Lompat ke isi

Pengobatan dan penanganan COVID-19

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Pengobatan dan penangangan COVID-19 (bahasa Inggris: Treatment and management of COVID-19) hingga saat ini belum ditemukan secara spesifik dan efektif.[1] Sehingga, cara umum yang bisa dilakukan dalam penanganan COVID-19 yakni dengan dukungan perawatan suportif, yang termasuk di dalamnya ialah pengobatan untuk meredakan gejala, melakukan terapi cairan, pemberian dukungan oksigen dan pengobatan sesuai kebutuhan pasien dengan obat-obatan khususnya untuk mendukung organ vital tubuh yang mengalami dampak buruk dari COVID-19.[2][3][4]

Sebagian besar penderita COVID-19 tergolong ringan. Dalam hal ini, dukungan perawatan suportif berupa obat-obatan seperti parasetamol atau NSAID dibutuhkan untuk meredakan gejala yang umum terjadi (seperti demam, nyeri tubuh, batuk), adanya asupan cairan yang tepat, istirahat, dan wajib bernafas melalui hidung (pernapasan hidung).[5][6][7] Menjaga kebersihan tubuh dengan baik dan melakukan diet sehat juga direkomendasikan para ahli untuk penanganan COVID-19.[8] Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC) menyarankan agar kasus yang dicurigai mengidap virus untuk mengisolasi diri di rumah dan memakai masker wajah.[9]

Pasien dengan kasus yang lebih parah memerlukan perawatan di rumah sakit. Dan pasien yang memiliki kadar oksigen rendah, disarankan untuk menggunakan glukokortikoid deksametason, karena dapat mengurangi risiko kematian.[10][11][12] Masuk ke unit perawatan intensif untuk ventilasi mekanis mungkin diperlukan untuk mendukung pernapasan. Oksigenasi membran ekstrakorporeal (Extracorporeal membrane oxygenation, disingkat ECMO) telah banyak digunakan untuk mengatasi masalah gagal napas, namun manfaatnya masih dalam tahap pertimbangan.[13]

Beberapa pengobatan eksperimental sedang dipelajari secara aktif di uji klinis.[1] Pada awal pandemi COVID-19 ada beberapa pengobatan dianggap baik, seperti hydroxychloroquine dan lopinavir/ritonavir, namun melalui penelitian menemukan bahwa obat tersebut tidak efektif atau bahkan berbahaya untuk dikonsumsi.[1][14][15] Penelitian masih sedang berlangsung, akan tetapi belum ada obat yang bisa direkomendasikan sebagai pengobatan dini.[14][15] Namun demikian, di Amerika Serikat, ada dua terapi berbasis antibodi monoklonal yang bisa digunakan sebagai pengobatan awal untuk kasus yang dianggap memiliki risiko tinggi berkembang menjadi penyakit yang parah.[15] Antiviral remdesivir telah tersedia di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan beberapa negara lain; namun, cara ini tidak disarankan untuk orang yang membutuhkan ventilasi mekanis, dan sama sekali tidak disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),[16] karena bukti kemanjurannya masih terbatas.[1]

Pengobatan

[sunting | sunting sumber]
Seorang dokter anestesi yang kelelahan di Pesaro, Italia, Maret 2020

Sejak bulan Februari 2021, di Amerika Serikat, remdesivir memiliki persetujuan FDA untuk pasien COIVD-19 tertentu, dan ada Otorisasi Penggunaan Darurat untuk penggunaan baricitinib, bamlanivimab, bamlanivimab/etesevimab, dan casirivimab/imdevimab.[17] Sementara di Uni Eropa, penggunaan deksametason telah didukung, dan remdesivir memiliki Izin pemasaran bersyarat.[18] Penggunaan deksametason memiliki manfaat klinis untuk mengobati COVID-19, sebagaimana ditentukan berdasarkan hasil uji coba terkontrol secara acak.[19][20] Pada awal penelitian, remdesivir memiliki manfaat dalam mencegah kematian dan memperpendek durasi penyakit, namun hal ini tidak didukung berdasarkan uji coba berikutnya.[1]

Beberapa obat antivirus COVID-19 sedang diteliti, namun belum ada obat yang terbukti efektif mematikan virus berdasarkan uji coba terkontrol acak yang sudah dipublikasikan.[21] Keamanan dan efektivitas plasma sembuh sebagai pilihan dalam pengobatan juga masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[22] Percobaan lain sedang dilakukan, apakah obat-obatan dapat digunakan secara efektif untuk melawan reaksi kekebalan tubuh terhadap infeksi SARS-CoV-2.[21][23] Penelitian untuk menemukan pengobatan yang potensial telah dimulai sejak Januari 2020,[24] dan beberapa obat antivirus masih sedang dalam uji klinis.[25][26] Menemukan dan mengembangkan obat baru masih dilakukan hingga tahun 2021,[27] dan beberapa obat yang telah diuji sudah disetujui untuk kegunaan lain atau sudah dalam tahap pengujian lebih lanjut.[28] Pengobatan antivirus dapat diberikan pada pasien dengan tingkat penyakit yang parah.[2] Dan WHO merekomendasikan para sukarelawan untuk mengambil bagian dalam uji coba keefektifan dan keamanan perawatan yang potensial.[29]

Melakukan terapi antibodi monoklonal, bamlanivimab/etesevimab dinyatakan dapat mengurangi jumlah pasien rawat inap, mengurangi jumlah kunjungan ruang gawat darurat dan atau mengurangi jumlah kematian sekitar 60-70%.[30][31] Kedua obat kombinasi tersebut memiliki izin penggunaan darurat oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat.[30][31]

Mengonsumsi obat bebas seperti parasetamol atau ibuprofen, minum cairan, dan istirahat yang cukup, dapat membantu meringankan gejala yang muncul.[32][33] Merujuk pada tingkat keparahan pasien, penggunaan terapi oksigen dan cairan intravena memungkinkan untuk dilakukan.[34] Beberapa obat yang dianggap ampuh untuk mengobati, namun dalam penelitian, ternyata tidak efektif dan bahkan tidak aman untuk dikonsumsi pasien, beberapa obat tersebut termasuk diantaranya; baloxavir marboxil, favipiravir, lopinavir / ritonavir, ruxolitinib, klorokuin, hidroksiklorokuin, interferon β-1a, dan juga kolkisin.[12]

Dukungan pernapasan

[sunting | sunting sumber]
Seorang pasien COVID-19 kondisi kritis sedang menerima ventilasi invasif di unit perawatan intensif Heart Institute, University of São Paulo, selama pandemi COVID-19 di Brasil. Karena kekurangan ventilator mekanis, ventilator jembatan digunakan untuk menggerakkan bag valve mask.

Ventilasi mekanis

[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar pasien COVID-19 masuk dalam kategori tidak parah dan tidak memerlukan ventilasi mekanis atau alternatifnya, namun beberapa kasus memerlukan ventilasi mekanis.[35][36] Jenis bantuan pernapasan untuk pasien COVID-19 yang mengalami gagal napas sedang dipelajari secara aktif, dan beberapa bukti bahwa intubasi dapat dihindari dengan high flow nasal cannula atau dwi-level positive airway pressure.[37] Dan tidak diketahui apakah salah satu dari keduanya bisa memberikan manfaat yang sama bagi orang yang sakit kritis.[38] Beberapa dokter lebih suka tetap menggunakan ventilasi mekanis invasif bila tersedia karena teknik ini dapat membatasi penyebaran partikel aerosol.[35]

Ventilasi mekanis telah dilakukan kepada 79% pasien kritis di rumah sakit, termasuk 62% yang sebelumnya telah menerima perawatan lain. Dari jumlah tersebut 41% meninggal, berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat.[39]

Pencegahan penularan selanjutnya

[sunting | sunting sumber]
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat merekomendasikan empat langkah untuk memakai APD.[40]

Isolasi mandiri sangat direkomendasikan bagi orang-orang yang terinfeksi COVID-19 ringan atau yang dicurigai telah terinfeksi meskipun mereka tidak memiliki gejala spesifik, guna mencegah penularan virus dan membantu mengurangi beban pada fasilitas pelayanan kesehatan.[32] Di banyak yurisdiksi, seperti di Britania Raya, melakukan isolasi mandiri sangat diwajibkan dan telah diatur oleh Undang-Undang Koronavirus 2020.[41] Panduan tentang cara isolasi mandiri berbeda-beda di setiap negara; seperti CDC di Amerika Serikat dan Layanan Kesehatan Nasional di Britania Raya telah mengeluarkan instruksi khusus, seperti halnya otoritas lokal lainnya.[41][42] Ventilasi ruangan yang memadai, rutin menjaga kebersihan dan desinfeksi, serta menjaga kebersihan pembuangan limbah juga penting untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih lanjut.[43]

Dukungan psikologis

[sunting | sunting sumber]

Beberapa orang mungkin akan mengalami tekanan akibat diberlakukannya karantina, pembatasan perjalanan, efek samping pengobatan, atau juga mengalami ketakutan akan penyakit itu sendiri. Untuk mengatasi masalah ini, pada tanggal 27 Januari 2020, Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok menerbitkan sebuah pedoman nasional untuk intervensi krisis psikologis.[44][45]

The Lancet menerbitkan 14 halaman himbauan yang berfokus di Inggris dan menyatakan bahwa pandemi COVID-19 menimbulkan masalah kesehatan mental dan cenderung dialami oleh banyak orang. BBC mengutip pendapat Rory O'Connor yang mengatakan, "Peningkatan isolasi mandiri, kesepian, kecemasan kesehatan, stres, dan kemerosotan ekonomi adalah badai yang sempurna untuk bisa membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mental seseorang.."[46][47]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Siemieniuk RA, Bartoszko JJ, Ge L, Zeraatkar D, Izcovich A, Kum E, et al. (July 2020). "Drug treatments for covid-19: living systematic review and network meta-analysis". BMJ (dalam bahasa Inggris). 370: m2980. doi:10.1136/bmj.m2980alt=Dapat diakses gratis. PMC 7390912alt=Dapat diakses gratis. PMID 32732190. , Diakses tanggal 21 Maret 2021.
  2. ^ a b Fisher D, Heymann D (Februari 2020). "Q&A: The novel coronavirus outbreak causing COVID-19". BMC Medicine (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 57. doi:10.1186/s12916-020-01533-walt=Dapat diakses gratis. PMC 7047369alt=Dapat diakses gratis. PMID 32106852.  Diakses tanggal 21 Maret 2021.
  3. ^ Liu K, Fang YY, Deng Y, Liu W, Wang MF, Ma JP, et al. (Mei 2020). "Clinical characteristics of novel coronavirus cases in tertiary hospitals in Hubei Province". Chinese Medical Journal (dalam bahasa Inggris). 133 (9): 1025–1031. doi:10.1097/CM9.0000000000000744alt=Dapat diakses gratis. PMC 7147277alt=Dapat diakses gratis. PMID 32044814.  Diakses tanggal 21 Maret 2021.
  4. ^ Wang T, Du Z, Zhu F, Cao Z, An Y, Gao Y, Jiang B (March 2020). "Comorbidities and multi-organ injuries in the treatment of COVID-19". Lancet (dalam bahasa Inggris). Elsevier BV. 395 (10228): e52. doi:10.1016/s0140-6736(20)30558-4alt=Dapat diakses gratis. PMC 7270177alt=Dapat diakses gratis. PMID 32171074.  Diakses tanggal 21 Maret 2021.
  5. ^ Wang Y, Wang Y, Chen Y, Qin Q (Maret 2020). "Unique epidemiological and clinical features of the emerging 2019 novel coronavirus pneumonia (COVID-19) implicate special control measures". Journal of Medical Virology. n/a (n/a): 568–576. doi:10.1002/jmv.25748alt=Dapat diakses gratis. PMC 7228347alt=Dapat diakses gratis. PMID 32134116. , Dikases tanggal 24 Maret 2021.
  6. ^ Martel J, Ko YF, Young JD, Ojcius DM (Mei 2020). "Could nasal breathing help to mitigate the severity of COVID-19". Microbes and Infection. 22 (4–5): 168–171. doi:10.1016/j.micinf.2020.05.002. PMC 7200356alt=Dapat diakses gratis. PMID 32387333. 
  7. ^ "Coronavirus recovery: breathing exercises". www.hopkinsmedicine.org. Johns Hopkins Medicine. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  8. ^ Wang L, Wang Y, Ye D, Liu Q (Maret 2020). "Review of the 2019 novel coronavirus (SARS-CoV-2) based on current evidence". International Journal of Antimicrobial Agents. 55 (6): 105948. doi:10.1016/j.ijantimicag.2020.105948. PMC 7156162alt=Dapat diakses gratis. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  9. ^ U.S. Centers for Disease Control and Prevention (5 April 2020). "What to Do if You Are Sick". Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  10. ^ "Update to living WHO guideline on drugs for covid-19". BMJ (Clinical Research Ed.). 371: m4475. November 2020. ISSN 1756-1833.  Diakses tanggal 24 Maret 2021
  11. ^ "Q&A: Dexamethasone and COVID-19". World Health Organization (WHO). Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  12. ^ a b "Home". National COVID-19 Clinical Evidence Taskforce. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  13. ^ Henry BM (April 2020). "COVID-19, ECMO, and lymphopenia: a word of caution". The Lancet. Respiratory Medicine. Elsevier BV. 8 (4): e24. PMC 7118650alt=Dapat diakses gratis. PMID 32178774.  Diakses tanggal 24 Maret 2021.
  14. ^ a b Kim, Peter S.; Read, Sarah W.; Fauci, Anthony S. (1 Desember 2020). "Therapy for Early COVID-19". JAMA. American Medical Association (AMA). 324 (21): 2149–2150. doi:10.1001/jama.2020.22813alt=Dapat diakses gratis. ISSN 0098-7484.  Diakses tanggal 24 Maret 2021
  15. ^ a b c "COVID-19 Treatment Guidelines". www.nih.gov. National Institutes of Health. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  16. ^ Hsu, Jeremy (2020-11-19). "Covid-19: What now for remdesivir?". BMJ. 371: m4457. doi:10.1136/bmj.m4457alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1756-1833.  Diakses tanggal 24 Maret 2021
  17. ^ "COVID-19 Frequently Asked Questions: Drugs (Medicines)". U.S. Food and Drug Administration. 2021-02-19. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  18. ^ "Treatments and vaccines for COVID-19: authorised medicines". European Medicines Agency. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  19. ^ "Australian guidelines for the clinical care of people with COVID-19". National COVID-19 Clinical Evidence Taskforce. National COVID-19 Clinical Evidence Taskforce. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  20. ^ Rizk, John G.; Kalantar-Zadeh, Kamyar; Mehra, Mandeep R.; Lavie, Carl J.; Rizk, Youssef; Forthal, Donald N. (21 Juli 2020). "Pharmaco-Immunomodulatory Therapy in COVID-19". Drugs. Springer. 80 (13): 1267–1292. doi:10.1007/s40265-020-01367-zalt=Dapat diakses gratis. ISSN 0012-6667. PMC 7372203alt=Dapat diakses gratis. PMID 32696108.  Diakses tanggal 24 Maret 2021.
  21. ^ a b Sanders JM, Monogue ML, Jodlowski TZ, Cutrell JB (April 2020). "Pharmacologic Treatments for Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): A Review". JAMA. 323 (18): 1824–36. doi:10.1001/jama.2020.6019alt=Dapat diakses gratis. PMID 32282022.  Dikases tanggal 24 Maret 2021.
  22. ^ Chai KL, Valk SJ, Piechotta V, Kimber C, Monsef I, Doree C, et al. (Oktober 2020). "Convalescent plasma or hyperimmune immunoglobulin for people with COVID-19: a living systematic review". Cochrane Database of Systematic Reviews. 10: CD013600. doi:10.1002/14651858.CD013600.pub3.  Diakses tanggal 24 Maret 2021.
  23. ^ McCreary EK, Pogue JM (April 2020). "Coronavirus Disease 2019 Treatment: A Review of Early and Emerging Options". Open Forum Infectious Diseases. 7 (4): ofaa105. doi:10.1093/ofid/ofaa105. PMC 7144823alt=Dapat diakses gratis. PMID 32284951. 
  24. ^ "Chinese doctors using plasma therapy on coronavirus, WHO says 'very valid' approach". Reuters. 17 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  25. ^ Steenhuysen, Julie; Kelland, Kate (24 January 2020). "With Wuhan virus genetic code in hand, scientists begin work on a vaccine". Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  26. ^ Duddu, Praveen (19 Februari 2020). "Coronavirus outbreak: Vaccines/drugs in the pipeline for Covid-19". clinicaltrialsarena.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. 
  27. ^ Lu H (March 2020). "Drug treatment options for the 2019-new coronavirus (2019-nCoV)". Bioscience Trends. 14 (1): 69–71. doi:10.5582/bst.2020.01020alt=Dapat diakses gratis. PMID 31996494. 
  28. ^ Li G, De Clercq E (March 2020). "Therapeutic options for the 2019 novel coronavirus (2019-nCoV)". Nature Reviews. Drug Discovery. 19 (3): 149–150. doi:10.1038/d41573-020-00016-0alt=Dapat diakses gratis.  Diakses tanggal 24 Maret 2021
  29. ^ Nebehay, Stephanie; Kelland, Kate; Liu, Roxanne (5 Februari 2020). "WHO: 'no known effective' treatments for new coronavirus". Thomson Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  30. ^ a b "FDA Authorizes Monoclonal Antibodies for Treatment of COVID-19". U.S. Food and Drug Administration (FDA) (Siaran pers). 10 Februari 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  31. ^ a b "Coronavirus (COVID-19) Update: FDA Authorizes Monoclonal Antibodies for Treatment of COVID-19". U.S. Food and Drug Administration (FDA) (Siaran pers). 21 November 2020. Diakses tanggal 21 November 2020.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  32. ^ a b "Coronavirus". WebMD. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  33. ^ "Prevention & Treatment". U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 15 Febsruari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  34. ^ "Overview of novel coronavirus (2019-nCoV)—Summary of relevant conditions". The BMJ. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  35. ^ a b Murthy S, Gomersall CD, Fowler RA (Maret 2020). "Care for Critically Ill Patients With COVID-19". JAMA. 323 (15): 1499–1500. doi:10.1001/jama.2020.3633alt=Dapat diakses gratis. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  36. ^ "Clinical management of severe acute respiratory infection when novel coronavirus (2019-nCoV) infection is suspected" (PDF). World Health Organization (WHO). 28 Januari 2020. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 26 February 2020. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  37. ^ Wang K, Zhao W, Li J, Shu W, Duan J (March 2020). "The experience of high-flow nasal cannula in hospitalized patients with 2019 novel coronavirus-infected pneumonia in two hospitals of Chongqing, China". Annals of Intensive Care. 10 (1): 37. doi:10.1186/s13613-020-00653-z. PMC 7104710alt=Dapat diakses gratis. PMID 32232685. 
  38. ^ McEnery T, Gough C, Costello RW (April 2020). "COVID-19: Respiratory support outside the intensive care unit". The Lancet. Respiratory Medicine. 8 (6): 538–539. doi:10.1016/S2213-2600(20)30176-4. PMC 7146718alt=Dapat diakses gratis. PMID 32278367. 
  39. ^ Cummings MJ, Baldwin MR, Abrams D, Jacobson SD, Meyer BJ, Balough EM, et al. (Juni 2020). "Epidemiology, clinical course, and outcomes of critically ill adults with COVID-19 in New York City: a prospective cohort study". The Lancet. 395 (10239): 1763–70. doi:10.1016/S0140-6736(20)31189-2alt=Dapat diakses gratis.  Diakses tanggal 24 Maret 2021.
  40. ^ "Sequence for Putting On Personal Protective Equipment (PPE)" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 Maret 2021. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  41. ^ a b "When to self-isolate and what to do - Coronavirus (COVID-19)". NHS. 2021-01-08. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  42. ^ U.S. Centers for Disease Control and Prevention (7 Januari 2021). "Isolate If You Are Sick". CDC. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  43. ^ "Home care for patients with suspected or confirmed COVID-19 and management of their contacts" (PDF). World Health Organization (WHO). 13 Agustus 2020. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  44. ^ Xiang YT, Yang Y, Li W, Zhang L, Zhang Q, Cheung T, Ng CH (Maret 2020). "Timely mental health care for the 2019 novel coronavirus outbreak is urgently needed". The Lancet. Psychiatry. 7 (3): 228–229. doi:10.1016/S2215-0366(20)30046-8alt=Dapat diakses gratis. PMC 7128153alt=Dapat diakses gratis. PMID 32032543.  Diakses tanggal 24 Maret 2021.
  45. ^ Kang L, Li Y, Hu S, Chen M, Yang C, Yang BX, et al. (Maret 2020). "The mental health of medical workers in Wuhan, China dealing with the 2019 novel coronavirus". The Lancet. Psychiatry. 7 (3): e14. doi:10.1016/S2215-0366(20)30047-Xalt=Dapat diakses gratis. PMC 7129673alt=Dapat diakses gratis. PMID 32035030.  Diakses tanggal 24 Maret 2021
  46. ^ Coronavirus: 'Profound' mental health impact prompts calls for urgent research, BBC, Philippa Roxby, 24 Maret 2021.
  47. ^ Multidisciplinary research priorities for the COVID‑19 pandemic: a call for action for mental health science, The Lancet, Emily Holmes, Rory O'Connor, Hugh Perry, et al., 24 Maret 2021, halaman 1: "Respons penelitian yang terfragmentasi, yang dicirikan oleh inisiatif skala kecil dan terlokalisasi, tidak akan menghasilkan wawasan yang jelas yang diperlukan untuk memandu pembuat kebijakan atau publik."

(Indonesia)