sunting sumber]

Pada paruh pertama abad ke-16, seantero Timur Dekat berkhidmat kepada Kemaharajaan Usmani. Syam dan Mesir ditaklukkan dalam Perang Usmani-Mamluk tahun 1516-1517, sehingga komunitas-komunitas Ortodoks Oriental di kedua negeri itu harus menghadapi kenyataan politik baru yang kelak menentukan jalan sejarah mereka sampai awal abad ke-20. Pemerintah Usmani memperkenalkan sistem milet yang memberi otonomi sampai taraf tertentu kepada komunitas-komunitas umat beragama non-Islam, termasuk umat Kristen Ortodoks Oriental.

Aniaya terhadap umat Ortodoks Oriental

[sunting | sunting sumber]

Salah satu ciri khas yang paling menonjol dari Ortodoks Oriental adalah aniaya dan pembataian yang tak henti-hentinya menimpa umat Ortodoks Oriental sepanjang sejarah, mula-mula ketika berada di bawah pemerintahan Romawi Timur dan Sasani, tetapi juga kemudian hari ketika berada di bawah pemerintahan kulawangsa-kulawangsa Muslim yang silih berganti berkuasa.[6] Sentimen-sentimen anti-Ortodoks Oriental di Kekaisaran Romawi Timur dilatarbelakangi perpecahan umat Kristen selepas Konsili Kalsedon tahun 451. Aniaya-aniaya lebih banyak timbul di Mesir dan beberapa provinsi timur lainnya di Kekaisaran Romawi Timur pada masa pemerintahan Kaisar Marsianus (tahun 450–457) dan Kaisar Leo I (tahun 457–474).[7] Aniaya pernah pula terjadi pada zaman Kesultanan Adal dan Kerajaan Simien.

Peristiwa penaklukan Muslim atas Mesir terjadi pada tahun 639 tarikh Masehi, ketika Mesir menjadi salah satu provinsi Kekaisaran Romawi Timur. Sekalipun timbul gejolak perubahan politik, Mesir tetap mayoritas Kristen, sayangnya umat Kubti kehilangan status mayoritasnya selepas abad ke-14,[8] sebagai akibat dari aniaya dan penghancuran gereja yang terjadi dari waktu ke waktu,[9] berbarengan dengan pengenaan pajak-pajak yang memberatkan ke atas orang-orang yang enggan masuk Islam.[10] Semenjak Mesir takluk kepada kaum Muslim, umat Kristen Kubti dianiaya oleh berbagai rezim Muslim yang silih berganti berkuasa,[11] seperti Khilafah Bani Umayah,[12] Khilafah Bani Abas,[13][14][15] Khilafah Bani Fatimah,[16][17][18] Kesultanan Mamluk,[19][20] dan Kekaisaran Usmani. Aniaya terhadap umat Kristen Kubti mencakup penutupan dan pembongkaran gereja serta paksaan untuk masuk Islam.[21][22][23] Aniaya terhadap umat Kubti masih berlangsung sampai hari ini. Jumlah Umat Kristen mencapai 10% dari populasi Mesir dan mayoritas adalah umat Ortodoks Oriental.[24] Serangan-serangan signifikan termutakhir terhadap umat Kristen Koptik mencakup pengeboman dua gereja pada Hari Paskah tahun 2017, yang merenggut 49 korban jiwa, dan pembunuhan 29 orang peziarah dalam perjalanan ke sebuah biara pada bulan Mei tahun yang sama.[24]

Aniaya terhadap umat Kristen Ortodoks pada zaman modern mencapai puncaknya dalam tindakan aniaya sistematis oleh pemerintah Usmani terhadap umat Kristen Armeni dan umat Kristen Asyuri yang berbuntut petaka Genosida Armeni dan Genosida Asyuri semasa Perang Dunia I.[25][26]

Pada tanggal 23 April 2015, Gereja Apostolik Armenia menganonisasi semua korban Genosida Armeni. Kanonisasi tersebut diyakini sebagai kanonisasi terbesar sepanjang sejarah.[27][28][29] Meskipun 1,5 juta adalah jumlah korban jiwa yang paling sering dipublikasikan, angka-angka yang dihasilkan bermacam-macam perkiraan berkisar dari 700.000 sampai 1.800.000. Kanonisasi korban Genosida Armeni adalah kanonisasi pertama yang di lakukan Gereja Apostolik Armenia selepas empat ratus tahun.[30]

Zaman modern

[sunting | sunting sumber]

Persekutuan Ortodoks Oriental terdiri atas enam kelompok, yaitu Gereja Ortodoks Kubti, Gereja Ortodoks Suryani, Gereja Ortodoks Habasyi, Gereja Ortodoks Eritrea, Gereja Ortodoks Suryani Malangkara, dan Gereja Apostolik Armenia.[31] Sekalipun bersekutu satu sama lain, enam Gereja tersebut sepenuhnya mandiri secara hierarkis dam tidak memiliki batrik bersama.[32]

Pada abad ke-20, Skisma Kalsedon tidak dilihat dengan relevansi yang sama, dan beberapa pertemuan antara pihak Katolik dan pihak Ortodoks Oriental telah menghasilkan pernyataan-pernyataan islah yang ditandatangani oleh Batrik Oriental (Mar Ignasius Zaka I) dan Sri Paus (Yohanes Paulus II) pada tahun 1984.

Kekalutan dan skisma yang timbul di antara Gereja-Gereja mereka pada abad-abad kemudian, dewasa ini mereka mafhumi, sama sekali tidak berdampak maupun menyentuh inti sari iman mereka, lantaran kekalutan dan skisma tersebut timbul semata-mata lantaran perbedaan-perbedaan dalam peristilahan serta budaya dan dalam beragam rumusan yang diadopsi perguruan-perguruan teologi yang berlainan guna mengungkapkan perkara yang sama. Oleh sebab itu, dewasa ini tidak kami dapati dasar yang nyata bagi perpecahan dan skisma memilukan yang sudah timbul di antara kami terkait doktrin Inkarnasi. Baik dalam perkataan maupun dalam kehidupan, kami mengamini doktrin sejati tentang Kristus Tuhan kita, sekalipun ada perbedaan-perbedaan dalam menafsirkan doktrin yang muncul pada zaman Konsili Kalsedon itu.[33]

Hubungan oikumene

[sunting | sunting sumber]

Selepas penyelenggaraan Konferensi Addis Ababa tahun 1965 yang bersejarah itu, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental mulai menumbuhkembangkan amalan saling konsultasi dalam perkara-perkara teologis dan saling kerjasama dalam urusan-urusan pembinaan hubungan oikumene dengan Gereja-Gereja dan denominasi-denominasi lain, khususnya dengan Gereja-Gereja Ortodoks Timur dan persekutuan Anglikan. Diskusi-diskusi yang kembali dilangsungkan para teolog Ortodoks Oriental dengan para teolog Ortodoks Timur lebih banyak menyoroti pokok-pokok permasalahan kristologis mengenai pelbagai perbedaan antara Monofisitisme dan Miafisitisme.[34][35] Di lain pihak, dialog para teolog Ortodoks Oriental dengan para teolog Anglikan juga secara khusus menyoroti beberapa pokok permasalahan pneumatologis tambahan. Pada tahun 2001, dibentuk "Komisi Internasional Anglikan-Ortodoks Oriental".[36] Pada tahun-tahun berikutnya, komisi tersebut menghasilkan beberapa pernyataan teologis penting. Yang terakhir, pada tahun 2017, para teolog Ortodoks Oriental dan Anglikan menggelar pertemuan di Dublin dan menandatangani sebuah kesepakatan mengenai pelbagai pokok permasalahan teologis yang berkaitan dengan Roh Kudus. Pernyataan kesepakatan tersebut mengukuhkan kesediaan pihak Anglikan untuk menghilangkan sisipan Filioque dari syahadat.[37]

Baca juga

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "FindArticles.com – CBSi". findarticles.com. Diakses tanggal 20 Mei 2018. 
  2. ^ "Oriental Orthodox church – Christianity". Diakses tanggal 20 Mei 2018. 
  3. ^ a b c d Meyendorff 1989.
  4. ^ Meyendorff 1989, hlm. 194–202.
  5. ^ Betts 1978.
  6. ^ "The Christian Coptic Orthodox Church Of Egypt". Encyclopedia Coptica. Diakses tanggal 20 Mei 2018. 
  7. ^ Meyendorff 1989, hlm. 187–194.
  8. ^ Shea, Nina (June 2017). "Do Copts have a future in Egypt". Foreign Affairs. Diarsipkan dari versi asliPerlu langganan berbayar tanggal 2017-06-20. 
  9. ^ Etheredge, Laura S. (2011). Middle East, Region in Transition: Egypt. Britannica Educational Publishing. hlm. 161. ISBN 9789774160936. 
  10. ^ Conversion, Exemption, and Manipulation: Social Benefits and Conversion to Islam in Late Antiquity and the Middle Ages: Forcing taxes on those who refuse to convert (PDF), ʿUmar digambarkan sebagai tokoh yang memerintahkan supaya "pajak perkapita diwajibkan ke atas semua orang yang tidak bersedia menjadi Muslim" 
  11. ^ Refugees, United Nations High Commissioner for. "Refworld | World Directory of Minorities and Indigenous Peoples – Egypt : Copts of Egypt". Refworld (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-15. 
  12. ^ H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World. Oxford University Press, 2007, hlm. 219.
  13. ^ Goddard, Hugh (2000). A History of Christian–Muslim Relations. Rowman & Littlefield. hlm. 71. ISBN 1566633400. Diakses tanggal 20 Januari 2016. 
  14. ^ Feder, Frank (2017). "The Bashmurite Revolts in the Delta and the 'Bashmuric Dialect'". Dalam Gabra, Gawdat; Takla, Hany N. Christianity and Monasticism in Northern Egypt: Beni Suef, Giza, Cairo, and the Nile Delta. American University in Cairo Press. hlm. 33–35. 
  15. ^ Lapidus, Ira M. (1972). "The Conversion of Egypt to Islam". Israel Oriental Studies. 2: 257. 
  16. ^ Robert Ousterhout, "Rebuilding the Temple: Constantine Monomachus and the Holy Sepulchre" dalam The Journal of the Society of Architectural Historians, Jld. 48, No. 1 (Maret 1989), hlmn. 66–78
  17. ^ John Joseph Saunders (11 March 2002). A History of Medieval Islam. Routledge. hlm. 109–. ISBN 978-1-134-93005-0. 
  18. ^ Marina Rustow (3 October 2014). Heresy and the Politics of Community: The Jews of the Fatimid Caliphate. Cornell University Press. hlm. 219–. ISBN 978-0-8014-5529-2. 
  19. ^ Teule, Herman G. B. (2013). "Introduction: Constantinople and Granada, Christian–Muslim Interaction 1350–1516". Dalam Thomas, David; Mallett, Alex. Christian-Muslim Relations. A Bibliographical History, Jilid 5 (tahun 1350–1500). Brill. hlm. 10. ISBN 9789004252783. 
  20. ^ Werthmuller, Kurt J. (2010). Coptic Identity and Ayyubid Politics in Egypt, 1218–1250. American Univ in Cairo Press. hlm. 76. ISBN 9780805440737. 
  21. ^ Lyster, William (2013). The Cave Church of Paul the Hermit at the Monastery of St. Pau. Yale University Press. ISBN 9789774160936. Kendati demikian, Alhakim Biamrillah (memerintah tahun 996—1021), tokoh yang menjadi penganiaya terbesar umat Kubti.... di dalam gereja tersebut yang juga tampak bersamaan waktunya dengan suatu kurun waktu pemaksaan untuk lekas-lekas masuk Islam 
  22. ^ N. Swanson, Mark (2010). The Coptic Papacy in Islamic Egypt (641–1517). American Univ in Cairo Press. hlm. 54. ISBN 9789774160936. Jelang penghujung tahun 1012, aniaya sudah meningkat ke tahap penghancuran gereja-gereja dan pemaksaan orang Kristen untuk pindah agama ... 
  23. ^ ha-Mizraḥit ha-Yiśreʼelit, Ḥevrah (1988). Asian and African Studies, Jilid 22. Jerusalem Academic Press. Sejarawan-sejarawan Muslim mencatat penghancuran lusinan gereja dan pemaksaan lusinan orang untuk masuk Islam pada masa pemerintahan Alhakim Biamrillah di Mesir ...Kejadian-kejadian ini juga mencerminkan sikap Muslim terhadap paksaan pindah agama dan terhadap para mualaf.
  24. ^ a b Sherwood, Harriet (10 January 2018). "Christians in Egypt face unprecedented persecution, report says". The Guardian. 
  25. ^ International Association of Genocide Scholars (13 June 2005). "Letter to Prime Minister Erdogan". Genocide Watch. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Juni 2007. 
  26. ^ "Nobel Laureates call for tolerance, contact and cooperation between Turks and Armenians" (PDF). Elie Wiesel Foundation. 9 April 2007. Diarsipkan dari Asiriandation.org/PressReleases/TurkishArmenianReconciliation.pdf versi asli Periksa nilai |url= (bantuan) (PDF) tanggal 10 Juli 2007. 
  27. ^ Davlashyan, Naira. "Armenian Church makes saints of 1.5 million genocide victims – Yahoo News". News.yahoo.com. Diakses tanggal 23 April 2015. 
  28. ^ "Armenian Genocide victims canonized in Holy Etchmiadzin". Panarmenian.Net. Diakses tanggal 23 April 2015. 
  29. ^ "Canonized: Armenian Church proclaims collective martyrdom of Genocide victims – Genocide". ArmeniaNow.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Juli 2020. Diakses tanggal 23 April 2015. 
  30. ^ "After 400 years, new saints for the Armenian Church". Risu.org.ua. Diakses tanggal 23 April 2015. 
  31. ^ WCC-COE.org Diarsipkan 2010-04-06 di Wayback Machine.
  32. ^ "Michael Allen – The Pluralism Project". www.pluralism.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Juli 2012. Diakses tanggal 20 Mei 2018. 
  33. ^ Dari deklarasi bersama Paus Yohanes Paulus II dan Yang Mulia Mar Ignasius Zaka I tanggal 23 Juni 1984
  34. ^ "Orthodox Unity (Orthodox Joint Commission)". Orthodox Unity (Orthodox Joint Commission). Diakses tanggal 20 Mei 2018. 
  35. ^ Christine Chaillot (penyunting), The Dialogue between Eastern Orthodox and Oriental Orthodox Churches, International Edition 2016.
  36. ^ Office, Anglican Communion. "Anglican Communion: Oriental Orthodox". Anglican Communion Website. Diakses tanggal 20 May 2018. 
  37. ^ "Historic Anglican – Oriental Orthodox agreement on the Holy Spirit signed in Dublin". www.anglicannews.org. Diakses tanggal 20 Mei 2018. 

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]