Dampak pandemi Covid-19 terhadap anak-anak
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Dampak pandemi COVID-19 pada anak-anak memiliki tingkat risiko kesehatan yang lebih kecil dibandingkan pada orang dewasa. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan sebuah sistem penelitian yang sistematis tentang dampak dari COVID-19 pada manusia.[1] Meskipun demikian, anak-anak sangat rentan terhadap Sindrom inflamasi multisistem, sebuah penyakit sistemik langka yang dapat mengancam nyawa anak-anak yang mengakibatkan terjadinya demam persisten dan terjadi inflamasi ekstrem setelah seseorang terpapar SARS-CoV-2.[2]
Dampak pandemi COVID-19 bagi anak-anak dan juga remaja terjadi pada beberapa aspek termasuk diantaranya yang paling menonjol adalah pendidikan, kemudian kesehatan mental, keamanan, dan juga stabilitas sosial ekonomi; Selain itu, infeksi virus ini juga menyebabkan kehilangan anggota keluarga. Pada beberapa kasus lainnya, pandemi COVID-19 dapat memperburuk tingkat ketidaksetaraan yang dialami oleh anak-anak di berbagai negara di dunia.[3][4][5]
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]Penutupan sekolah
[sunting | sunting sumber]Hingga akhir bulan Maret 2020, UNESCO memperkirakan bahwa lebih dari 89% para pelajar di seluruh dunia baik tingkat sekolah ataupun universitas tidak mendapat akses belajar yang baik, karena terjadinya penutupan sekolah dan universitas, guna mengurangi penyebaran penyakit COVID-19 di setiap negara yang terdampak.[6] Kejadian ini menjadi keprihatinan yang serius karena juga berdampak pada bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan akibat penutupan sekolah dan universitas yang telah berlangsung sejak awal tahun 2020.[7][8][9][10]
Selain itu, peraturan penutupan sekolah secara tidak proporsional ini juga berdampak pada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak penyandang disabilitas, dan perempuan muda, karena adanya disparitas atau perbedaan dalam mengakses pendidikan disebabkan jarak yang jauh, distribusi materi pendidikan yang tidak merata, dan juga perbedaan dalam perawatan anak dan tanggung jawab rumah tangga. Penyediaan program makan dan vaksinasi bagi anak-anak adalah hal yang sangat penting dalam perawatan kesehatan anak bagi banyak keluarga.[5] Contoh lain dampak dari penutupan sekolah adalah peristiwa wabah Ebola tahun 2014-2016 yang terjadi di Afrika Barat. Penutupan sekolah mengakibatkan peningkatan siswa yang putus sekolah, peningkatan angka pekerja pada anak, kekerasan terhadap anak-anak, dan juga kasus kehamilan pada remaja.[11]
Dampak pada kehidupan pelajar
[sunting | sunting sumber]Dampak pandemi ini menjadi bahan studi global yang komprehensif oleh oleh Dr. Aleksander Aristovnik, dari Fakultas Administrasi Publik, Universitas Ljubljana, Slovenia. Aristovnik memberikan gambaran yang sistematis tentang kepuasan dan persepsi siswa tentang berbagai aspek kehidupan mereka selama terjadinya gelombang pertama pandemi COVID-19, termasuk juga pendapat mereka tentang masa depan mereka dalam jangka pendek dan jangka panjang. Studi ini menunjukkan bahwa para staf pengajar dan juga humas universitas memberikan dukungan penuh kepada siswa terkait kepentingan akademis di universitas selama pandemi. Namun di sisi lain, kurangnya keterampilan menggunakan komputer dan memiliki persepsi beban kerja yang relatif lebih tinggi, membuat para siswa tidak merasakan kinerja pendidikan dari jarak jauh yang lebih baik saat beradaptasi dengan 'normal baru'.[12]
Selama masa lockdown di berbagai negara, para siswa terutama mengemukakan kekhawatiran mereka tentang karir profesional masa depan mereka[13] dan belajar jarak jauh menjadi sebuah masalah dengan adanya rasa bosan, cemas, dan frustrasi. Gaya hidup mereka juga mengalami perubahan dengan perilaku higienis seperti rutin memakai masker dan cuci tangan dalam kebiasaan rutin sehari-hari seperti keluar rumah dan berjabat tangan dengan orang lain.[12]
Faktor sosio-demografis dan geografis juga memiliki peran penting dalam persepsi siswa tentang berbagai aspek terkait pekerjaan atau kehidupan akademis mereka. Hasil empiris menunjukkan bahwa masa transisi dari kuliah di tempat ke kuliah online karena pandemi COVID-19 memiliki efek yang lebih kuat pada pelajar laki-laki, mahasiswa paruh waktu, mahasiswa sarjana, mahasiswa ilmu terapan, mahasiswa dari keluarga berpenghasilan lebih rendah, dan mahasiswa dari negara kurang berkembang, khususnya yang ada di wilayah Afrika dan Asia.[12] Sedangkan selama masa pandemi umumnya memiliki efek yang lebih kuat pada pelajar perempuan, mahasiswa penuh waktu, mahasiswa sarjana dan pelajar yang memiliki masalah keuangan sehubungan dengan kehidupan emosional dan keadaan pribadi mereka.[12]
Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa siswa yang hidup penuh harapan dan tidak bosan, siswa yang lebih puas dengan pekerjaan atau kehidupan akademis mereka, siswa ilmu sosial, siswa dengan standar hidup yang lebih baik (penerima beasiswa dan atau berasal dari keluarga yang mampu membayar biaya pendidikan secara penuh), dan mereka yang belajar di Eropa, menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih besar dengan peran dan tindakan universitas mereka selama krisis COVID-19.[12]
Kelompok berisiko
[sunting | sunting sumber]Wabah COVID-19 mengancam keselamatan anak-anak pasca terjadinya pandemi ini. Anak-anak yang hidup di lingkungan padat penduduk dan tidak sehat, memiliki risiko yang sangat tinggi.[14] Kelompok usia muda, khususnya perempuan, masyarakat adat, para imigran, dan juga pengungsi, akan menghadapi masalah sosial, ekonomi dan juga kesehatan, serta adanya peningkatan risiko kekerasan terhadap perempuan karena isolasi sosial, meningkatnya diskriminasi dan masalah finansial. Pandemi ini juga menjadi rentan terhadap pernikahan anak, karena keluarga berpenghasilan rendah akan mencari cara untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.[15][16][17][18]
Vaksinasi
[sunting | sunting sumber]Hingga tanggal 22 September 2020, belum ada uji coba khusus vaksin yang dilakukan pada anak di bawah umur 18 tahun.[19]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Ludvigsson JF (Juni 2020). "Systematic review of COVID-19 in children shows milder cases and a better prognosis than adults". Acta Paediatrica (dalam bahasa Inggris). 109 (6): 1088–1095. doi:10.1111/apa.15270. PMC 7228328 . PMID 32202343., Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ Ahmed M, Advani S, Moreira A, et al. (September 2020). "Multisystem inflammatory syndrome in children: a systematic review". EClinicalMedicine (dalam bahasa Inggris). 26: 100527. doi:10.1016/j.eclinm.2020.100527. ISSN 2589-5370. PMC 7473262 . PMID 32923992. , Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ "COVID-19: Working with and for young people". www.unfpa.org (dalam bahasa Inggris). Mei 2020. Diakses tanggal 19 Maret 2021.
- ^ Harvard Health Publishing (15 Mei 2020). "Coronavirus outbreak and kids". Harvard Health (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 19 Maret 2021.
- ^ a b Armitage R, Nellums LB (Mei 2020). "Considering inequalities in the school closure response to COVID-19". Lancet Global Health (dalam bahasa Inggris). 8 (5): e644. doi:10.1016/S2214-109X(20)30116-9. PMC 7195275 . PMID 32222161. , Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ "Covid-19 school closures around the world will hit girls hardest". UNESCO (dalam bahasa Inggris). 31 Maret 2020. Diakses tanggal 19 Maret 2021.
- ^ Loukas A, Roalson LA, Herrera DE (2010). "School connectedness buffers the effects of negative family relations and poor effortful control on early adolescent conduct problems". Journal of Research on Adolescence. 20 (1): 13–22. doi:10.1111/j.1532-7795.2009.00632.x., Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ Foster CE, Horwitz A, Thomas A, Opperman K, Gipson P, Burnside A, et al. (October 2017). "Connectedness to family, school, peers, and community in socially vulnerable adolescents". Child and Youth Services Review. 81: 321–331. doi:10.1016/j.childyouth.2017.08.011. PMC 6128354 . PMID 30202142., Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ Psacharopoulos G, Patrinos HA (2018). "Returns to investment in education: a decennial review of theglobal literature". Education Economics. 26 (5): 445–458. doi:10.1080/09645292.2018.1484426. hdl:10986/30154 . , Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ Cooper H, Nye B, Charlton K, Lindsay J, Greathouse S (September 1996). "The Effects of Summer Vacation on Achievement Test Scores: A Narrative and Meta-Analytic Review". Review of Educational Research. 66 (3): 227–268. doi:10.3102/00346543066003227. , Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ "Conforting The Gender Impact Of Ebola Virus Disease In Guinea, Liberia and Sierra Leone" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNDP Africa Policy Note. 30 Januari 2015. Diakses tanggal 19 Maret 2021.
- ^ a b c d e Aristovnik A, Keržič D, Ravšelj D, Tomaževič N, Umek L (13 Oktober 2020). "Impacts of the COVID-19 Pandemic on Life of Higher Education Students: A Global Perspective". Sustainability. 12 (20): 8438. doi:10.3390/su12208438 .,Diakses tanggal 21 Maret 2021. Teks disalin dari sumber ini, yang tersedia di bawah Creative Commons Attribution 4.0 International License
- ^ Harwin, Alex (2020-10-20). "COVID-19's Disproportionate Toll on Class of 2020 Graduates". Education Week (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 19 Maret 2021.
- ^ "Impact of Covid-19 on Children". 8 Mei 2020. Diakses tanggal 20 Maret 2021.
- ^ "UN Secretary-General's policy brief: The impact of COVID-19 on women | Digital library: Publications". UN Women (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 20 Maret 2021.
- ^ UN Women. (19 September 2019). Families in a changing world / UN Women. New York. ISBN 978-1-63214-156-9. OCLC 1120137550., Diakses tanggal 21 Maret 2021.
- ^ Women, U. N. "How COVID-19 impacts women and girls". interactive.unwomen.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 20 Maret 2021.
- ^ "Gender equality matters in COVID-19 response". UN Women (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 20 Maret 2021.
- ^ Zimmerman, Carl (21 September 2020). "A COVID-19 Vaccine May Not Arrive Until Fall 2021". The New York Times. Diakses tanggal 21 Maret 2021.